fbpx
langitselatan
Beranda » Cara-cara astronom mencari planet lain — Bagian 1: Metode transit

Cara-cara astronom mencari planet lain — Bagian 1: Metode transit

Semenjak kita manusia sudah bisa berandai-andai dan melihat bintang-bintang di langit, kita sudah mempertanyakan, adakah kehidupan lain di luar Bumi. Semenjak kita menyadari posisi kita di alam semesta ini, yaitu sebuah bola raksasa yang kita sebut planet, mengorbit sebuah bola gas raksasa yang kita sebut bintang (dan kita beri nama Matahari dalam Bahasa Indonesia), maka tentunya muncul pertanyaan apakah bintang-bintang yang bertaburan di langit malam juga memiliki planet, dan adakah kehidupan di sana?

Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak banyak membantu menyelesaikan persoalan-persoalan kiwari di Bumi kita seperti bagaimana caranya kita menghilangkan jurang antara si kaya dan si miskin, bagaimana kita mengatasi pemanasan global, dan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya. Namun rasa ingin tahu akan dunia sekitarnya adalah salah satu sifat dasar manusia dan manusia selalu cerdas membangun peralatan yang dapat memperluas cakrawala pengetahuannya, termasuk untuk menjelajahi angkasa luar. Mencari planet lain adalah salah satu cara memuaskan rasa ingin tahu kemanusiaan mengenai apakah kita sendirian di kosmos yang begitu luas ini.

Saat ini pertanyaan ini belum sepenuhnya bisa kita jawab namun suatu saat nanti, jawaban yang muncul dapat mengubah wajah kemanusiaan selamanya… Gimana ya menggambarkannya?

Coba bayangkan peristiwa paling mengguncangkan dalam hidupmu lalu kalikan seribu… Mungkin begini: Bayangin suatu hari kamu dikontak seseorang yang ternyata adalah saudara tirimu yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya. Ia adalah anak bapakmu dari perempuan lain yang beliau nikahi secara diam-diam dan selama puluhan tahun terakhir ternyata diam-diam beliau punya keluarga kedua (ternyata itulah mengapa beliau sering tau-tau ngilang dengan alasan lembur)! Wah bisa dibayangin dong betapa terguncangnya kita dan betapa berubahnya cara pandang kita terhadap dunia. Yah mudah-mudahan ini bisa jadi gambaran. Intinya penemuan kehidupan di planet lain akan mengguncangkan dunia secara dahsyat dan berpotensi merombak tatanan yang sudah ada di dunia ini.

Oleh karena potensi penting itulah, dewasa ini pencarian planet lain adalah salah satu topik paling seksi dalam dunia sains. Selama ratusan tahun kita sudah berusaha mencari dengan teknologi terbaik, namun percaya atau tidak kita baru bisa menemukan eksoplanet (istilah untuk planet yang mengorbit bintang lain) pertama secara meyakinkan pada tahun 1995. Hingga saat ini, dengan berbagai teknik kita sudah menemukan lebih dari 4000 eksoplanet dan angka ini akan terus bertambah. Bagaimanakah angka fantastis itu dicapai? Tentunya ada berbagai teknik yang diterapkan para astronom untuk dapat menemukan berbagai eksoplanet dengan berbagai karakteristik. Mari kita bahas beberapa di antaranya. Pada bagian pertama ini marilah kita mulai dengan cara menemukan eksoplanet dengan menggunakan metode transit.

Kesulitan utama dalam mencari eksoplanet adalah mereka demikian redup dan terletak begitu dekat dari bintang induk mereka, sehingga sedikit cahaya yang mereka pancarkan kalah terang dibandingkan cahaya yang dipancarkan bintang induknya. Situasi ini dapat dibandingkan seperti kita berusaha mengamati seekor kunang-kunang yang beterbangan di sekitar lampu mercu suar yang terang banget di tengah malam. Akan sulit sekali karena cahaya redup kunang-kunang tertelan oleh cahaya lampu mercu suar yang jauh lebih terang.

Akan tetapi, eksoplanet terus bergerak dalam orbitnya mengitari bintang induknya. Dalam pergerakannya ini akan ada saat ketika eksoplanet ini melintas di depan bintang induknya (dari sudut pandang kita di Bumi). Peristiwa melintasnya suatu objek langit di depan objek langit yang lebih besar ini dinamakan transit. Dari Bumi, misalnya, kita bisa mengamati peristiwa melintasnya Merkurius di depan Matahari, dan melintasnya Venus di depan Bumi. Nah pada saat terjadinya peristiwa transit eksoplanet ini, cahaya bintang induknya akan meredup sedikiiittt sekali karena terhalang oleh si eksoplanet yang lewat di depannya. Apabila kita terus-menerus mengukur kecerlangan si bintang induk, maka peristiwa peredupan cahaya bintang induk dapat kita ikuti dan keberadaan sebuah eksoplanet dapat dideteksi.

Baca juga:  Lima Planet Pertama Kepler
<b>Gambar 1.</b> Contoh pengamatan eksoplanet dengan mempelajari kurva cahaya bintang induknya. Saat sebuah eksoplanet lewat di depan bintang induknya, cahaya bintang induknya akan meredup sedikit sekitar 1--2 persen (tergantung ukuran eksoplanet). Sumber: <a href="http://research.iac.es/galeria/hdeeg/">Hans-Jörg Deeg, Instituto de Astrofísica de Canarias</a>.
Gambar 1. Contoh pengamatan eksoplanet dengan mempelajari kurva cahaya bintang induknya. Saat sebuah eksoplanet lewat di depan bintang induknya, cahaya bintang induknya akan meredup sedikit sekitar 1–2 persen (tergantung ukuran eksoplanet). Sumber: Hans-Jörg Deeg, Instituto de Astrofísica de Canarias.

Contoh pengamatan eksoplanet saat transit dapat dilihat pada Gambar 1 di atas. Bagian atas gambar adalah ilustrasi tahapan transit dari waktu ke waktu. Bagian bawah gambar adalah grafik perubahan kecerlangan bintang induk dari waktu ke waktu. Perlu diingat bahwa jarak bintang amatlah jauh, dengan menggunakan teleskop terkuat dan teknik terbaik kita belum bisa mengamati bintang sebagai sebuah piringan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Nah kita bisa melihat pada grafik di bawahnya, saat eksoplanet melintas di depan bintang induknya, cahaya bintang induk meredup sedikit sampai sekitar dua persen saja, sebelum akhirnya kembali seperti sedia kala saat eksoplanet pergi. Peristiwa ini akan terulang kembali dan kita akan dapat mengamati peristiwa ini berulang kali.

<b>Gambar 2.</b> Perhatikan kurva cahaya untuk bintang sebelah kiri dan untuk bintang sebelah kanan. Misalkan kedua eksoplanet berukuran sama. Untuk bintang yang besar di sebelah kiri, kurva cahaya tidak dalam, sementara untuk bintang yang kecil di sebelah kanan, kurva cahaya cukup dalam. Dengan mengukur kedalaman transit, jari-jari sebuah eksoplanet relatif terhadap jari-jari bintang induknya dapat diketahui. Sumber: <a href="https://www.cfa.harvard.edu/~avanderb/tutorial/tutorial.html">Andrew Vandenburg, Transit Light Curve Tutorial</a>.
Gambar 2. Perhatikan kurva cahaya untuk bintang sebelah kiri dan untuk bintang sebelah kanan. Misalkan kedua eksoplanet berukuran sama. Untuk bintang yang besar di sebelah kiri, kurva cahaya tidak dalam, sementara untuk bintang yang kecil di sebelah kanan, kurva cahaya cukup dalam. Dengan mengukur kedalaman transit, jari-jari sebuah eksoplanet relatif terhadap jari-jari bintang induknya dapat diketahui. Sumber: Andrew Vandenburg, Transit Light Curve Tutorial.

Grafik perubahan kecerlangan terhadap waktu ini dinamakan kurva cahaya. Dengan mempelajari karakteristik kurva cahaya ini kita dapat mengetahui karakter eksoplanet yang menyebabkan peredupan ini. Misalnya, dengan mengukur kedalaman transit yaitu seberapa besar eksoplanet meredupkan cahaya bintang, maka jari-jari eksoplanet relatif terhadap jari-jari bintang induk dapat diketahui (Gambar 2). Apabila kita mengetahui berapa sesungguhnya jari-jari bintang induk (ada cara lain untuk mengetahui ini), maka jari-jari sesungguhnya dari eksoplanet tersebut dapat ditentukan. Dengan mengukur berapa lama proses transit ini terjadi, maka periode orbit eksoplanet mengitari bintang induknya dapat ditentukan.

