Tahun baru 2019 menjadi momen penting bagi New Horizons dan juga manusia karena untuk pertama kalinya, kita bisa mengenal dari dekat objek di Sabuk Kuiper.
Tak salah memang. Terbang lintas pada jarak 3.500 km dari 2014 MU69 atau Ultima Thule atau Arrokoth memberi informasi lebih banyak untuk kita dibanding saat dilihat dari Bumi yang jaraknya 6,6 miliar km. Pertemuan memang selalu memberi cerita yang lebih detil untuk memahami sesuatu.
Sebelum papasan dengan New Horizons, pengamatan dari Bumi hanya punya sedikit informasi. Orbit Arrokoth yang hampir lingkaran saat mengitari Matahari dari jarak 6,6 miliar km, dan objek ini diduga sebagai objek ganda, atau dua benda yang saling menempel seperti komet 67P/Churyumov-Gerasimenko.
Setelah New Horizons makin mendekati Arrokoth, objek yang awalnya tampak kabur di foto, semakin jelas. Dan akhirnya saat terbang lintas, kita bisa mengetahui dengan jelas bentuk Arrokoth.
Tak hanya itu. Data yang dikirim New Horizons dari tepi Tata Surya pada bulan Januari 2019 dan diolah selama satu tahun lebih itu akhirnya mengungkap cerita pembentukan, geografi, komposisi, maupun berbagai parameter dasar objek di Sabuk Kuiper ini.
Singkatnya, New Horizons memerlihatkan Arrokoth merupakan objek yang yang sangat merah, hanya punya sedikit kawah di permukaan, dan yang paling utama, Arrokoth terdiri dari dua objek yang bergabung secara perlahan dan lembut.
Permukaan Merah Arrokoth
Arrokoth. Objek ini merupakan dunia asing yang menyimpan cerita. Berada di area Sabuk Kuiper, Arrokoth menjadi bagian dari objek beku yang menyimpan cerita masa lalu pembentukan Tata Surya. Ternyata, citra yang dikirim New Horizons memerlihatkan sebuah dunia asing nan kompleks.
Arrokoth memiliki permukaan berwarna merah. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Objek-objek di Sabuk Kuiper memang berwarna merah. Pluto salah satunya. Diduga warna merah itu berasal dari tholins, materi organik berwarna kemerahan. Selain objek Sabuk Kuiper, Titan dan Enceladus juga diduga mengandung tholins.
Untuk Arrokoth, para astronom meneliti spektrum dari cahaya yang dipantulkan supaya bisa diketahui senyawa kimia yang terkadung di objek beku ini. Hampir tidak ada air di permukaan Arrokoth. Yang ditemukan justru metanol, bentuk paling sederhana dari alkohol.
Ada dua teori yang memungkinkan keberadaan metanol. Yang pertama, keberadaan es karbon monoksida di permukaan Arrokoth yang kemudian bercampur dengan hidrogen menjadi tersangka yang membentuk metanol. Teori kedua, diperkirakan dahulu di permukaan Arrokoth terdapat metana dan air es yang dibombardir sinar kosmis secara terus menerus sehingga terbentuklah metanol. Teori kedua ini sekaligus menjelaskan tidak adanya air di permukaan Arrokoth.
Selain metanol, ditemukan juga molekul lain yang belum teridentifikasi. Akan tetapi, para astronom menduga kalau senyawa kimia inilah yang menyebabkan permukaan Arrokoth berwarna merah. Minimnya air juga ditemukan pada objek sabuk Kuiper lainnya. Kemungkinan, fitur ini memang umum ditemukan di Sabuk Kuiper.
Permukaan Nan Mulus
Selain warna merah, geologi permukaan Arrokoth juga menarik. Tidak ditemukan cincin atau benda-benda kecil lainnya di orbit 2014 MU69 ini. Yang menarik, permukaannya terhitung cukup mulus, ditandai dengan minimnya kawah tabrakan.
Minimnya tabrakan benda-benda kecil pada permukaan Arrokoth menjadi indikasi kalau objek ini tidak mengalami banyak perubahan sejak terbentuk. Dengan demikian, kita bisa mengetahui cerita awal pembentukan Tata Surya dari apa yang terkandung di Arrokoth yang dullunya dikenal sebagai Ultima Thule.
Meskipun minim kawah, Arrokoth ternyata memiliki satu kawah besar yang berada di lobus kecil. Kawah yang diberi nama Maryland ini diameternya 7 km dan kedalamannya 0,8 km. Maryland diduga merupakan kawah hasil tabrakan. Kawah lain di permukaan 2014 MU69 diameternya hanya 1 km atau kurang dari itu. Selain kawah-kawah kecil tersebut, permukaan Arrokoth termasuk mulus. Selain itu, di antara kawah dan leher yang menghubungkan dua lobus Arrokoth, terdapat serangkaian palung yang mirip dengan fitur di asteroid Eros dan Phobos, satelit Mars. Lobus besar pada Arrokoth justru tidak ditemukan kawah besar.
Minimnya kawah ini sudah diduga.
Dulu saat Tata Surya masih muda, di sekeliling Matahari masih ada piringan gas dan debu yang kemudian menjadi lokasi pembentukan planet. Ketika Neptunus terbentuk, planet ini kemudian bermigrasi keluar sampai jarak 4,5 miliar km.
Saat bermigrasi, Neptunus harus melintas di antara gas dan debu pada piringan. Saat Neptunus bergerak, planet ini menyebabkan materi yang ada di piringan jadi tercerai berai dan ikut ditarik. Pecahan – pecahan ini kemudian mengitari Matahari dengan orbit yang sangat lonjong dan miring. Semakin jauh dari lokasi Neptunus, pada jarak 6-8 miliar km dari Matahari, kondisinya lebih tenang dan materi yang berada di area ini berada pada bidang orbit yang datar dan sirkular.
Kalau Pluto yang orbitnya miring justru lebih sering dihantam benda-benda lain, maka Arrokoth justru terhindar dari hantaman meteor. Bisa disimpulkan kalau permukaan Arrokot ini sudah sangat tua dan usianya sekitar 4 miliar tahun. Dengan kata lain, permukaan Arrokoth tak pernah berubah sejak Tata Surya masih sangat muda.
Jika demikian, kita bisa menjejak masa lalu Tata Surya lewat berbagai materi pembentuk Arrokoth yang masih tersimpan di dalam objek ini. Minimnya tabrakan akan membawa kita menemukan campuran es, materi organik, dan debu yang berasal dari awan pembentuk Tata Surya.
Pembentukan Arrokoth
Permukaan Arrokoth yang mulus juga menjadi petunjuk bahwa pembentukan objek ini tidak melalui proses yang keras. Diduga tabrakan yang terjadi di Arrokoth terjadi dengan lambat dan lembut.
Sejak awal diamati untuk menjadi target terbang lintas, Arrokoth memang sudah diduga merupakan dua benda ganda atau dua objek yang bergabung. Setelah berpapasan dengan New Horizons, ternyata Arrokoth yang panjangnya 36 km ini merupakan gabungan dua lobus. Lobus yang lebih besar volumenya 2 kali lobus kecil, dengan ukuran 20,6 × 19,9 × 9,4 km, sedangkan lobus kecil berukuran 15,4 × 13,8 × 9,8 km. Lobus kecil juga lebih tebal dari lobus besar.
Kedua lobus ini terhubung oleh leher tipis. Ada yang menarik. Kita tentu mengira bahwa lobus besar menarik lobus kecil dan keduanya bergabung setelah terjadi tabrakan. Tapi, tidak ada jejak kompresi atau hasil dari tekanan keras pada leher yang menghubungkan kedua lobus. Jika demikian, kontak antara kedua lobus tentu terjadi dengan sangat pelan dan lembut sehingga tidak ada bekas tekanan apapun. Para astronom memperkirakan kontak tersebut terjadi dengan kecepatan beberapa meter per detik.
Untuk membuktikannya, dilakukan pemodelan komputasi untuk melihat tabrakan atau penggabungan dua lobus dengan ukuran berbeda pada kecepatan dan sudut tabrakan yang juga beragam. Hasilnya, pada kecepatan tinggi, tabrakan akan menghasilkan banyak materi yang terlempar, dan kedua objek justru tidak bergabung.
Pada kecepatan lebih rendah sekitar 5 meter per detik, kedua lobus bisa terhubung tapi lehernya lebih tebal, dan materi juga terlepas dan mengubah bentuk keseluruhan. Ketika simulasi dijalankan pada kecepatan 3 meter/detik, dan tabrakan terjadi dengan sudut 80º, hasilnya justru sesuai dengan bentuk Arrokoth saat ini.
Untuk bisa menghasilkan kecepatan yang demikian lambat, kedua benda yang membentuk Arrokoth ini tidak mungkin terbentuk pada lokasi berbeda dan kemudian bergabung lewat tabrakan. Jika keduanya berasal dari dua lokasi berbeda dan bergerak untuk kemudian bertabrakan, kecepatannya akan lebih tinggi.
Diperkirakan, kedua lobus yang membentuk Arrokoth, terbentuk pada lokasi yang sama ketika Tata Surya baru saja terbentuk. Pada area luar tata Surya ini, partikel debu berukuran mikro bergabung membentuk butiran lebih besar dan membentuk awan materi seukuran kerikil. Materi ini terus bergabung membentuk dua objek lebih besar yang saling mengitari.
Keduanya kemudian menjadi objek ganda yang saling mengitari. Akan tetapi, di sekelilingnya masih terdapat debu dan gas yang ikut ditarik dalam pergerakan keduanya. Pada akhirnya, materi yang ikut tertarik ini menyebabkan kedua lobus bergerak spiral menuju satu sama lainnya dengan kecepatan yang lambat dan pada akhirnya saling menempel membentuk Arrokoth.
Dari citra Arrokoth yang dipotret New Horizons, selain bentuknya yang pipih memiliki orientasi yang sama, ditemukan juga kalau kutub dan ekuator kedua lobus hampir sejajar. Kondisi ini hanya bisa terjadi ketika kedua lobus masih mengorbit satu sama lainnya. Gravitasi keduanyalah yang beranggung jawab untuk mensejajarkan kedua lobus ini. Bukti ini memperkuat skenario penggabungan yang terjadi pada kecepatan sangat lambat.
Pertemuan New Horizons dan Arrokoth memang membuka cakrawala baru terkait objek Sabuk Kuiper. Akan tetapi, Arrokoth hanya satu di antara 35 ribu objek lainnya. Untuk memahami lebih jauh lagi, masih dibutuhkan data dari objek lainnya di Sabuk Kuiper. Tidak mudah, karena butuh biaya yang tidak sedikit untuk membangun misi yang baru.
Misi New Horizons belum berakhir dan diperpanjang sampai 2021 untuk melakukan eksplorasi pada Objek Kuiper lainnya. Kita tunggu saja cerita selanjutnya!
Tulis Komentar