fbpx
langitselatan
Beranda » Kaleidoskop Peristiwa Astronomi 2017

Kaleidoskop Peristiwa Astronomi 2017

Tahun 2017 sudah berlalu dan ada banyak sekali penemuan dan pencapaian dalam astronomi. Sebelum memulai cerita dari dunia astronomi pada tahun 2018, kami sajikan kembali kaleidoskop peristiwa astronomi 2017 yang menurut redaksi langitselatan menarik dan jadi pijakan penting untuk astronomi secara umum maupun untuk Indonesia.

8. Nobel Fisika 2017 untuk LIGO

Ki-ka: Barry Barish, Kip Thorne dan Rainer Weiss. Peraih Hadiah Nobel Fisika 2017 untuk kontribusi pada Detektor LIGO. Kredit: LIGO
Ki-ka: Barry Barish, Kip Thorne dan Rainer Weiss. Peraih Hadiah Nobel Fisika 2017 untuk kontribusi pada Detektor LIGO. Kredit: LIGO

Tahun 2017, Hadiah Nobel Fisika diberikan pada kolaborasi LIGO yang berhasil mendeteksi secara langsung gelombang gravitasi dari penggabungan dua lubang hitam masif.  Hadiah Nobel tersebut diberikan kepada trio fisikawan yang memiliki kontribusi penting dalam kesuksesan Detektor LIGO yakni, Rainer Weiss dan Kip S. Thorne, serta Barry C. Barish.

Hadiah Nobel Fisika 2017 merupakan Hadiah Nobel kedua yang diterima oleh penelitian gelombang gravitasi. Yang pertama diberikan tahun 1993 kepada Russell A. Hulse dan Joseph H. Taylor, Jr, dari Universitas Princeton, New Jersey, USA untuk penemuan pulsar tipe baru yang jadi indiikasi tak langsung kehadiran gelombang gravitasi.

Yang pasti, tidak ada keberhasilan instan. Keberhasilan LIGO mendeteksi 6 gelombang gravitasi merupakan hasil perjalanan panjang ~40 tahun yang dimulai oleh Rainer Weiss, Ronald Drever dan Kip Thorne. Ketiganya mulai berkolaborasi pada awal tahun 1980-an untuk merancang dan membangun detektor yang bisa mendengar riak dari alam semesta. Pada tahun 1994, Barry C. Barish bergabung dengan LIGO sebagai peneliti utama dan kemudian Direktur LIGO tahun 1997 – 2005. Ia membawa perubahan besar dan menjadikan LIGO sebagai sebagai organisasi sains raksasa. Sampai saat ini, LIGO sudah menjadi kolaborasi raksasa yang melibatkan 1000 ilmuwan dari 75 institusi di 15 negara. Selamat untuk tim LIGO.

7. Hidrogen di Enceladus

Gas Hidrogen ditemukan dalam erupsi materi pada geysers di Enceladus. Kredit: NASA/JPL-Caltech
Gas Hidrogen ditemukan dalam erupsi materi pada geysers di Enceladus. Kredit: NASA/JPL-Caltech

Senyawa organik berhasil ditemukan di Enceladus! Satelit Saturnus yang satu ini merupakan salah satu kandidat yang punya air di Tata Surya. Para astronom berhasil menemukan air yang menyembur dari lautan di bawah permukaan Enceladus. Selain itu, terjadi pemanasan di inti sehingga interaksi dengan batuan, dapat menghasilkan mineral maupun nutrisi.

Satu-satunya yang hilang di sini adalah senyawa organik. Karena itu para astronom pun mulai mencari senyawa organik. Dan rupanya pencarian itu berhasil. Cassini menemukan gas hidrogen dalam erupsi yang terjadi di area kutub selatan Enceladus. Penemuan ini jelas penting karena kehadiran hidrogen bisa jadi petunjuk kalau kehidupan bisa saja muncul di Enceladus.

Menurut para astronom, gas Hidrogen di Enceladus terbentuk di satelit ini, dan bukan hasil tangkapan ketika masa pembentukan Enceladus. Asalnya diduga dari retakan hidrotermal yang ada di dasar lautan dan secara geothermal memanaskan perairan. Itu artinya Enceladus punya aktivitas geologi yang cukup tinggi dan bisa meningkatkan kemungkinan tumbuhnya kehidupan di satelit Saturnus tersebut.

6. ‘Oumuamua, Pengelana Antarbintang

Ilustrasi asteroid Oumumua. Kredit: NASA
Ilustrasi asteroid Oumumua. Kredit: NASA

Berita penting lainnya adalah kedatangan tamu dari ruang antarbintang yang mengunjungi Tata Surya. Itu pun baru disadari 40 hari setelah pengelana antarbintang ini melintasi jarak terdekatnya dengan Matahari.

Ditemukan oleh Robert Weryk saat melakukan pengamatan dengan teleskop Pan-STARRS1 di Observatorium Haleakala, Hawaii tanggal 19 Okteber 2017, objek ini diduga sebagai komet dan diberi identitas C/2017 U1. Ketika ditemukan, C/2017 U1 sedang berada pada jarak 0,22 AU atau ~33 juta km dari Bumi dan sedang bergerak menjauhi Matahari dengan kecepatan 87,3 km/detik!

Ternyata, hasil pengamatan tidak memperlihatkan adanya aktivitas yang jadi ciri sebuah komet sehingga dilakuan klasifikasi ulang. C/2017 U1 kemudian dikategorikan sebagai asteroid dan diberi kode A/2017 U1.  Dari hasil pengamatan selama 34 hari, diketahui pula kalau tamu kita ini datang dari luar Tata Surya dan diduga berasal dari arah bintang terang Vega di rasi Lyra.

Tamu kita ini pada akhirnya diberi kelas baru oleh IAU, yakni asteroid antarbintang dengan identitas resmi 1I/2017 U1 dan nama ‘Oumuamua. Nama ini berasal dari Hawaii yang menjelaskan bahwa objek ini seperti utusan atau pembawa pesan yang dikirim dari masa yang sangat lampau kepada kita. Asteroid 1I/2017 U1 diketahui merupakan batuan padat dengan permukaan permukaan berwarna gelap kemerahan serta berpotensi memiliki kandungan logam.

Meskipun diduga setiap tahun setidaknya ada satu tamu asteroid dari luar Tata Surya, para astronom belum bisa membuktikan sampai saat kunjungan ‘Oumuamua ke Tata Surya.

5. Cerita Juno dari Jupiter

Kutub selatan Jupiter dari ketinggian 52000 km. Fitur oval merupakan siklon di Jupiter dengan diameter 1000 km. Foto diambil Juno. Kredit: NASA/JPL-Caltech/SwRI/MSSS/Betsy Asher Hall/Gervasio Robles
Kutub selatan Jupiter dari ketinggian 52000 km. Fitur oval merupakan siklon di Jupiter dengan diameter 1000 km. Foto diambil Juno. Kredit: NASA/JPL-Caltech/SwRI/MSSS/Betsy Asher Hall/Gervasio Robles

Jupiter ternyata tidak seperti yang kita kenal selama ini. Itulah hasil publikasi ilmiah dari data Juno yang pertama. Meskipun masyarakat telah melihat keindahan Jupiter lewat foto dan bisa mengakses informasi yang diperoleh Juno tak lama setelah wahana itu tiba, namun para ilmuwan belum memublikasikannya ke dalam jurnal ilmiah internasional.

Beberapa hal menarik yang dipublikasikan sebagai makalah ilmiah itu merupakan hasil foto JunoCAM memperlihatkan strip warna-warni berpola mirip batik pada Jupiter, menghilang di wilayah kutub. Warna putih-oranye-merah yang menjadi ciri khas strip Jupiter juga menghilang di kutub, digantikan dengan nuansa warna hijau-biru. Di area ini, para astronom menemukan fitur-fitur seukuran planet Mars dan Bumi yang memadati kedua kutub. Sempat diduga kawah, ternyata fitur tersebut merupakan siklon/badai yang posisinya sangat berdekatan dan bahkan saling bergesekan satu dengan lainnya.

Baca juga:  Mengamati Planet Di Malam Hari

Penemuan menarik lainnya adalah medan magnet Jupiter yang ternyata dua kali lebih kuat dari yang pernah diperkirakan sebelumnya. Informasi kekuatan medan magnet ini penting karena dapat memberi informasi lanjut terkait unsur-unsur berat di interior planet, termasuk indikasi adanya inti padat.

Hal lain yang menjadi perhatian para ilmuwan adalah bahwa kekuatan medan magnet ini tidak merata: lebih kuat di beberapa wilayah dan lebih lemah di wilayah lainnya. Diduga, medan magnet Jupiter dihasilkan oleh suatu sistem yang disebut dinamo, yang bekerja di bekerja dekat permukaan Jupiter, di atas lapisan hidrogen metalik.

Misi Juno akan berakhir Juli 2018, dan ada kemungkinan perpanjangan misi oleh NASA. Kita tunggu saja cerita Juno berikutnya.

4. Tujuh Planet di Bintang Ultradingin

Sistem TRAPPIST-1. Kredit: NASA/R. Hurt/T. Pyle
Sistem TRAPPIST-1. Kredit: NASA/R. Hurt/T. Pyle

Salah satu keingintahuan terbesar manusia tak lain tak bukan adalah keberadaan kehidupan di planet lain. Mimpi itu membawa manusia untuk melakukan pencarian. Meskipun kita belum menemukannya, tapi kemajuan yang ada membawa kita semakin dekat dengan tujuan tersebut.

Bulan Februari 2017, para astronom berhasil menemukan 7 planet di sebuah bintang katai yang luar biasa dingin. Jaraknya dekat. Hanya 12 parsec atau 39 tahun cahaya jaraknya dari Bumi.  Yang menarik, ke-7 planet yang mengitari bintang bernama TRAPPIST-1 itu memiliki komposisi yang sama yakni batuan.  Ukurannya pun kecil, mirip Bumi.

Dari tujuh planet, tiga di antaranya diduga berpotensi memiliki lautan. Jika demikian, tentu ada potensi untuk kehidupan bertumbuh di planet-planet yang mengitari bintang TRAPPIST-1 dari jarak sangat dekat. Bahkan, jaraknya lebih dekat dari Bumi maupun Merkurius, planet terdekat dari Matahari.

Meskipun dekat, temperatur ke-7 planet baru tersebut mirip planet kebumian yang ada di Tata Surya. Hal ini tak lepas dari faktor bintang induknya yang merupakan “bintang katai merah ultra dingin”. Jika dibanding Matahari, massa bintang ini 10 kali lebih kecil dan 4 kali lebih dingin. Artinya, bintang ini memancarkan lebih sedikit cahaya dan panas.

Seperti apa evolusi planet-planet ini tentu akan menarik untuk diketahui. Meskipun jarak satu sama lainnya sangat dekat, mereka bisa menempuh evolusi yang berbeda. Sangat memungkinkan satu planet bisa berpotensi laik huni sementara planet tetangganya justru tidak laik huni.

Penemuan planet kebumian di bintang katai merah memang menarik, karena bintang seperti ini justru dominan di alam semesta, dan memiliki kala hidup yang jauh lebih panjang dari bintang-bintang seperti Matahari. Kehidupan pada planet-planet kebumian di sistem bintang katai merah jelas punya waktu yang cukup untuk berevolusi. Tapi, itu kalau planet-planet ini bisa selamat dari semburan sinar ultraungu dan sinar-X bintang.

Siapa tahu di masa depan, kita bisa menemukan kembaran Bumi di sistem ini.

3. Terima Kasih, Cassini

Ilustrasi Cassini, si penjelajah Saturnus yang akan mengakhiri hidupnya. Kredit: NASA
Ilustrasi Cassini, si penjelajah Saturnus yang akan mengakhiri hidupnya. Kredit: NASA

Penjelajahan Cassini berakhir saat wahana tersebut terjun bebas ke dalam atmosfer Saturnus tanggal 15 September 2017. Wahana yang satu ini memang penjelajah sejati. Sampai akhir misinya, Cassini sudah menempuh perjalanan 7.8 triliun kilometer. Selama 20 tahun penjelajahan, 13 tahun dihabiskan untuk menjelajah Saturnus dan menyelesaikan 293 orbit mengitari Saturnus. Cassini juga satu-satunya pemegang rekor terbang lintas terbanyak dengan Titan dan Enceladus. Dalam penjelajannya, Cassini menemukan 2 samudera di Titan dan Enceladus, 6 satelit baru Saturnus dan yang pasti Cassini berhasil menemukan 3 lautan dan ratusan danau kecil.

Foto-foto yang dikirim Cassini memang memukau semua orang. Tapi yang lebih penting dari itu adalah informasi yang tersimpan di balik setiap foto yang dipotret. Cassini memang dikirim agar kita bisa mengenal Saturnus dan satelit-satelitnya lebih dekat.  Dalam perjalanannya, Cassini membawa serta penjejak Huygens yang khusus bertugas untuk mempelajari Titan dari dekat.

Ada banyak penemuan menarik, di antaranya adalah kehadiran lautan di Titan dan Enceladus!

Huygens menemukan keberadaan lautan di bawah lapisan kerak es Titan yang tebal. Selain itu, atmosfer Titan ternyata mengandung senyawa prebiotik yang mirip dengan Bumi purba, sebelum sungai, danau, hujan, gunung dan bahkan gunung berapi. Lautan di Titan bukan diisi air melainkan metana.  Hujan di Titan justru diperkirakan bisa memicu reaksi kimia yang membuat kehidupan dapat bertumbuh.  Di Enceladus, Cassini berhasil menemukan lautan yang mengandung garam, molekul organik sederhana, dan terdapat ventilasi hidrotermal di dasar laut. Hal menarik lainnya tentu saja cincin Saturnus.

Wahana Penjelajah Cassini memulai akhir perjalanannya dalam Misi “Grand Finale”. Dalam misi ini, Cassini melakukan 22 kali penyelaman antara planet dan cincin Saturnus yang dimulai sejak 22 April 2017 sebelum akhirnya terjun bebas pada tanggal 15 September ke dalam atmosfer Saturnus. Setelah masuk atmosfer Saturnus, Cassini pun terbakar seperti meteor, mengakhiri hidupnya di Saturnus.

Baca juga:  Masa Tenang Sebelum Badai di Saturnus

Dan misi itu pun berakhir. Terima Kasih Cassini – Huygens

2. Observatorium Nasional Timau,

Masterplan Observatorium Nasional Timau. Kredit: Rhorom Priyatikanto / LAPAN
Masterplan Observatorium Nasional Timau. Kredit: Rhorom Priyatikanto / LAPAN

Indonesia akan punya Observatorium baru di Nusa Tenggara Timur! Observatorium Nasional Timau akan segera dibangun di kawasan hutan lindung lereng Gunung Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT.

Kebutuhan Observatorium baru di Indonesia memang sudah mengemuka sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, untuk menetapkan lokasi pembangunan observatorium, ada banyak aspek yang harus dikaji. Di antaranya adalah jumlah malam cerah dalam setahun, kecerlangan langit, kenampakan, aksesibilitas dan tentu saja pertimbangan ekonomis. Setelah melakukan kajian kualitas langit selama lebih dari 7 tahun, akhirnya Gunung Timau di Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur ditetapkan sebagai lokasi Observatorium Nasional.

Untuk fasilitas pengamatan, Observatorium Nasional Timau akan memiliki teleskop terbesar di Asia Tenggara yakni teleskop optik dengan diameter 3,8 meter.  Selain itu, OBNAS juga akan menaungi dua teleskop survei 0,5 meter dengan panjang fokus berbeda, serta teleskop Matahari 0,3 meter yang akan melakukan pengamatan multi panjang gelombang. Dengan instrumentasi yang ada ini, para astronom akan dapat mengeksplorasi langit dan berbagai penelitian dapat dilakukan. Di antaranya adalah studi benda kecil di Tata Surya, fotometri dan spektroskopi planet di Tata Surya dan exoplanet, pengamatan bintang variabel dan bintang eksotis,  pembentukan dan evolusi gugus bintang, struktur dan dinamika galaksi, serta studi galaksi aktif yang memiliki lubang hitam di dalamnya.