Andaikan kita adalah alien yang tinggal di planet yang jauh sekali dan mengamati Matahari kita, maka peristiwa transit Bumi (melintasnya Bumi di hadapan Matahari) akan meredupkan cahaya Matahari sebanyak sekitar 1/10000 bagian (sekitar 0.01%). Peredupan yang hanya 0.01% persen ini amat sangat kecil sekali dan dengan demikian sulit dideteksi. Wajarlah apabila pada awalnya eksoplanet yang ditemukan dengan cara ini adalah eksoplanet yang besar sekali sehingga bisa meredupkan 1–2 persen cahaya bintang induknya.

Hingga saat ini, sudah ada sekitar 3100 eksoplanet telah ditemukan dengan menggunakan metode transit. Sebagian besar eksoplanet yang ditemukan dengan menggunakan metode ini, ditemukan oleh wahana Kepler, yaitu sekitar 2700 eksoplanet.

<b>Gambar 3.</b> Ilustrasi wahana <i>Kepler</i>. Sumber: <a href="https://www.nasa.gov/ames/kepler/reborn-kepler-can-still-find-planets">NASA Ames/JPL-Caltech/T Pyle</a>.
Gambar 3. Ilustrasi wahana Kepler. Sumber: NASA Ames/JPL-Caltech/T Pyle.

Kepler (Gambar 3) adalah wahana antariksa yang dioperasikan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada tahun 2009 dan beroperasi selama 9 tahun. Wahana Kepler ditempatkan dalam orbit yang mengikuti Bumi mengitari Matahari, dan teleskopnya diarahkan ke satu arah tertentu secara terus-menerus. Dengan demikian, seluruh bintang yang berada dalam arah pandang ini dapat diamati setiap saat dan kurva cahaya mereka dapat terus dipantau untuk mendeteksi adanya eksoplanet yang lewat. Selama misi ini wahana Kepler telah mengamati sekitar setengah juta bintang dan pada akhirnya berhasil mendeteksi keberadaan hampir 2700 eksoplanet.

Wahana Kepler bisa demikian sukses karena pengamatan di antariksa bebas gangguan atmosfer Bumi. Saat berkas cahaya bintang memasuki atmosfer Bumi, berkas tersebut terbiaskan dan terhamburkan, sehingga pengukuran kecerlangan cahaya bintang menjadi kurang akurat. Akibatnya sulit menentukan apakah peredupan cahaya bintang disebabkan oleh efek atmosfer ataukah karena memang sungguhan ada eksoplanet yang lewat di depan bintang.

Bila kita sedikit pintar kita bisa memodelkan efek-efek atmosfer ini dengan komputer sehingga kita bisa sedikit menanggulangi efek ini, namun sesungguhnya solusi paling optimum adalah dengan mengirimkan teleskop ke antariksa sehingga tidak ada gangguan atmosfer. Persoalannya adalah mengirimkan teleskop ke antariksa butuh biaya besar (Misi Kepler membutuhkan sekitar 600 juta dolar termasuk biaya operasional untuk 3.5 tahun pertama. Selanjutnya 20 juta dolar per tahun) dan teknologi yang tidak sederhana. Memandang pentingnya misi ini untuk mengetahui apakah ada planet lain yang mirip Bumi di luar sana, maka NASA menyetujui misi ini. Angka 600 juta dolar terdengar begitu fantastis (kira-kira setara dengan 9 trilyun rupiah) namun mengingat bahwa ada sekitar 140 juta pembayar pajak di Amerika Serikat, artinya rata-rata pembayar pajak Amerika Serikat hanya patungan sekitar 4.5 dolar saja untuk membiaya misi ini atau kira-kira setara dengan segelas kopi di Starbucks.

Baca juga:  Wahana Kepler & Kandidat Planet Baru
<b>Gambar 4.</b> Kurva cahaya dari lima eksoplanet pertama yang ditemukan wahana <i>Kepler</i>. Perhatikan panel paling kiri: planet Kepler 4b hanya meredupkan sekitar 0.1% cahaya bintang induknya! Sumber: <a href="https://www.nasa.gov/content/light-curves-of-keplers-first-5-discoveries">NASA/Kepler Mission</a>.
Gambar 4. Kurva cahaya dari lima eksoplanet pertama yang ditemukan wahana Kepler. Perhatikan panel paling kiri: planet Kepler 4b hanya meredupkan sekitar 0.1% cahaya bintang induknya! Sumber: NASA/Kepler Mission.

Hasilnya terbilang fantastis. Karena keberadaan Kepler di antariksa meniadakan gangguan atmosfer, maka pengukuran kurva cahaya bisa menjadi lebih teliti. Peredupan sedikit saja bahkan yang kurang dari 1% atau bahkan hingga 0.1% cahaya bintang akan dapat dideteksi dan diukur dengan teliti (Gambar 4). Artinya Kepler dapat mendeteksi eksoplanet kecil yang ukurannya kira-kira setara Bumi.

Ada sekitar 30 eksoplanet yang ditemukan Kepler memiliki massa di bawah 3 kali massa Bumi kita. Salah satunya, planet yang dinamakan Kepler 452b, memiliki massa sekitar 5 kali massa Bumi kita dan jari-jarinya sekitar 1.5 kali jari-jari Bumi. Artinya planet ini punya karakteristik yang mirip-mirip dengan Bumi kita. Terlebih lagi, bintang induk planet ini mirip juga dengan Matahari dan planet ini mengorbit bintang induknya dalam jarak yang tidak terlalu dekat sehingga air akan menguap dan juga tidak terlalu jauh sehingga air akan membeku. Jarak yang “pas” dari bintang induk sehingga air di permukaan eksoplanet ini bisa berada dalam kondisi cair ini kita namakan zona laik huni. Pendek kata, Kepler 452b disebut-sebut sebagai “sepupu jauh” Bumi yang lebih besar. Hanya saja planet ini jaraknya jauh sekali yaitu sekitar 1400 tahun cahaya dari kita, artinya komunikasi antar bintang dengan menggunakan gelombang radio akan membutuhkan waktu sekitar 2800 tahun untuk memperoleh jawaban. Akan tetapi, jarak yang jauh ini tidak menghentikan harapan kita dan beberapa astronom yang berkutat di bidang SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence, pencarian kehidupan cerdas di luar Bumi) sudah mengarahkan teleskop radio mereka ke arah planet ini, berusaha mencari tahu apakah ada peradaban di sana yang memancarkan sinyal radio. Sejauh ini belum ada hasil.

Metode transit dengan demikian adalah metode pencarian eksoplanet yang terbilang paling sukses dari segi jumlah penemuan. Dengan mengirimkan wahana antariksa untuk melakukan pengamatan yang bebas dari gangguan atmosfer Bumi, metode ini menjadi semakin kuat karena dapat melakukan pengukuran cahaya yang lebih teliti sehingga dapat mendeteksi eksoplanet yang semakin kecil. Akan tetapi, kelemahan metode ini jadi terlihat jelas apabila kita mengingat bahwa metode ini hanya bisa berhasil kalau bidang orbit eksoplanet tersebut sejajar dengan kita sehingga eksoplanet bisa lewat di antara kita dan bintang induknya. Kalau bidang orbit eksoplanet itu tegak lurus terhadap kita, maka eksoplanet tidak lewat di hadapan kita dan dengan demikian tidak bisa dideteksi. Dengan demikian apabila kita menggunakan metode ini pada suatu bintang dan tidak menemukan peredupan dalam kurva cahayanya, bukan berarti bintang ini tidak punya eksoplanet. Bisa jadi memang orientasi bidang orbit eksoplanet ini membuat planet tidak bisa dideteksi. Dibutuhkan metode lain untuk dapat menemukan eksoplanet yang bidang orbitnya tidak sejajar dengan kita.

Pada bagian berikutnya kita akan mendiskusikan metode lain untuk menemukan eksoplanet, yaitu dengan mengukur pengaruh gravitasi eksoplanet pada bintang induknya.


Artikel ini sudah pernah dimuat sebelumnya di Indoprogress dan dimuat kembali oleh penulis di langitselatan tanpa perubahan.

Avatar photo

Tri L. Astraatmadja

Astronom, bekerja sebagai peneliti postdoktoral di Space Telescope Science Institute (STScI), di kota Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini