fbpx
langitselatan
Beranda » Adakah Seseorang di Luar Sana: Meninjau kembali Persamaan Drake

Adakah Seseorang di Luar Sana: Meninjau kembali Persamaan Drake

Mengapa tidak juga menemukan sinyal dari peradaan asing? Salah di mana kita? Marilah kita analisis ulang Persamaan Drake dengan meninjau setiap faktor secara terpisah, agar kita mendapat gambaran akan persoalan yang kita hadapi. Jumlah bintang yang terbentuk setiap tahun, R, adalah 1 dan astronom sudah yakin dengan hal ini setelah mengamati berbagai nebula yang sedang membentuk bintang. Bahkan baru-baru ini telah dipastikan bahwa beberapa milyar tahun lalu, saat bintang yang kini memiliki peradaban sedang dilahirkan, lebih banyak bintang tercipta setiap tahunnya. Jadi nilai R = 3 justru lebih realistis.

Namun demikian, astronom dan ahli biologi kurang yakin pada nilai dari faktor-faktor berikutnya.

Fraksi Bintang yang Memiliki Planet, f_p

Persamaan Drake

Faktor kedua, fp, adalah fraksi bintang yang memiliki planet. Penemuan planet di luar tata surya kita—planet ekstrasolar—pada tahun 1995 telah memulai pencarian planet ekstrasolar dan sejauh ini telah mengkonfirmasikan dugaan astronom selama ini: planet adalah hal yang umum.

Hingga bulan Juni 2003 kita telah memastikan bahwa 12 persen bintang yang karakteristiknya mirip matahari memiliki planet raksasa yang mengorbit dalam jarak 5 Satuan Astronomi (1 Satuan Astronomi adalah jarak rata-rata Bumi ke Matahari, yaitu 150 juta km, sementara 5 SA adalah adalah jarak Matahari-Jupiter). Dengan demikian kita dapat secara langsung menyimpulkan bahwa 12 persen bintang memiliki planet, sehingga f_p = 0.12.

Namun teknik pencarian planet ekstrasolar hingga saat ini hanya sanggup menemukan planet-planet raksasa, terutama yang berada pada orbit yang cepat. Tata surya yang menyerupai tata surya kita belum dapat dideteksi, sehingga kemungkinan besar justru persentase bintang yang memiliki planet dapat lebih besar dari 0.12, sehingga angka f_p dapat berkisar antara 20 hingga 100 persen.

Meskipun kita tidak memiliki hasil yang final, namun kini jelas bahwa nilai f_p tidak akan menghambat proses perhitungan secara keseluruhan.

Jumlah Planet yang Menyerupai Bumi, n_e
Angka ini tidak terlalu pasti. Frank Drake mengungkapkan bahwa diskusi pada tahun 1961 menyimpulkan bahwa nilai minimum n_e berkisar antara 1 hingga 5. Dengan kata lain, setiap tata surya diharapkan memiliki paling tidak satu buah planet yang mirip Bumi (didefinisikan sebagai tempat di mana adanya air dimungkinkan), dan bisa saja terdapat tiga, empat, atau lima planet yang baik.
Penemuan-penemuan terbaru di Mars dan Europa memastikan dugaan Frank Drake dan kolega. Di planet Mars maupun di Europa—salah satu satelit Jupiter—ditemukan adanya kutub es maupun lapisan es yang dapat menjadi air bila suhu meningkat, sehingga jumlah “Bumi” dalam tata surya dapat menjadi tiga. Walaupun demikian, planet ekstrasolar yang telah ditemukan hingga saat ini telah memberi tahu kita sesuatu: Tata surya kita yang memiliki sejumlah planet dan satelit yang demikian banyak, dengan orbit yang stabil, mungkin adalah sebuah keistimewaan dan bukan sebuah keharusan. Kemungkinan besar planet yang mirip Bumi dengan orbit dan iklim yang stabil adalah sesuatu yang langka.

Fraksi Planet yang Memiliki Kehidupan, f_l
Berapa besar kemungkinan sebuah planet yang kondisinya mirip Bumi dapat memunculkan kehidupan? Kita sudah mengetahui bahwa bangun dasar dari kehidupan adalah molekul organik dan asam amino, dan kedua unsur ini cukup berlimpah di jagat raya. Hidrokarbon telah ditemukan pada meteorit, komet, dan materi antar bintang. Bahkan jumlah asam amino pada ruang antar bintang jauh lebih besar daripada pada biosfer Bumi. Meskipun hidrokarbon dan asam amino bukanlah organisme hidup, namun tidak diragukan lagi bahwa persiapan evolusi makhluk hidup bermulai dari awan antar bintang.

Yang lebih penting adalah penemuan-penemuan dari ilmu biologi. Kurang lebih 3.9 milyar tahun lalu Bumi ditumbuk komet (atau meteor) raksasa yang menguapkan lautan, dan saat itu mikroorganisme baru muncul selama beberapa ratus juta tahun. Namun dalam waktu setengah milyar tahun sudah muncul organisme yang berfotosintesis dan beberapa ratus juta tahun kemudian muncul bakteria. Kesimpulannya, dengan kondisi yang tepat, kehidupan dapat muncul dengan mudah—paling tidak bila kita memiliki laboratorium sebesar planet dan jutaan tahun untuk menjalankan eksperimen tersebut. Jika proses munculnya kehidupan pada dasarnya sulit, mungkin saja kehidupan tidak muncul pada kesempatan pertama dan akan muncul kemudian. Ahli biologi kini memperdebatkan aapak kehidupan dapat muncul beberapa kali secara terpisah. Ada banyak alasan untuk menganggap bahwa semua makhluk hidup sekarang berasal dari nenek moyang yang sama, namun bentuk kehidupan lain dapat muncul dan punah. Jika kehidupan dapat muncul di mana saja, maka logis untuk menetapkan f_l = 1.

Peluang Munculnya Intelijensia, f_i
Dengan demikian masih ada tiga faktor yang belum diketahui. Berapa besar peluang kemunculan kecerdasan (f_i)? Berapa persen peradaban cerdas yang dapat mengembangkan tekologi pemancar sinyar radio (f_c)? Dan berapa kala hidup dari peradaban pemancar sinyal tersebut (L)? Tiga faktor terakhir ini adalah persoalan biologi dan sosiologi yang mengandung perdebatan yang lebih besar daripada faktor astronomi.

Menurut banyak ilmuwan, sungguh naif untuk menganggap evolusi makhluk hidup pasti akan berujung pada intelijensia sebagaimana kita memahaminya. Almarhum Stephen Jay Gould, seorang paleontolog dari Universitas Harvard, berpendapat “keberadaan kita mungkin berhutang pada nasib baik. Homo Sapiens adalah sebuah kekhususan, bukan sebuah kecenderungan.” Evolusi adalah proses yang tak dapat diramalkan, tak terarah, dan chaotic. Berulangkali Gould menekankan bahwa jika kita mengulang seluruhnya proses evolusi di muka Bumi, maka belum tentu manusia dapat muncul. Gould juga mencatat bahwa tidak ada pola dalam evolusi. Bila sebuah hewan yang baru berevolusi lebih cerdas dan lebih besar dari sebelumnya, bisa saja nantinya spesies ini tidak lolos seleksi alam. Teknologi dan perencanaan yang dibuat manusia besar kemungkinan juga merupakan kegagalan evolusi.

Namun bagi pihak lain, lolos seleksi alam berarti meningkatkan peluang bertahan sebuah spesies dengan intelijensia yang lebih tinggi. Ada pula yang berpendapat bahwa astronom dan fisikawan terlalu optimis dalam memperkirakan kemunculan intelijensia. “Fisikawan cenderung berpikir lebih deterministik daripada ahli biologi,” tulis ahli biologi Ernst Mayr. “Mereka berpikir jika kehidupan telah muncul di suatu tempat, maka suatu saat akan mengembangkan intelijensia. Di lain sisi, ahli biologi terkesima dengan kecilnya peluang kemunculan kecerdasan.” Jadi perbedaan pendapat dua bidang ilmu berakar dari latar belakang pendidikan keduanya. Bagi seorang ahli biologi, sesuatu yang terjadi sekali dalam 4 milyar tahun adalah sesuatu yang sangat langka. Astronom memandangnya lebih luas: Sesuatu yang terjadi dalam waktu kurang dari kala hidup sebuah planet adalah kejadian yang umum.

Mereka-mereka yang optimis akan berpendapat bahwa Bumi masih memiliki sisa waktu efektif 4 milyar tahun sebelum matahari mulai kehabisan bahan bakar. Ini jelas adalah waktu yang sangat lama. Bila evolusi menuju intelijensia adalah proses yang sulit dan langka, maka seharusnya intelijensia tidak akan muncul demikian cepat dalam sejarah Bumi. Jika melihat kemunculan manusia yang cukup cepat, maka besar kemungkinan nantinya akan muncul bentuk kehidupan lain yang berbeda beberapa kali (dan menemukan fosil kita).

Kaum optimis menjawab dengan menunjukkan fakta bahwa kita tidak tahu berapa lama Bumi akan tetap stabil seperti ini. Bumi yang nampaknya stabil ini bisa saja merupakan suatu keberuntungan dan mungkin saja di kemudian hari keberuntungan kita akan hilang. Dengan demikian justru kita ini muncul agak terlambat dalam sejarah Bumi.

Perlu diingat bahwa fakta munculnya intelijensia sebanyak satu kali tidak akan membantu kita dalam menentukan besarnya frekuensi kemunculan intelijensia. Alasannya mudah: hanya ada satu kasus yaitu kita sendiri.

Hingga kini, f_i tetap menjadi faktor paling kontroversial dalam Persamaan Drake. Ada yang berpendapat bahwa besarnya mendekati nol, sementara ada pula yang yakin bahwa besarnya mendekati 1. Nampaknya belum ada jalan tengah.

Bencana Planet
Ada lagi satu faktor yang harus kita pikirkan dalam memperkirakan peluang kemunculan intelijensia, yaitu kestabilan tata surya dan iklim planet kita. Bila sebuah planet sangat cocok untuk menculnya kehidupan, belum tentu kondisinya akan terus begitu selamanya.
Simulasi komputer sebuah sistem tata surya menunjukkan bahwa planet yang menyerupai Bumi tidak akan sanggup menahan tarik-menarik gravitasi antara dua (atau lebih) planet raksasa sebesar Jupiter. Planet kecil ini akan dilontarkan keluar dari tata surya atau menuju bintang pusat.

Sebaliknya, sistem tata surya tanpa adanya planet raksasa juga akan membahayakan planet mirip Bumi. Simulasi komputer menunjukkan bahwa Jupiter bertindak sebagai “penghisap debu” tata surya yang menarik komet-komet berbahaya ke arahnya sehingga tidak mengarah ke Bumi. Tanpa adanya planet seukuran Jupiter maka jumlah tumbukan komet akan 1000 kali lebih banyak dan tumbukan yang membawa bencana (seperti yang memunahkan dinosaurus 65 juta tahun lalu) akan terjadi setiap 100 000 tahun. Tentu saja ini akan memperlambat pross evolusi dari kehidupan sederhana menjadi kehidupan intelijen.

Sebuah studi tentang dinamika orbit Bumi juga menunjukkan bahwa perubahan kemiringan orbit Bumi dapat berdampak pada perubahan iklim. Bumi kita cukup beruntung memiliki Bulan yang dapat meredam perubahan kemiringan orbit Bumi, namun planet yang tidak memiliki satelit—seperti Mars—dapat mengalami perubahan kemiringan yang besar dan dapat mengubah iklim dan musim dengan drastis.

Walaupun demikian sejarah evolusi kehidupan di Bumi justru menunjukkan bahwa perubahan iklim yang drastis dapat mempercepat evolusi. Ahli biologi menunjukkan bahwa zaman es global yang terjadi antara 760 hingga 550 juta tahun lalu justru menimbulkan “ledakan Prekambrian” yang menghasilkan banyak bentuk kehidupan baru dalam waktu yang singkat. Kepunahan besar yang terjadi di Bumi justru selalu diikuti oleh perbaikan yang cepat dan menghasilkan spesies-spesies baru. Perbaikan total dari kepunahan besar, dalam semua kasus, selalu membutuhkan waktu 10 juta tahun. Bahkan kemunculan manusia pada masa zaman es kadangkala dipandang sebagai “evolusi di bawah tekanan” yang berujung pada kemampuan adaptasi dan intelijensia tinggi.
Namun bencana planet yang terlalu sering terjadi atau terlalu ekstrim dapat membunuh seluruh kehidupan, atau menahan evolusi pada tahap rendah.

Peluang Munculnya Teknologi Radio, f_c
Baiklah, kita anggap saja kehidupan intelijen di luar Bumi adalah sesuatu yang langka namun ada. Dapatkah kira berharap mereka akan mengirimkan sinyal radio ke luar angkasa? Berapa persen peradaban yang dapat—dan ingin—mengirimkan sinyal radio? Berapa besarnya f_c? Semua orang menganggap f_c cukup besar dan mungkin mendekati 1. Cepat atau lambat, peradaban manapun yang memiliki rasa ingin tahu dan memiliki teknologi untuk mengembangkan sinyal radio dan mengetahui bahwa ini adalah salah satu cara efektif untuk berkomunikasi pasti akan mengirimkan sinyal.

Atau kita sebenarnya cukup naif? Mungkinkah makhluk yang benar-benar berbeda dari kita akan mengirimkan sinyal ke luar angkasa? Atau bisa saja radio adalah teknologi yang luar biasa primitif bila dibandingkan dengan sesuatu yang nantinya akan kita temukan.

Kala hidup L
Kita tiba pada faktor terakhir dalam Persamaan Drake yaitu L, kala hidup rata-rata dari peradaban cerdas yang mampu berkomunikasi. Dalam menentukan L, pendapat kelompok optimis dan pesimis juga berbeda jauh.

Mereka yang optimis berpendapat bahwa masyarakat intelijen yang stabil dapat bertahan hingga puluhan juta tahun, bila tidak selamanya. Terlebih lagi, spesies yang dapat bertahan lama akan memiliki kesempatan untuk menyebar ke tata surya lain dan memperluas keberadaannya. Kaum pesimis justru berpendapat bahwa teknologi radio baru diciptakan satu abad lalu tetapi hampir setiap saat manusia selalu berada di ambang kepunahan. Teknologi yang memungkinkan adanya komunikasi antar bintang juga sekaligus menjadi teknologi yang memungkinkan kehancuran kita.

Namun ada pula yang mengatakan bahwa manusia pada suatu saat tidak bisa punah sepenuhnya. Manusia sudah terlalu menyebar di muka Bumi dan begitu adaptif, sehingga bila terjadi kepunahan massal maka beberapa kelompok masih dapat bertahan hidup dan memenuhi Bumi kembali, hingga berjumlah milyaran, dalam beberapa ribu tahun. Peradaban kedua yang berteknologi tinggi dapat muncul kembali dan mungkin saja dapat terjadi beberapa kali.

Dengan demikian harga L tidak mesti mengacu pada kala hidup satu peradaban berteknologi, tapi dapat pula merupakan penjumlahan dari semua peradaban yang pernah muncul.

Paradoks Fermi
Inilah argumentasi kelompok pesimis yang paling kuat. Argumentasi ini tidak didasarkan pada teori atau dugaan, tapi jusru berasal dari fakta pengamatan: Bumi hingga saat ini tidak pernah dikunjungi atau dikepung oleh makhluk angkasa luar.

Sebuah peradaban yang dapat bertahan hingga puluhan juta tahun seharusnya memiliki cukup waktu untuk berkelana ke mana pun di galaksi kita, meskipun bergerak dengan kecepatan yang teramat rendah. Dorongan untuk memperluas teritori nampaknya adalah ciri universal dari makhluk hidup. Namun hingga saat ini tidak pernah ada tanda-tanda atau adanya catatan fosil yang menunjukkan bahwa Bumi pernah dikolonisasi oleh makhluk asing berteknologi tinggi, baik dulu maupun sekarang. Persoalan inilah yang disebut dengan Paradoks Fermi, dinamai dari ahli fisika nuklir Enrico Fermi, yang pada tahun 1950—dalam sebuah diskusi tentang makhluk asing—bertanya, “Di mana mereka?”
Kelompok optimis punya banyak jawaban atas Paradoks Fermi. Mungkin sebuah peradaban yang cukup beradab untuk tidak menghancurkan dirinya sendiri (tidak seperti kita) menjadi emoh terhadap imperialisme, atau dorongan untuk mengkolonisasi planet-planet berkurang setelah beberapa ribu planet. Mungkin kita tinggal di suatu wilayah yang kurang menarik di Bima Sakti kita, daerah pinggiran yang jauh dari keramaian. Atau mungkin saja makhluk asing sebenarnya sudah berada di planet pada bintang-bintang di sekitar kita namun mematuhi prinsip tidak turut campur seperti Prime Directive dalam serial Star Trek yang terkenal itu, atau mungkin mereka sebenarnya diam-diam—tanpa kita ketahui—mengunjungi kita dengan menyamar sebagai manusia Bumi (dan mungkin berhasil memenangkan pemilu di suatu negara adidaya) seperti dalam film Men in Black? Hal inilah yang kita sebut sebagai “hipotesis kebun binatang,” semua orang ada di sekitar kita sedang mengamati kita. Atau mungkin saja penjelajahan antar bintang adalah suatu aktivitas yang mahal dan membutuhkan energi yang luar biasa besar, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan hal lain yang lebih berguna untuk kelangsungan peradaban mereka, misalnya untuk mengirimkan sinyal radio ke ruang angkasa (seperti yang saat ini sedang kita lakukan).

Jadi Bagaimana?
Lalu kesimpulannya apa? Masihkah kita menganggap N = L? Mungkin tidak. Bagaimana dengan N = 0? Bagi banyak orang hal seekstrim ini tidak bisa diterima, tapi tentu saja jagad raya tidak harus mengikuti apa yang kita inginkan dan harapkan. Mungkin ada peradaban asing di luar sana, dan mungkin beberapa mencoba berkomunikasi. Tapi mungkin jumlahnya amat sangat kecil sehingga jaraknya demikian jauh dan hingga sekarang sinyal yang mereka kirimkan belum sampai. Dalam bukunya, Is Anyone Out There? (Adakah Seseorang di Luar Sana?) Frank Drake berharap untuk dapat menemukan sinyal dari peradaban asing sebelum tahun 2000. Namun pada bulan Juli 1996, pada konferensi ke-5 bioastronomi di Italia, Drake mengakui, “mungkin saya terlalu optimistis. Kesuksesan tidak dapat diramalkan.” Cocconi dan Morrison juga sudah mengingatkan dalam artikelnya di tahun 1959: “Peluang kesuksesan sulit diperkirakan, namun jika kita tidak pernah mencari, peluang kesuksesan adalah nol.”

Mungkin Persamaan Drake hadir tidak untuk dipecahkan, tapi untuk direnungkan. Nilai utamanya terletak pada pertanyaan-pertanyaan besar yang diajukannya, memaksa kita untuk duduk merenungkan keberadaan kita di alam raya yang maha luas ini. Ketidakpastian dan rasa ingin tahu akan terus mendorong riset SETI, tetapi mungkin hasil sejati yang muncul bukanlah jawaban ya atau tidak (paling tidak dalam masa kita) melainkan penemuan atas diri kita yang sebenarnya.

Purnakata: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005. Kini, diskusi mengenai kehidupan di luar Bumi (extraterrestrial) dan teori-teorinya kini—sebagaimana pemikiran-pemikiran lainnya—sudah sangat berkembang dan berbagai alternatif sudut pandang telah diajukan sebagai wacana. Persamaan Drake kini sudah banyak didiskusikan dan diperdebatkan mengenai keabsahannya, dan ide untuk secara aktif mengirimkan pesan ke antariksa (METI, Messages to Extra Terrestrial Intelligences) juga sudah mulai dibicarakan dan cukup menjadi kontroversi. Beberapa trik untuk dapat “mencuri dengar” siaran radio dari peradaban di luar Bumi juga sudah mulai dibahas. Persamaan Drake yang dulu menjadi satu-satunya perspektif ilmiah dalam mencari kehidupan di luar Bumi, kini adalah satu perspektif di antara alternatif-alternatif lain yang menarik untuk ditinjau dan dikritisi. Pembaca yang tertarik untuk mengeksplorasi lebih lanjut mengenai pencarian kehidupan di luar Bumi, saya sarankan untuk memulainya dari blog George Dvorsky.

Avatar photo

Tri L. Astraatmadja

Astronom, bekerja sebagai peneliti postdoktoral di Space Telescope Science Institute (STScI), di kota Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.

5 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Ya mas Tri, saya setuju dengan kesimpulan Anda. Persamaan Frank Drake menurut hemat saya sih mirip dengan pertanyaan dan pencarian manusia tentang hakikat diri dan Tuhan. Makanya, bukan untuk dipecahkan secara matematis tetapi untuk direnungkan bagi kepentingan kita sendiri yang tinggal di satu-satunya benda dimana kehidupan ada sebagai suatu kenyataan.

  • Maksud saya begini. Kalau kita lihat, Persamaan Drake mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cukup serius dan sulit, pertanyaan kepada diri-sendiri yaitu kita sebagai umat manusia. Bagaimana peradaban bisa muncul? Sampai kapan peradaban manusia bisa berlangsung? Bukankah ini pertanyaan serius yang mengajak kita untuk merenungi sejarah kita sendiri? Dengan mencoba menjawab Persamaan Drake, alih-alih mencari ETI kita malah berkaca pada diri sendiri. Menarik sekali bukan? Inilah poin saya, barangkali yang paling penting dari Persamaan Drake bukanlah untuk menjawabnya, tapi untuk memikirkan hakikat peradaban manusia…

  • Membayangkan kemungkinan kita tidak sendiri memang sangat menarik, makanya ada film-film semacam star trek, Contact dll.
    Pertanyaan yang muncul dibenak saya setelah membaca artikel menarik ini adalah, Seandainya Bumi adalah satu-satunya benda langit yang miliki kehidupan (cerdas), apa yang terjadi sebelumnya. Dan yang lebih menggelitik adalah ketika kehidupan di bumi mati, lalu apa yang tersisa, apa makna semesta tanpa ada yang mempelajari, memahami dan mengeksplorasinya??????, what a waste..

    • Dan yang lebih menggelitik adalah ketika kehidupan di bumi mati, lalu apa yang tersisa, apa makna semesta tanpa ada yang mempelajari, memahami dan mengeksplorasinya??

      ini adalah sebuah pemikiran yang belum pernah terpikirkan (seenganya oleh gw)

      bener juga, kalo manusia adalah satu2nya makhluk cerdas yang ada di alam semesta, maka ketika semua manusia mati, maka alam semesta seperti akuarium kosong, indah tapi ga hidup.

      • hakim pertama yang kita gunakan untuk memutuskan sesuatu adalah panca indra, kemudian datang hakim akal, yang pada hal-hal tertentu dapat mendustakan hakim pertama (indra), seandainya tidak ada hakim kedua (akal) maka kita akan terus beranggapan bahwa bintang itu sama seperti lilin, namun hakim kedua (akal) mendustakannya. lalu adakah hakim ketiga yang seandainya dia muncul maka dia mendustakan hakim kedua (akal)?…kehidupan ini tidak hanya berhenti hingga disini, setelah semuanya binasa maka periode kehidupan yang lainpun segera dimulai (periode kehidupan akhirat), inilah yang diserukan oleh al-Qur’an di hampir setiap ayatnya…..dan al-Qur’an dialah hakim tertinggi yang dimaksud.