Kehadiran Observatorium Nasional Timau bisa menjadi langkah awal yang memicu pembangunan dan pengembangan masyarakat daerah Timur. Bagaimanapun, observatorium tidak hanya dijalankan oleh astronom. Ada berbagai bidang keahlian lain yang dibutuhkan seperti instrumentasi, teknologi informasi dan masih banyak lagi. Selain Obnas Timau, dibangun juga Pusat Sains Tilong yang akan menjadi pusat pengembangan masyarakat, dan Taman Langit gelap yang juga memiliki potensi wisata untuk NTT.  Untuk saat ini Pusat Sains Tilong sedang dalam proses pembangunan gedung utama sedangkan Observatorium Nasional masih dalam tahap awal pembangunan.

1. Awal Era Astronomi Multikurir

Ilustrasi tabrakan bintang neutron yang berhasil diamati dalam berbagai panjang gelombang dan dideteksi gelombang gravitasinya. Kredit: NSF, LIGO, Sonoma State University & A. Simonnet
Ilustrasi tabrakan bintang neutron yang berhasil diamati dalam berbagai panjang gelombang dan dideteksi gelombang gravitasinya. Kredit: NSF, LIGO, Sonoma State University & A. Simonnet

Penggabungan dua lubang hitam yang berhasil dideteksi LIGO memang jadi babak baru dalam dunia astronomi. Kita bisa mendengar peristiwa dasyat yang hampir tidak terdeteksi di alam semesta.  Hal ini tak lepas dari karakter lubang hitam yang menghisap apapun yang ada di dekatnya. Jadi, ketika dua lubang hitam masif berinteraksi dan pada akhirnya bergabung, tidak ada lagi materi lain di sekitarnya yang bisa mengindikasikan kehadiran mereka. Bisa jadi materi tersebut terlontar atau malah sudah dilahap lubang hitam yang gravitasinya luar biasa besar. Meskipun tidak bisa dilihat, para astronom bisa mendengar peristiwa ini dari riak yang ditimbulkan akibat tabrakan.

Setelah penemuan pertama, ternyata tak butuh waktu lama untuk mengetahui kalau tabrakan lubang hitam di alam semesta bukan peristiwa yang amat langka. Tercatat LIGO berhasil mencatat 6 peristiwa penggabungan dua benda masif di alam semesta.

Deteksi ke-5 yang diumumkan LIGO adalah peristiwa yang paling ditunggu para astronom. Tak lain tak bukan, tumbukan atau tabrakan yang menghasilkan merger dua bintang neutron!

Penemuan ini sangat penting karena ketika dua bintang neutron bergabung, selain menghasilkan gelombang gravitasi yang dideteksi LIGO, ada ledakan sinar-Gamma sesaat dengan kecerlangan 1000 kali lebih terang dari nova yang bisa dilihat oleh para pengamat di Bumi dengan teleskop optik. Peristiwa ini secara teori dikenal sebagai kilonova dan belum pernah dikonfirmasi keberadaannya lewat pengamatan.

Kilonova itu ada!

Untuk pertama kalinya dalam sejarah kita bisa mendengar sekaligus mengamati ledakan transien atau ledakan yang berlangsung hanya sesaat tersebut.

Tanggal 17 Agustus 2017, LIGO berhasil mendeteksi riak selama 100 detik dan ledakan sinar gamma yang terjadi kemudian berhasil dideteksi oleh berbagai teleskop di 70 Observatorium yang tersebar di 7 benua dan di angkasa. Analisis data dilakukan oleh 3500 astronom yang juga tersebar di seluruh dunia.

Kolaborasi raksasa ini berhasil mengonfirmasi peristiwa bergabungnya dua bintang neutron yang diberi nama GW170817.

Dan yang pasti, penemuan penting ini menandai awal era astronomi multikurir yang akan membawa manusia mengeksplorasi alam semesta lewat gelombang elektromagnetik, neutrino, dan gelombang gravitasi.

Selamat Tahun Baru!

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini