Minggu senja 8 Juni 2014, sejumlah orang yang bertempat di kawasan Jabodetabek menyatakan melihat pemandangan tak biasa di langit barat. Kala senja merembang beberapa saat setelah Matahari terbenam, terlihat sebentuk cahaya bergerak di dekat kaki langit dengan arah gerak menuju ke utara-barat laut. Cahaya tersebut berbentuk seperti segitiga dan mengesankan mirip benda langit seperti komet. Beberapa orang bahkan sempat mengabadikannya (dalam bentuk citra/foto) dan mencermatinya selama beberapa menit sebelum kemudian menghilang.
Spekulasi pun sempat merebak tentang asal-muasal cahaya tersebut, mulai dari meteor yang sangat terang (fireball), satelit buatan tertentu hingga ke bangkai satelit yang tengah terbakar kala berjuang menembus atmosfer dalam perjalanannya kembali ke Bumi. Ada pula yang mengaitkannya dengan asteroid 2014 HQ124, yang beberapa jam sebelumnya telah melintas-dekat dengan Bumi kita dengan jarak perlintasan hanya 3,3 kali lebih besar dibanding jarak rata-rata Bumi ke Bulan. Dan ada yang berpendapat kocak bahwa cahaya itu adalah pulung (pertanda/wahyu) dari langit bagi kepemimpinan nasional mendatang.
Namun apa sesungguhnya cahaya tersebut?
Skema
Setiap kali kita selalu bermandikan cahaya dari langit, entah di kala siang maupun malam. Cahaya tersebut berasal dari sumber yang berbeda-beda, ada yang sangat terang, terang, redup dan bahkan banyak juga yang sangat redup. Sebagian mereka merupakan bagian dari tata surya kita. Sebagian lagi adalah bintang-gemintang yang menjadi bagian rumah besar kita dalam jagat raya ini, yakni galaksi Bima Sakti. Dan sebagian kecil lainnya adalah bintang-gemintang dan galaksi yang berada di luar Bima Sakti kita. Bagaimana caranya membedakan mereka berdasarkan cahaya yang mereka hasilkan/pantulkan sehingga kita tak keliru mengidentifikasinya sebagai benda langit yang lain ?
Astronomi memiliki cara tersendiri untuk itu. Untuk sebagian besar benda langit pada umumnya, kita dapat mengidentifikasinya dengan menggunakan skema pohon analisis berikut :
Tentu saja selalu ada perkecualian. Misalnya dalam kasus ledakan meteor Chelyabinsk 15 Februari 2013, cahayanya demikian terang. Tetapi ia bukanlah Matahari ataupun Bulan. Meski demikian perkecualian semacam ini tergolong langka, sehingga secara umum tidak berdampak besar terhadap pohon analisis tersebut.
Mari kita terapkan dalam kasus cahaya bergerak di langit Jabodetabek pada senja 8 Juni 2014 kemarin. Apakah cahaya tersebut berukuran besar? Tidak. Maka kita berlanjut ke pertanyaan berikutnya, apakah ia bergerak? Karena jawabannya ya, maka apakah ia sangat cepat sehingga menghilang setelah 5 s/d 10 detik? Jawabannya tidak, karena cahaya tersebut terlihat hingga beberapa menit kemudian. Sehingga kita berlanjut ke pertanyaan apakah ia berkelap-kelip (di kala malam) atau berekor (di kala siang) ? Hal ini ternyata cocok dengan ciri-ciri cahaya tersebut, sehingga jawabannya ya. Maka dapat dikatakan bahwa cahaya tersebut adalah pesawat, untuk sementara.
Guna memastikannya kita bisa mengecek silang dengan sejumlah basis data lainnya. Karena cahaya tersebut terlihat sesaat setelah Matahari terbenam sehingga langit barat masih bergelimang cahaya senja, maka ia harus cukup cerlang (benderang). Dalam bahasa astronomi, kecerlangannya harus lebih besar (lebih terang) ketimbang planet Venus. Karena ia bukan meteor atau sejenisnya (seiring geraknya yang tergolong lambat), maka kandidat yang tersedia hanyalah satelit buatan tertentu atau pesawat. Pada 8 Juni 2014, satelit buatan tertentu yang berkemungkinan lebih benderang ketimbang planet Venus hanyalah stasiun antariksa internasional (ISS), teleskop landasbumi Hubble dan flare (pijar) satelit komunikasi Iridium.
Pengecekan silang dengan basisdata Heaven’s Above menunjukkan hanya ISS dan flare Iridium yang berpeluang lebih terang ketimbang Venus. Namun pada 8 Juni 2014, ISS hanya ada di langit Jabodetabek kala fajar jelang matahari terbit. Sementara flare Iridium di bulan Juni ini hanya akan muncul di langit senja Jabodetabek sejak 18 Juni 2014, alias 10 hari kemudian. Kita juga bisa mengecek kemungkinan bangkai satelit besar yang sedang memijar kala menembus atmosfer selagi hendak menuju ke Bumi. Namun kemungkinan ini juga nihil berdasarkan basis data SatFlare, karena tak ada bangkai satelit buatan berukuran besar yang hendak jatuh ke Bumi di bulan Juni 2014 ini.
Maka tinggal satu yang tersisa dan menjadi kesimpulan kita, yakni pesawat. Cahaya bergerak tersebut merupakan “ekor”, yang adalah jejak kasatmata dari jejak kondensasi (jakon) atau condensation trail (contrail). Jejak kondensasi adalah deretan kondensasi (pengembunan) uap air menjadi titik-titik air menyerupai awan yang disebabkan oleh melintasnya sebuah pesawat bermesin jett. Saat mengudara, gasbuang bersuhu tinggi yang dihasilkan mesin jet ini akan menyebabkan penurunan tekanan udara setempat di sepanjang lintasan yang telah dilaluinya. Penurunan tekanan setempat inilah yang menyebabkan uap air disekelilingnya berkondensasi.
Di siang hari, jejak kondensasi selalu nampak mirip awan putih namun berbentuk lurus dan cukup panjang. Demikian panjangnya sehingga kita bisa mengidentifikasinya dengan mudah, seakan-akan sedang membelah langit di atas kita. Pemandangan berbeda akan nampak di kala senja ataupun fajar. Bukannya berwarna biru, namun langit saat itu dipenuhi cahaya senja (di kala senja) ataupun cahaya fajar (di kala fajar) sehingga cenderung berwarna jingga bercampur keputih-putihan. Saat pesawat lewat dalam ketinggian rendah di atas kaki langit barat (kala senja) atau timur (kala fajar), maka jejak kondensasinya memiliki kontras jauh lebih rendah dibanding saat siang hari. Ini menyulitkan kita dalam mengidentifikasi hampir sebagian besar jejak kondensasi tersebut. Kecuali di titik-titik yang paling pekat, yakni titik-titik yang berdekatan dengan sumbernya. Karena itulah jejak kondensasi terlihat menyerupai segitiga, yang mengesankannya mirip komet.
Jejak Kondensasi
Lalu pesawat apa yang menghasilkan jejak kondensasi yang sempat menghebohkan itu ?
Pengecekan silang dengan basis data FlightRadar24 menunjukkan dari sekian banyak pesawat terbang komersial yang hendak mendarat atau baru saja lepas landas dari dua bandara utama di Jabodetabek, yakni bandara Soekarno-Hatta dan bandara Halim Perdanakusuma, hanya ada satu yang masih berada di atas daratan Jabodetabek pada 8 Juni 2014 pukul 18:00 WIB dan sedang terbang ke arah barat daya. Yakni pesawat dengan nomor penerbangan LNI 372. Pengecekan lebih lanjut dengan basis data FlightAware menunjukkan LNI 372 merupakan pesawat berbadan besar, yakni Boeing 737-900 milik maskapai Lion Air yang sedang melayani rute Jakarta-Batam. Berdasarkan data dinamika ketinggian jelajah pesawat ini yang terekam dalam FlightAware, maka kesempatan terbaik untuk dapat menyaksikan pesawat ini adalah pada pukul 18:02 WIB. Titik waktu ini dan posisi pesawat pada saat itu relatif cocok dengan ketinggian cahaya bergerak yang disaksikan sejumlah saksi mata.
Maka dapat disimpulkan bahwa cahaya bergerak yang muncul di langit Jabodetabek pada 8 Juni 2014 senja bukanlah meteor. Ia juga bukanlah satelit buatan, juga bukan bangkai satelit yang sedang jatuh ke Bumi. Ia juga bukanlah pecahan dari asteroid manapun. Lebih lanjut lagi, ia juga bukanlah pulung atau ndaru dalam kosmologi Jawa, fenomena yang kerap dikaitkan dengan fireball (meteor terang).
Namun ia hanyalah pesawat yang sedang terbang menuju ke tujuannya dan meninggalkan jejak kondensasi di sepanjang lintasannya. Untuk sementara, pesawat tersebut diidentifikasi sebagai Boeing 737-900 Lion Air nomor penerbangan LNI 372. Masih terbuka kemungkinan pesawat lain yang menghasilkannya, yakni pesawat-pesawat militer yang data penerbangannya tidak tercakup di basis data FlightRadar24 maupun FlightAware.
Catatan: dipublikasikan ulang dari Cahaya Bergerak di Langit: Meteor, Satelit Buatan atau Pesawat? (Ekliptika).
1 komentar