fbpx
langitselatan
Beranda » Bulan untuk Awal Ramadan 1440 H

Bulan untuk Awal Ramadan 1440 H

Ramadan. Makna literalnya adalah ‘yang panas membakar,’ satu jejak dari masa berbelas abad silam dimana bulan kalender ini bersamaan dengan puncak musim panas di Semenanjung Hijaz, kini bagian dari Saudi Arabia.

Namun dalam konteks religius, Ramadan menjadi salah satu bulan kalender terpenting di dunia. Mengingat satu dari tujuh orang manusia masakini di Bumi ini memeluk agama Islam. Inilah bulan kalender yang suci, rentang waktu dimana Umat Islam diwajibkan berpuasa.

Kiri: Situasi posisi Bulan dan Matahari saat Matahri terbenam tanggal 5 Mei 2019. Kanan: Bentuk hilal pada saat Matahari terbenam 5 Mei 2019. Kredit: Ma'rufin Sudibyo
Kiri: Situasi posisi Bulan dan Matahari saat Matahri terbenam tanggal 5 Mei 2019. Kanan: Bentuk hilal pada saat Matahari terbenam 5 Mei 2019. Kredit: Ma’rufin Sudibyo

Demikian halnya di Indonesia. Tak hanya dalam aspek religius, Ramadan memiliki kedudukan penting dalam ranah ekonomis, sosio-kultural hingga ketatanegaraan. Kehidupan ekonomi terasa lebih menggeliat sepanjang bulan kalender ini. Puncaknya menjelang dan selama perayaan Idul Fitri kelak, dimana jutaan manusia bermigrasi untuk sementara. Pulang kembali ke tanah kelahirannya, merajut silaturahmi dan bertegur sapa dengan sesama.

Bulan Ramadan merupakan bagian dari kalender Hijriah, sebuah sistem penanggalan yang gayut (bergantung) kepada peredaran Bulan murni. Tepatnya pada periode sinodis Bulan, yakni rentang waktu di antara dua peristiwa konjungsi Bulan-Matahari yang berurutan. Konjungsi Bulan-Matahari sendiri adalah peristiwa saat Bulan dan Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama dalam tata koordinat langit. Periode sinodis Bulan memiliki nilai rata-rata jangka panjang 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik, dengan variasi nilai berayun di antara minimum 29 hari 8 jam hingga maksimum 29 hari 16 jam.

Penentu pergantian bulan kalender Hijriah adalah hilal, yakni lengkungan sabit Bulan tertipis / termuda yang bisa dideteksi dengan mata baik menggunakan instrumen maupun tidak. Bulan Ramadan pun ditentukan dengan cara demikian. Secara umum di Indonesia terdapat dua cara untuk menentukan awal Ramadan. Yang pertama adalah rukyat hilal (observasi hilal), yakni mencoba mengamati hilal dengan acuan setelah Matahari terbenam. Di satu sisi ini adalah cara penentuan dengan anggitan (rujukan) terbanyak dalam perspektif syaruat. Akan tetapi di sisi lain cara ini membutuhkan waktu hingga last minute untuk mendapatkan hasilnya. Sedangkan yang kedua adalah hisab (perhitungan astronomi), yakni mencoba memperhitungkan elemen-elemen posisional Bulan dan Matahari untuk kemudian diperbandingkan dengan persamaan batas (threshold) tertentu yang disebut kriteria. Di satu sisi hisab menyediakan aplikasi prediktif namun di sisi lain memiliki anggitan yang minimal. Pada dasarnya secara astronomi kedua cara tersebut berterima, sepanjang syarat dan ketentuan yang melekat pada masing-masing cara dipatuhi.

Indonesia memiliki sebuah kriteria untuk menentukan awal bulan kalender Hijriah, yang disebut kriteria Imkan Rukyat. Kadangkala disebut pula kriteria MABIMS, karena menjadi acuan juga bagi Umat Islam di Asia Tenggara. Kriteria tersebut memiliki narasai bahwa tinggi Bulan toposentrik minimal adalah 2º yang dilengkapi dengan syarat tambahan. Yakni umur Bulan minimal 8 jam atau elongasi Bulan – Matahari minimal 3º. Kriteria ini dipergunakan baik dari sisi hisab, maupun dari sisi rukyat. Dari sisi hisab, maka apabila posisi Bulan sudah melebihi nilai kriteria ini awal bulan Hijriah yang baru sudah terjadi kala Matahari terbenam saat itu. Sementara dari sisi rukyat, kriteria ini juga menjadi alat untuk menerima atau menolak sebuah laporan hasil rukyat. Terutama jika laporan tersebut berdasarkan pada observasi mata telanjang saja, tanpa didukung alat bantu apapun dan tanpa citra/foto yang menjadi bukti.

Baca juga:  Planet di Gugus Bintang NGC 6811

Bagaimana dengan awal Ramadan 1440 H di Indonesia?

Tanggal 29 Sya’ban 1440 H dalam Takwim Standar Indonesia bertepatan dengan Minggu 5 Mei 2019 TU (Tarikh Umum). Pada tanggal inilah awal Ramadan 1440 H akan ditentukan, baik dengan cara hisab maupun rukyat. Pada almanak sejumlah ormas Islam seperti misalnya Nahdlatul ‘Ulama dan Persis, tanggal 29 Sya’ban juga bertepatan pada hari yang sama. Hanya almanak Muhammadiyah yang menempatkan tanggal 29 Sya’ban sehari lebih dini.

Konjungsi geosentris Bulan dan Matahari terjadi pada hari Minggu 5 Mei 2019 TU pukul 05:45 WIB. Di seluruh Indonesia pada saat Matahari terbenam maka umur Bulan bervariasi mulai dari yang terkecil +9,7 jam (di Merauke, propinsi Papua) hingga yang terbesar +13,0 jam (di Banda Aceh, propinsi Aceh). Umur Bulan adalah selisih waktu di antara saat konjungsi geosentris Bulan dan Matahari dengan waktu terbenamnya Matahari secara lokal. Sementara tinggi toposentrik Bulan juga bervariasi dari yang terkecil +5º 20’ (di Jayapura, propinsi Papua) hingga yang terbesar +6º 30’ (di Pelabuhan Ratu, propinsi Jawa Barat). Demikian halnya elongasi Bulan bervariasi dari yang terkecil +6º 34’ (di Jayapura, propinsi Papua) hingga +7º 50’ (di Pelabuhan Ratu, propinsi Jawa Barat).

Dengan data-data tersebut, maka kriteria Imkan Rukyat sudah terpenuhi dari sisi hisab. Sementara dari sisi rukyat, masih harus menunggu hingga Matahari terbenam pada Minggu senja 5 Mei 2019 TU. Apabila cuaca cerah, maka laporan rukyat hilal yang masuk akan diterima. Sehingga 1 Ramadan 1440 H di Indonesia berpeluang besar akan bertepatan dengan senin 6 Mi 2019 TU yang dimulai dari malam Senin.

Bagaimana secara astronomi?

Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) telah melaksanakan kampanye observasi hilal secara komprehensif dalam rentang waktu 2007 hingga 2010 TU menghasilkan serangkaian data yang cukup bernilai. Dari sana diketahui berbagai hubungan antara ketampakan / keterlihatan hilal dengan sejumlah elemen posisional Bulan terhadap Matahari. Mari ambil contoh perhitungan yang dilakukan di lokasi Pos Observasi Bulan (POB) Pedalen, Kab. Kebumen (Jawa Tengah).

Di lokasi ini, aplikasi data-data RHI menunjukkan saat Matahari terbenam maka lengkungan hilal akan sepanjang 23º. Dan secara empirik hilal akan terlihat dengan teleskop hanya dalam 5 menit pasca terbenamnya Matahari apabila langit dalam kondisi sempurna (sangat cerah). Dalam kondisi yang sama pula, secara empirik hilal baru akan terlihat dengan mata telanjang pada 23 menit pasca terbenamnya Matahari. Sementara Bulan akan terbenam dalam 27 menit pasca terbenamnya Matahari. Dari perspektif ini, maka peluang terlihatnya hilal penentu awal Ramadan 1440 H adalah lebih besar dengan menggunakan teleskop.

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini