Setelah bertahun-tahun lamanya para pecinta Astronomi merindukan datangnya sebuah Komet terang, setitik cahaya mulai muncul menghiasi langit malam dan menjadi semakin terang dalam waktu yang singkat. Nampaknya penantian itu akan segera berakhir.
Malam itu, Sabtu tanggal 28 Desember 2019, sebuah teleskop survei berdiamater 50 cm menjalani rutinitasnya dalam memonitor langit untuk mendeteksi objek-objek kecil dekat Bumi yang berpotensi mengancam eksistensi manusia. Teleskop berjenis reflektor tersebut memonitor langit dengan cara mengambil data gambar menggunakan kamera CCD dan menganalisanya untuk menemukan objek-objek baru yang belum diketahui. Larry Denneau, salah seorang staf peneliti yang bertugas pada saat itu, menganalisa salah satu data gambar dan menemukan sebuah objek baru di antara bintang-bintang. Larry kemudian meneliti orbitnya dan mengunggah hasil data perhitungannya ke situs Minor Planet Center seraya mengabarkan penemuan tersebut kepada Astronom lainnya yang tak lama kemudian memvalidasi penemuan ini melalui observasi lanjutan yang berhasil mengidentifikasi inti koma dan fitur fisis komet lainnya.
Komet ini kemudian diberi nama Comet C/2019 Y4 ATLAS. C/ memiliki arti bahwa komet ini berjenis non periodik, 2019 adalah tahun saat komet ditemukan, Y menandai waktu spesifik di tahun bersangkutan saat komet ditemukan, yaitu bagian kedua bulan Desember, sementara angka 4 menandai jumlah sekaligus urutan komet yang ditemukan pada periode waktu spesifik tersebut. Terakhir, nama ATLAS diambil dari nama salah satu fasilitas teleskop robotik yang pertama kali menemukan Komet tersebut, yaitu Asteroid Terrestrial-Impact Last Alert System (ATLAS) yang didanai oleh NASA dan dikelola oleh Universitas Hawaii dan berlokasi di Mauna Loa, Kepulauan Hawaii. Untuk mempermudah penyebutan, komet tersebut dikenal secara singkat dengan nama Komet Atlas.
Saat pertama kali ditemukan, Komet Atlas memiliki kecerlangan yang sangat rendah dengan nilai magnitudo +20 atau 398.000 kali lebih redup dari bintang teredup yang bisa dilihat secara kasat mata. Saat itu Komet berada pada jarak 439 juta km jauhnya dari Matahari, atau berada di luar orbit Planet Mars. Namun seiring waktu berjalan dan Komet semakin mendekat ke arah Matahari, dalam kurun waktu hanya 2 bulan, kecerlangan Komet tersebut melonjak 4000 kali dari magnitudo +17 di awal bulan Februari menjadi magnitudo +8 di akhir bulan Maret. Hal ini memberikan optimisme yang begitu besar karena belum pernah terjadi sebelumnya sebuah komet yang mengalami peningkatan kecerlangan secepat itu sehingga diprediksi pada saat menjelang titik Perihelionnya nanti, Komet ini dapat menjadi sangat terang sehingga dapat dilihat secara kasat mata, sesuatu yang telah didambakan sejak lama.
Terakhir kali sebuah Komet terang memukau warga Bumi adalah pada tahun 2007 ketika Komet McNaught menghiasi langit malam, sedemikian terang sehingga dengan sangat mudah terlihat secara kasat mata, bahkan dalam beberapa waktu dapat terlihat di siang hari yang terik! Beberapa tahun kemudian, Komet C/2011 W3 Lovejoy sempat menghibur di tahun 2011 untuk kemudian disusul Komet C/2011 L4 Pan-STARRS di tahun 2013. Keduanya memiliki kecerlangan yang cukup untuk terlihat secara kasat mata meskipun posisinya cukup dekat dengan Matahari. Di antara dua tahun tersebut, pada tahun 2012, dunia sempat dihebohkan oleh penemuan Komet baru yang dijuluki Komet Abad Ini yaitu Komet C/2012 S1 ISON yang diprediksi memiliki kecerlangan yang akan mengalahkan terangnya Bulan Purnama. Namun, Komet ini ternyata gagal bersinar seperti yang diharapkan. Sebuah kisah yang mirip seperti yang pernah terjadi pada Komet Kohoutek yang terlihat pada tahun 1973-1974.
Komet memang dikenal luas sebagai objek yang sangat sulit untuk diprediksi. Fisisnya yang berupa bongkahan es karbon membuatnya dapat berpijar terang secara tiba-tiba atau mungkin malah sebaliknya, meredup karena inti koma yang ringkih dan hancur. Perubahan kondisi fisis semacam ini sangat lumrah terjadi pada Komet seiring perjalanannya mengelilingi Matahari.
Sayangnya, hal ini pun terjadi pada Komet Atlas. Setelah berhasil mengejutkan dengan lonjakan kecerlangan yang sangat besar dalam waktu yang relatif singkat, pada tanggal 6 April, teleskop NEXT (Ningbo Education Xianjiang Telescope) berdiameter 60 cm mengamati adanya perubahan intrinsik pada inti komet yang teramati memanjang searah dengan arah ekor komet tersebut. Perubahan inti komet ini seiring dengan penurunan intensitas ekor debu dan meredupnya kecerlangan secara visual. Hal ini menjadi tanda-tanda dari hancurnya sang Komet. Meski begitu, masih ada kemungkinan untuk Komet ini selamat dari kehancuran dan kembali berpijar terang sebelum mencapai titik terdekatnya dengan Matahari (Perihelion) pada 31 Mei 2020.
Terlepas dari kabar yang kurang menggembirakan tersebut, menarik untuk terus diikuti bagaimana perkembangan selanjutnya dari sang Komet sambil mencoba mencari lokasinya di langit dan mengamatinya secara langsung. Saat tulisan ini dibuat, kecerlangan Komet Atlas turun menjadi magnitudo 10 dan berada di rasi Camelopardalis, sangat rendah di langit utara jika diamati dari Indonesia.
Jika membidiknya secara langsung dengan teleskop dirasa sulit, akan lebih mudah jika mencarinya lebih dulu menggunakan bantuan kamera dan tripod. Arahkan kamera ke kaki langit utara dan fokuskan lensanya pada bintang-bintang terang. Atur bukaan lensa yang paling lebar, ISO yang tinggi dan waktu pencahayaan yang lama lalu ambillah gambar. Komet Atlas akan nampak seperti bintang redup dan kabur dengan warna hijau yang khas.
Tulis Komentar