fbpx
langitselatan
Beranda » Serba Serbi Pengamatan Hilal

Serba Serbi Pengamatan Hilal

Mengapa menentukan posisi hilal atau pengamatan hilal dilakukan waktu petang hari (maghrib)?

Radian Hidayat – Lampung

Bagaimana menentukan lokasi yang paling strategis untuk merukyah hilal, apa langkah-langkahnya, daerah tempat kami merupakan daerah yang berada di tepi pantai.

Kasyaf – Aceh 

Rumusan Hilal adalah 2-3-8 , menurut saya ini dipengaruhi kelengkungan bumi. Apabila kita bisa memiliki teleskop yang amat tinggi sehingga tidak dipengaruhi kelengkungan bumi, bisakah melihat hilal di bawah 2 derajat. Terimakasih.

Eko Hariyanto – Surabaya

Kenapa kalau posisi hilal dibawah 2 derajat tidak bisa dilihat? Kalau hilal dibawah 2 derajat bisa dilihat, masalah penentuan awal ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha akan selesai, dan Indonesia tidak menjadi aneh dimata orang mesir (kolom agus mustofa – jawa pos).

Bisakah hilal di bawah 2 derajat dilihat misal :

  • dari puncak gunung semeru
  • Ditarik garis 200 km kearah timur dari banda aceh (atau titik paling timur yang masih diakui sebagai wilayah indonesia sesuai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), kirim kapal kesitu, plus teleskop
  • Pakai teleskop yang bisa mengurai cahaya (seperti kalau deteksi lubang hitam kan dari deteksi sinar x nya, diakui secara ilmiah, lubang itu ada, kalau langit lokasinya hilal, panjang gelombang cahayanya tidak semua punya biru / warna langit, misal ada yang punya oranye/ warna bulan, kan berarti kita sudah bisa “melihat” bulan. Saya hanya lulusan akuntansi, mungkin teori saya tidak nyambung, tapi tolong “langit selatan” bisa menemukan cara melihat hilal yang kurang dari 2 derajat walaupun itu secara teoritis, supaya tiap tahun Indonesia tidak dipusingkan masalah hilal. Terima Kasih

Iwan R. Kartono – Surabaya

Berburu Hilal saat Petang

Hilal saat diamati dari Manado tanggal 26 Mei 2017. Kredit: BMKG
Pengamatan Hilal dan kenampakan hilal dari Manado tanggal 26 Mei 2017. Kredit: BMKG

Hilal atau Bulan sabit muda pertama yang terbentuk setelah konjungsi atau Bulan Baru dan diamati setelah Matahari terbenam.  Hilal memiliki peran penting bagi penentuan Kalender Hijriah yang memang berbasis pergerakan Bulan.

Setelah konjungsi atau ijtimak, Bulan sabit muda yang muncul di langit seharusnya sudah bisa diamati. Akan tetapi, para pengamat hilal selalu berburu bulan sabit tipis itu saat Matahari terbenam (maghrib) karena cahaya Hilal sangat redup.

Sekarang coba bayangkan.

Jika kita hendak mencari bulan sabit tipis di siang hari,  cahaya langit di sekitar Bulan sabit muda itu sangat terang.  Untuk itu, kita perlu menunggu sampai Matahari terbenam  agar cahaya langit di sekitar Hilal meredup terlebih dahulu. Hal ini memungkinkan Hilal untuk diamati.

Selain bergantung pada perbandingan cahaya Hilal dan kecerlangan langit senja,  visibilitas / keteramatan Hilal juga bergantung pada posisi Hilal relatif terhadap Horizon dan posisi Hilal relatif terhadap Matahari (disebut elongasi).

Jika dikaitkan dengan Kalender Hijriah, maka pengamatan hilal harus dilakukan kala senja,  karena pergantian hari di suatu lokasi dimulai saat Magrib (Matahari terbenam).

Kondisi langit yang sangat terang di siang hari memang menyulitkan pengamat untuk menemukan bulan sabit tipis di langit. Tapi bukan berarti tidak bisa diamati. Para astronom dan astronom amatir ada yang berhasil mengamati bulan sabit muda tersebut dengan menerapkan teknik tertentu.  Salah satunya adalah Tim Observatoriusm Bosscha dalam rukyat Hilalnya.

Akan tetapi, bulan sabit yang teramati di siang hari itu belum bisa disebut sebagai Hilal, melainkan hanya bulan sabit biasa.

Meskipun di siang hari para pengamat berhasil mengamati Bulan sabit muda,  belum tentu hilal akan teramati juga sore harinya  setelah Matahari terbenam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik atmosfer yang dilalui oleh cahaya Hilal pada saat siang dan petang.  Dan ini bisa dibuktikan dari hasil pengamatan Tim Observatorium Bosscha.

Jadi di mana kita bisa mengamati hilal?

Lokasi terbaik untuk mengamati hilal adalah lokasi yang jarang hujan / mendung agar proses pengamatan tidak terganggu awan. Selain itu, arah pandang di lokasi pengamatan juga harus bebas dari gedung atau penghalang lainnya yang menghalangi medan pandang pengamat ke arah ufuk barat. Setidaknya, arah azimuth 240° – 300° harus bebas pandangan sehingga pengamat bisa melihat ufuk barat.

Untuk itu, lokasi pengamatan paling strategis harus jauh dari sumber polusi cahaya, terutama yang di arah horizon Barat. Sumber polusi cahaya selain akan meningkatkan kecerlangan langit senja (yang berarti memperkecil kemungkinan Hilal teramati), juga berpotensi mengacaukan perukyat dalam mengesani objek di horizon Barat sebagai Hilal, padahal bukan.

Baca juga:  Apa itu Sabuk Gould?

Pantai jadi salah satu lokasi pilihan yang memiliki medan pandang yang bebas ke arah horison barat. Meskipun demikian, pengamat yang berada di area pantai sebaiknya tidak melakukan pengamatan di bibir pantai, melainkan di area yang jauh lebih tinggi daripada pantai.  Tujuannya untuk menghindari efek air laut yang bersifat korosif terhadap peralatan rukyat.  Selain itu, pengamat bisa melihat ke dalam horison.

Bandingkan orang yang duduk dan berdiri dalam melihat objek yang terhalang dinding setinggi orang yang duduk. Tentu orang berdiri lebih mungkin untuk mengamati objek itu daripada orang yang duduk.

Jika pengamatan menggunakan peralatan elektronik dan ingin disebarluaskan via internet, tentu saja fasilitas listrik dan internet harus tersedia di lokasi.

Visibilitas Hilal

Lokasi pengamatan yang bebas pandang ke arah ufuk barat sudah bisa ditemukan. tapi tidak berarti hilal bisa dengan mudah bisa diamati. Secara astronomis, hilal yang ketinggiannya kurang dari 2º tidak teramati.

Kok bisa?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari bahas terlebih dahulu faktor-faktor yang memengaruhi visibilitas/ keteramatan Hilal.

Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Faktor posisi Bulan
  2. Faktor kondisi atmosfer (khususnya kondisi cuaca di lokasi pengamatan)
  3. Faktor kondisi pengamat dan/atau peralatan yang digunakannya, jika pengamatannya menggunakan peralatan seperti teleskop yang dipadukan dengan detektor untuk merekam cahaya objek astronomis.

Mari kita bahas satu persatu faktor-faktor tersebut.

Pada faktor posisi Bulan, kita dapat memecahnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah posisi Bulan relatif terhadap horizon dan faktor inilah yang paling banyak dikenal di Indonesia. Jelas, semakin dekat ke horizon Hilal akan semakin sulit untuk diamati mengingat tingkat kepekatan atmosfer yang lebih besar di horizon dibandingkan ke arah Zenith.

