Pada tanggal 22 Januari 2013 yang lalu, bertempat di Taman Nasional Doi Inthanon, diresmikanlah TNO (Thai National Observatory), yaitu fasilitas observatorium dengan peralatan utamanya berupa teleskop berukuran 2.4 meter; teleskop optik terbesar untuk wilayah Asia Tenggara saat ini.
Sejarah
Pada bulan Agustus 2012 ini, maka perjalanan studi ilmu pengetahuan pada fenomena alam yang dikenal sebagai berkas sinar kosmis (Cosmic Ray), telah mencapai 100 tahun.
Observatorium adalah bangunan yang ditujukan untuk mengamati langit dan bumi dalam disiplin ilmu astronomi, meteorologi, geologi, oseanografi dan vulkanologi.
Suatu siang di Observatorium Bosscha, pada tahun 1959. Pejabat Sementara Direktur Observatorium Bosscha, Prof. Dr. Ong Ping Hok, memanggil beberapa pegawainya dan menunjuk seorang astronom muda berusia 32 tahun, seraya berkata ialah yang akan memelihara Observatorium mulai saat itu.
Astronomi di Indonesia bukan baru dimulai awal tahun 1900-an ketika Observatorium Boscha didirikan. Satu setengah abad sebelumnya di tahun 1761 dan 1769, astronomi di Indonesia dimulai dan ditandai dengan penggunaan instrumentasi untuk pengamatan.
Pendirian Observatorium Bosscha di Lembang pada dekade 1920an dapat dilihat dalam konteks merembesnya ilmu pengetahuan modern keluar dari Eropa dan pelaksanaan riset ilmu alam dalam situasi kolonial.
Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Tenggarong menjadi kota ke-3 di Indonesia yang memiliki planetarium setelah Jakarta dan Surabaya. Planetarium yang diberi nama Planetarium Jagad Raya itu didirikan pada tahun 2002 oleh Bupati Kutai Kartanegara dan diresmikan pada tahun 2003 oleh Hamzah Haz.
Planet minor adalah istilah yang digunakan untuk obyek langit non planet atau komet yang mengitari Matahari. Planet minor pertama yang ditemukan adalah Ceres pada tahun 1801 yang kemudian dikenal juga sebagai planet katai setelah IAU melakukan redenefinisi terhadap klasifikasi planet di tahun 2006.
Astronomi, ilmu yang satu ini hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, ia lahir bersama dengan kekaguman dan keingintahuan manusia akan langit dan apa yang ada di sana.
Bagi seseorang yang mengaku belajar astronomi, tidak jarang terjadi ada orang yang minta diramalkan nasibnya, seraya mengatakan bahwa bintangnya adalah X dan meminta supaya dibaca peruntungannya di masa datang. Kebanyakan hanya bercanda saja untuk membuat si astronom kesal, namun tidak sedikit pula yang serius, mengira bahwa astronomi adalah bidang studi untuk mempelajari cara-cara meramalkan masa depan berdasarkan posisi benda-benda langit.
Sudah hampir mendekati satu bulan gempita Piala Dunia melanda masyarakat dunia. Satu per satu tim pun pulang setelah mengalami kegagalan. Namun kegembiraan mereka yang masih terus lolos ke babak berikutnya pun semakin terasa melanda masyarakat global terutama mereka yang mencintai permainan sepakbola ini.
“Kita sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus dengan cepat sekali, cepat, chek up mengejar kebelakangan kita ini, mengejar disegala lapangan. Lapangan politik kita kejar, lapangan ekonomi kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, agar supaya kita benar-benar didalam waktu yang singkat bisa bernama Bangsa Indonesia yang besar, yang pantas menjadi mercusuar daripada umat manusia di dunia” (Soekarno, 1964, saat pemancangan tiang pertama Planetarium Jakarta).
Planetarium adalah sebuah tempat atau ruangan dengan atap berbentuk kubah untuk mensimulasikan keadaan langit yang sebenarnya, dipandang dari segala tempat di Bumi dan segala waktu. Sebuah planetarium dilengkapi proyektor bintang, biasanya terletak di tengah ruangan, yang berfungsi untuk memproyeksikan cahaya pada atap kubah planetarium, untuk menghasilkan cahaya benda-benda langit seperti bintang-bintang, planet, bulan dan lain-lain sehingga menghasilkan gambaran keadaan langit malam sebenarnya.
Di dalam relung-relung kedalaman luas alam semesta, beberapa pernik-pernik mikro debu dan gas saling berinteraksi melalui gaya gravitasi satu dengan yang lain. Dinamika ini menyebabkan tarikan debu-debu mikro lainnya yang akhirnya melahirkan sistem dengan struktur kompleks.