Sebagai perbandingan adalah cahaya Matahari yang ketika siang demikian menyilaukan dan bisa merusak mata, ternyata justru aman untuk diamati oleh mata tanpa alat di sore hari.

Demikian juga dengan cahaya Hilal yang jauh lebih redup dibandingkan dengan cahaya Matahari. Hal ini menjadikan hilal semakin dekat ke Matahari akan semakin sulit untuk diamati. Inilah bagian kedua pada posisi Hilal.

Adapun bagian yang ketiga adalah pada jarak Bulan sendiri terhadap Bumi, yaitu semakin jauh jaraknya semakin sulit untuk diamati. Secara astronomis, hal ini diwakili oleh satuan yang disebut lebar sabit Hilal, yaitu semakin kecil lebar sabit Hilal akan semakin kecil kemungkinannya untuk teramati.

Kombinasi ketiga bagian ini merupakan inti pada kriteria visibilitas Hilal yang diajukan oleh Yallop pada 1997 atau Odeh pada 2016.

Berbeda dengan faktor posisi Bulan yang dapat diprediksi jauh-jauh hari dengan perhitungan astronomi yang sangat akurat, faktor kondisi cuaca di lokasi pengamatan sangatlah dinamis sehingga sulit dihitung jauh-jauh hari. Kita hanya dapat memprediksi secara akurat beberapa jam sebelumnya untuk lokasi-lokasi tertentu.

Adapun untuk kondisi secara umum, kita dapat mengandalkan informasi iklim (kondisi rata-rata cuaca pada jangka panjang) di lokasi pengamatan. Aplikasinya, kemungkinan untuk mengamati Hilal di Kupang jauh lebih besar dibandingkan di Padang, mengingat kondisi iklim di Kupang yang jarang berawan dibandingkan Padang yang sering berawan bahkan hujan.

Selain kondisi cuaca di lokasi pengamatan, kondisi atmosfer juga memengaruhi keteramatan hilal dalam hal kontrasnya. Konsep ini penting mengingat baik cahaya hilal maupun langit di horizon Barat berasal dari sumber yang sama, yaitu Matahari.

Sederhananya, hal ini adalah mirip seperti saat kita ingin mengamati objek berwarna putih yang berada di depan dinding yang juga berwarna putih. Tentu saja kita akan cukup kesulitan untuk mengamati objek tersebut saat kecerlangan dindingnya sama terang atau bahkan lebih terang daripada kecerlangan objeknya. Kita hanya mungkin untuk mengamati objek tersebut, jika kecerlangan objeknya lebih terang daripada kecerlangan dinding di sekitarnya.  Nilai batas minimal kecerlangan antara dua entitas ini disebut sebagai kontras.

Hal yang sama juga berlaku dalam pengamatan Hilal, yaitu kita hanya mungkin untuk mengamati Hilal jika kecerlangannya melebihi kecerlangan langit di sekitarnya.

Baca juga:  Apakah Venus Bisa Menjadi Planet Laik Huni?

Secara tradisional hal ini dapat dilakukan setelah Matahari terbenam, yaitu langitnya menjadi cukup redup agar hilal dapat teramati. Pada saat ini, konsep kontras tersebut dapat disiasati dengan teknik tertentu di astronomi sehingga kita dapat mengamati sabit bulan meskipun sejak siang. Namun demikian, kita juga harus memperhitungkan batasan dalam agama Islam, bahwa hilal harus diamati setelah terjadinya konjungsi dan setelah matahari terbenam.

Faktor yang ketiga yang harus diperhitungkan dalam visibilitas hilal adalah kondisi pengamat sendiri dan/atau peralatan yang digunakannya. Tentu saja pengamat yang belum berpengalaman bisa salah mengindetifikasi objek di arah horizon Barat yang sebenarnya bukan hilal sebagai hilal. Karena itu, seorang perukyat selain perlu memahami orientasi lokasi pengamatan dan kondisi cuaca saat rukyat dilaksanakan, juga perlu memahami posisi hilal berdasarkan hasil hisab yang akurat. Perukyat juga perlu memahami kinerja peralatan yang digunakannya untuk merukyat, jika ia menggunakan peralatan dalam proses rukyatnya.

Sekarang, mari kita bahas jawaban untuk pertanyaan di atas dengan pengandaian perukyat sudah berpengalaman dalam merukyat hilal, kondisi peralatan bekerja dengan baik, dan kondisi cuaca sedemikian mendukung untuk merukyat (misalnya cerah sekali tanpa awan).  Dengan demikian, faktor paling akhir yang harus diperhatikan adalah posisi Hilal sendiri.

Berdasarkan literatur astronomis mengenai Hilal yang bisa diakses di International Astronomy Center,  akan kita dapati ternyata Hilal terrendah yang mungkin teramati adalah di atas 3 derajat (contohnya hasil kajian Ilyas, 1998.

Sebagai catatan, tinggi hilal tersebut adalah untuk pengamat di lintang tinggi. Sementara untuk pengamat di lintang rendah seperti di Indonesia, tinggi hilal terrendah yang mungkin teramati diperkirakan akan lebih tinggi lagi daripada 3º.

Berdasarkan rekapitulasi data Hilal yang ada hingga saat ini di Indonesia dan dapat diverifikasi secara astronomis (misalnya ada bukti foto citra Hilalnya), tinggi Hilal terrendah yang teramati hingga saat ini adalah 5º.

Adapun Hilal dengan tinggi yang lebih rendah dari 5º, belum bisa diverifikasi secara astronomis. Tentu saja dalam hal ini kita pun harus memperhitungkan posisi Bulan relatif terhadap posisi Matahari atau disebut juga elongasi.

Dari kompilasi data yang ada, hilal dengan elongasi terkecil di dunia yang dapat teramati setelah Matahari terbenam adalah sebesar 6º. Sementara hilal dengan elongasi terkecil di Indonesia yang teramati setelah matahari terbenam adalah sebesar 7º.

Lebih kecil daripada nilai ini, sabit Bulannya diamati sebelum Matahari terbenam dengan teknis khusus di astronomi. Adapun untuk lebar sabit hilal, tidak akan dibahas lebih lanjut karena kurang dikenal di Indonesia.

Dari uraian ini dapatlah kita ketahui bahwa hilal dengan tinggi lebih rendah daripada 2º diperkirakan tidak akan teramati karena belum memenuhi syarat agar hilalnya teramati. Selain itu, berdasarkan data empiris yang terverifikasi secara astronomis, kita tidak akan dapat mengamati hilal dengan tinggi lebih rendah daripada 2º, meskipun dengan teknik paling maju di astronomi saat ini.

Seandainya kita punya teleskop yang amat tinggi yang tidak dipengaruhi kelengkungan Bumi,  bisa jadi hilal bisa teramati meski posisinya di bawah 2º. Lokasi itu hanya ada di luar angkasa.

Meskipun mungkin untuk mengamati bulan di luar angkasa, namun apa kegunaannya?

Permasalahan atmosfer mungkin akan teratasi. Tapi muncul masalah lain. Di manakah titik pengamatan teleskop itu? Dengan kata lain, jika Bulan sabit muda aka hilal bisa teramati, lantas di lokasi manakah di Bumi pergantian hari berdasarkan kalender Hijriah itu akan diterapkan. Dan jika pengamatan hilal dilakukan untuk kebutuhan keimanan, tentunya yang perlu dikaji adalah Hukum Islam yang berlaku dalam penentuan hilal di suatu lokasi.

Avatar photo

Rukman Nugraha

Alumnus Astronomi ITB yang sekarang bekerja di BMKG. Selain Kosmologi, saat ini Rukman tertarik dengan kajian Efek Variabilitas Matahari pada Iklim di Bumi dan Cuaca Antariksa. Ia juga tertarik dengan kajian sains Hilal.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini