fbpx
langitselatan
Beranda » Menghitung Hari dengan Sistem Penanggalan Hijriah

Menghitung Hari dengan Sistem Penanggalan Hijriah

Kita perhatikan bahwa hari raya Islam setiap tahunnya tidak pernah jatuh pada tanggal yang sama, pada kalender yang kita gunakan sehari-hari. Bulan puasa tahun ini lebih cepat sekitar sebelas hari daripada tahun lalu. Bulan puasa tahun ini juga akan lebih lambat sekitar sebelas hari daripada bulan puasa tahun depan.

bulan baru

Dari tahun ke tahun dengan akumulasi perbedaan sekitar sebelas hari tiap tahunnya, misalnya, hari raya haji tidak selalu datang pada musim yang sama. Kadang hari raya haji terjadi pada musim panas dengan sinar matahari yang terik, kadang terjadi pada musim dingin yang menggigil. Mengapa terjadi perbedaan sekitar sebelas hari antara penanggalan Islam dengan penanggalan yang kita gunakan sehari-hari, yang resmi digunakan oleh dunia internasional?

Perbedaan ini bukan karena jumlah bulan yang berbeda antara penanggalan Islam dengan penanggalan sehari-hari. Pada prinsipnya jumlah bulan dalam kedua sistem penanggalan adalah sama. Keduanya memiliki duabelas bulan dalam satu tahunnya. Tahun dalam kalender yang digunakan sehari-hari atau penanggalan masehi diawali dengan Januari dan berakhir dengan Desember. Tahun dalam penanggalan Islam atau Hijriah diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Diantaranya terdapat bulan Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, dan Dzulko’dah.

Lantas apa yang membuat penanggalan Islam lebih cepat daripada penanggalan masehi? Pada penanggalan Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang dapat diamati dengan mata telanjang. Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang murni berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar), yaitu siklus dua fase bulan yang sama secara berurutan.

Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan rata-rata siklus fase sinodis Bulan 29,53 hari. Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik. Itulah sebabnya kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan kalender masehi dan kalender lainnya yang berdasarkan pada pergerakan semu tahunan matahari (solar calendar). Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada musim yang sama. Selain itu, dalam jangka waktu satu tahun masehi bisa terjadi dua tahun baru hijriah. Contohnya seperti yang terjadi pada tahun 1943, dua tahun baru hijriah jatuh pada tanggal 8 Januari 1943 dan 28 Desember 1943.

Perbedaan antara penanggalan hijriah dengan penanggalan masehi yang kita gunakan sehari-hari tidak berhenti disitu saja. Terdapat pula perbedaan pada pergantian harinya. Kita ketahui bahwa hari baru pada penanggalan masehi berawal pada jam 00.00 malam hari. Itu pula sebabnya orang sering mengucap selamat ulang tahun pada tengah malam jam 00.00 saat pergantian hari, dengan harapan ucapan tersebut menjadi ucapan pertama pada awal hari jadinya seseorang.

Baca juga:  Berdasarkan Apakah Penentuan Awal Syawal 1434 H?

Dalam penanggalan Hijriah hari baru berawal setelah Matahari terbenam dan berlangsung sampai saat terbenamnya Matahari keesokan harinya. Misalnya, hari pertama dimulai sejak matahari terbenam hari sabtu dan berakhir sampai matahari terbenam pada hari minggu. Hari kedua dimulai sejak matahari terbenam hari minggu sampai matahari terbenam keesokan harinya, hari senin. Begitu seterusnya. Ketujuh hari dalam penanggalan Hijriah memang tidak dinamai, melainkan dinomori. Ketujuh hari tersebut adalah:

  • Yawm al ‘ahad : hari pertama
  • Yawm al ‘ithnayn : hari kedua
  • Yawm ath thalatha : hari ketiga
  • Yawm al ‘arba’a : hari keempat
  • Yawm al khamis : hari kelima
  • Yawm al jum’a : hari keenam
  • Yawm as sabt : hari ketujuh

Untuk keperluan sipil sehari-hari, misalnya untuk negara-negara Islam yang memakai penanggalan Hijriah sebagai kalender resminya, penanggalan ini didasarkan pada perhitungan (hisab). Bulan terdiri dari 29 dan 30 hari secara bergantian. Dimulai dengan bulan Muharram yang terdiri dari 30 hari, disusul dengan Shafar 29 hari, kemudian Rabiul awal 30 hari dan seterusnya secara bergantian sampai bulan Dzulhijjah. Tetapi khusus untuk bulan terakhir ini jumlah hari bisa 29 atau 30 hari. Untuk tahun kabisat, bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari. Untuk tahun basithoh (biasa), bulan Dzulhijjah terdiri dari 29 hari. Sehingga jumlah hari dalam tahun kabisat akan menjadi 355 hari.

Untuk keperluan keagamaan, misalnya untuk menentukan awal hari puasa atau hari raya, pergantian bulan pada penanggalan Hijriah tetap diwajibkan dengan dasar pengamatan hilal (rukyah). Pengamatan hilal ini pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan sumpah suci pengamat berikut saksi. Di Indonesia kita kenal Badan Hisab Rukyat, bersama-sama dengan Departemen Agama, yang bertugas mengamat hilal di suatu tempat khusus. Ilmuwan, dalam hal ini ahli ilmu falak dan astronom, tidak ketinggalan. Karena dapat atau tidak terlihatnya hilal dapat diprediksi dengan perhitungan yang sudah menjadi santapan sehari-hari mereka.

Tetapi kadang suatu organisasi Islam punya acuannya sendiri dalam persoalan hilal ini. Satu dengan lainnya kadang tidak sejalan. Oleh karena itu tidak mengherankan sering terdapat perbedaan dalam memulai ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri, misalnya. Hal yang seringkali terjadi di tanah air. Walaupun demikian, hendaknya persoalan ini tidak menjadi pembeda yang dapat meresahkan umat.

Sejarah
Sistem penanggalan Islam (1 Muharram 1 Hijriah) dihitung sejak peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah, atas perintah Tuhan. Oleh karena itulah kalender Islam disebut juga sebagai kalender Hijriah. Di barat kalender Islam biasa dituliskan dengan A.H, dari latinnya Anno Hegirae. Peristiwa hijrah ini bertepatan dengan 15 Juli 622 Masehi. Jadi penanggalan Islam atau Hijriah (1 Muharram 1 Hijriah) dihitung sejak terbenamnya Matahari pada hari Kamis, 15 Juli 622 M.

Baca juga:  Awal dan Akhir Bulan Ramadan 1442 H

Walaupun demikian, penanggalan dengan tahun hijriah ini tidak langsung diberlakukan tepat pada saat peristiwa hijrahnya nabi saat itu. Kalender Islam baru diperkenalkan 17 tahun (dalam perhitungan tahun masehi) setelah peristiwa hijrah tersebut oleh sahabat terdekat Nabi Muhammad sekaligus khalifah kedua, Umar bin Khatab. Beliau melakukannya sebagai upaya merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa pemerintahannya. Kadang sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem penanggalan yang lain sehingga sering menimbulkan persoalan dalam kehidupan umat.

Kalender dengan 12 bulan sebetulnya telah lama digunakan oleh Bangsa Arab jauh sebelum diresmikan oleh khalifah Umar, tetapi memang belum ada pembakuan perhitungan tahun pada masa-masa tersebut. Peristiwa-peristiwa penting biasanya hanya dicatat dalam tanggal dan bulan. Kalaupun tahunnya disebut, biasanya sebutan tahun itu dikaitkan dengan peristiwa penting yang terjadi pada masa itu. Misalnya tahun gajah, dan lain sebagainya.

Setelah banyak persoalan muncul akibat tidak adanya sistem penanggalan yang baku, dan atas prakarsa Khalifah Umar, diadakanlah musyawarah dengan tokoh-tokoh sahabat lainnya mengenai persoalan penanggalan ini. Dari sini disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam. Sedangkan nama-nama keduabelas bulan tetap seperti yang telah digunakan sebelumnya, diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah.

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun, tentunya mempunyai makna yang amat dalam bagi umat Islam. Peritiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa besar dalam sejarah awal perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang dilakukan nabi dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama dalam masa awal perkembangannya. Peristiwa hijrah ini juga melatarbelakangi pendirian kota muslim pertama. Tahun baru dalam Islam mengingatkan umat Islam tidak akan kemenangan atau kejayaan Islam, tetapi mengingatkan pada pengorbanan dan perjuangan tanpa akhir di dunia ini.

Avatar photo

Dewi Pramesti

Alumni astronomi ITB yang saat ini bergerak dalam bidang pendidikan di ibukota Jakarta. Cabang astronomi yang diminatinya adalah terutama pada bidang impact cratering dan etno/arkeoastronomi. Mencintai seni, terutama musik dan sastra. Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang pendidik, ia masih giat berbagi tentang astronomi di langitselatan. Selain itu, bersama teman-teman langitselatan, ia juga masih tertarik untuk membudayakan kembali kisah-kisah langit (skylore) yang ada di nusantara.

22 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Wah bagus artikelnya. Jadi nambah wawasan neh.

    Oya, setahuku arti Yawm al jum’a itu bukanlah hari keenam, sebab arti kata “keenam” dalam bahasa Arab bukan Jum’at. Hari itu dinamai Jum’at karena muslim (laki-laki) wajib sholat JUm’at.

    Thanks 🙂

  • ok banget tulisannya. Saya jadi tahu akhirnya….ternyata spt itu toh awalnya. Tp tolong dong Langit Selatan bikin artikel tambahan mengenai perbedaan antara mughamadiyah dgn NU dalam menentukan idul fitri. Terlepas dari kita harus tetap bertoleransi oleh adanya perbedaan itu, tapi paling tidak umat juga perlu mengetahui PENYEBAB BEDANYA PERHITUNGAN antara dua organisasi besar. Orang awam (astronomi) selama ini selalu merespon perbedaan itu dengan ucapan, “bukan muhammadiyah kalau tidak beda.” Nah, agak repot kan kalau begitu, terutama di dalam satu keluarga yang di situ ada penganut muhammadiyah ada pula NU.

    Yg ingin gw tahu, kalau dasar pengamatannya sama, sama-sama dengan melihat hilal, tapi knp bisa beda? Apa yg membedakan? Dalam bayangan saya, ahli dari Muhamadiyah dan NU berkumpul bersama di satu tempat untuk melihat hilal, kok agak aneh kalau lalu hasilnya menunjukkan penglihatan yang berbeda. Tolong ya Mas, artikelnya bisa dimuat sebelum lebaran tiba ya. Thanks banget.

  • Maaf, koreksi lagi ya 🙂
    Yang saya tahu, 1 Muharram 1 Hijriah emang bertepatan dengan 15 Juli 622 Masehi. Namun, peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad sendiri bukan pada tanggal itu, tetapi beberapa bulan setelahnya, tepatnya sekitar bulan September 622 Masehi (Bertepatan dengan sekitar akhir bulan Safar [bulan kedua dalam tahun Hijriah] atau awal bulan Rabi’ul Awal [bulan ketiga dalam tahun Hijriah] tahun 1 Hijriah itu).
    Demikian 🙂

    Oya, sedikit soal Hilal itu: NU dan Muhammadiyah bisa beda karena KRITERIA yang mereka gunakan berbeda, meskipun objeknya sama. Makanya, hasilnya juga bisa beda.

  • Tentang Perbedaan Hari Raya Idul Fitri:
    (antara NU & Muhammadiyah)

    Sampai kapanpun tidak akan pernah ada titik temunya, karena perbedaan cara pandang penetapan bulan baru (tanggal 1 bulan hijriah). NU menggunakan sistem rukyat (dengan cara melihat hilal = bulan sabit) sedangkan Muhammadiyah menggunakan sistem hisab (astronomi). Prinsipnya = semua benar, tidak ada yang salah dan jangan menyalahkan, karena mereka memiliki dasar / landasan sendiri-sendiri.

    Bagaimana cara menyatukan perbedaan pendapat tersebut?
    Salah satu ormas tersebut harus mengalah! tapi saya kira ini pun berat. Sehingga kita cari jalan keluarnya. Kita utamakan kepentingan umum, termasuk kepentingan non muslim, hindari kepentingan pribadi atau golongan. Kita semua tahu bahwa hari raya Idul fitri merupakan hari raya terbesar di Indonesia, yang mempunyai dampak yang besar dalam kehidupan seluruh masyarakat.

    Dalam sistem rukyat, penetapan berdasarkan hilal (bulan sabit baru yang bisa terlihat), pemakaian sistem ini berdasarkan hadist Nabi “Hendaklah kalian berpuasa dengan melihat bulan dan berbuka (berhari raya) dengan melihat bulan, jika kau tidak dapat melihatnya maka genapkan bilangan harimu”, ini merupakan hal yang sangat menyulitkan, karena keterbatas mata kita melihat (walaupun sudah dengan teropong), seperti adanya cuaca yang buruk / berawan, salah melihat (karena adanya planet lain yang mirip bulan), keterbatasan melihat hilal dibawah 2 derajat (ada yang menyebutkan 6 derajat dengan mata telanjang). Tapi dampak terbesar dari sistem ini adalah dampak sosial-ekonomi, karena sistem ini menimbulkan ketidakpastian, tanggal berapa hari rayanya? Kapan saya harus mudik? Demikian juga untuk sebuah perusahaan, kapan akan meliburkan karyawannya? Di kepolisian dan rumah sakit, kesulitan mengatur jadwal piket, dan lain-lain. Semua ini menimbulkan ketidakpastian dan semua rencana harus menunggu keputusan tanggal 1 Hijriah.

    Dengan sistem hisab (astronomi), semua sudah dapat ditentukan jauh-jauh hari, bahkan beberapa tahun kedepan pun sudah dapat ditentukan. Ini lebih memberikan kepastian. Dengan makin majunya ilmu astronomi, tingkat presisi / ke-akuratannya pun semakin tinggi, kita bisa menetukan jadwal sholat, menetukan gerhana matahari, bahkan dalam hitungan detik. Bukankah dahulu menetukan jadwal sholat hanya dengan menggunakan bayangan (matahari) tongkat, sekarang dengan adanya jam, kenapa mesti harus pakai tongkat? Bahkan jadwal sholat beberapa tahun kedepanpun sudah bisa dibuat sekarang.
    Sekarang ilmu astronomi sudah sangat maju, banyak software yang digunakan untuk menghitung perjalanan bulan dan matahari, orang awampun bisa memakainya.

    Kenapa masih repot-repot menggunakan sistem rukyat? Memang betul kalau kita merujuk pada hadist “Hendaklah kalian berpuasa dengan melihat bulan dan berbuka (berhari raya) dengan melihat bulan, jika kau tidak dapat melihatnya maka genapkan bilangan harimu” hadist ini keluar saat ilmu astronomi belum maju, jaman dahulu untuk menentukan 1 syawal memang dengan cara melihat hilal, tapi ilmu / akal sudah bisa menentukan tanggal 1 syawal dengan cara yang praktis dan akurat dengan ilmu astronomi, apakah hadist itu kita pahami dengan “melihat bulan”?.
    Yang perlu diingat, kita berhari raya pada tanggal 1 syawal, ilmu astronomi sudah bisa menentukan dengan akurat (Insyaallah) tanggal 1 syawal, mengapa kita harus menggenapkan menjadi 30 hari. Jangan mengartikan hadist secara harfiah (perkata), kita lihat makna/maksudnya. Apakah kita sholat Dzuhur harus keluar masjid dulu untuk melihat bayangan matahari? Tentu tidak.
    Kemampuan mata kita sangat terbatas, tapi dengan akal, keterbatasan mata kita bisa menjadi tak terbatas.

    “Bukankah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (2:185).”

    [email protected]

  • Assalaamu ‘alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh.

    Mas andy yang insya Alloh dirahmati oleh Alloh SWT. Penjelasan mas andy cukup baik, tapi maaf kurang hati-hati dalam memahami al hadist. Sah-sah saja mas andy memahami kalimat “melihat bulan” dengan tidak secara harfiah, hanya agak disayangkan mas andy terkesan menyalahkan orang yang memahami secara harfiah. Hadist yang mas andy sampaikan diatas bagi banyak orang sudah sangat jelas dan lebih mudah dilakukan daripada melakukan hisab. Apalagi mas andy juga mendasari dengan QS. Al Baqoroh ayat 185, itu menjadi kurang pas dengan penjelasan mas andy.

    Kalau suatu nas Quran atau hadist shoheh sulit dilakukan, bukan berarti menggugurkan sifat “wajib”nya untuk tetap harus dilaksanakan. Bukan kah diakhir hadist itu disebutkan “apabila kamu tidak melihatnya maka genapkan bilangan harimu”. Itu keringanan bagi perintah melihat hilal seperti keringanan gerakan sholat bagi orang yang sakit dengan cukup berbaring disertai dengan isyarat.

    Saya tidak menyalahkan pemahaman mas andy, hanya sebagai sesama muslim saya berkewajiban mengingatkan bahwa pemahaman agama itu tidak bisa dipaksakan, karena itu adalah perjalanan spiritual hamba-hamba Alloh dalam perjalanannya menuju kebenaran yang hakiki. Ada orang yang bisa sampai yaitu Rosululloh SAW tapi kebanyakan manusia tidak sampai ke pemahaman yang benar sampai ajal menjemput. Tetapi bukan berarti orang-orang yang tidak sampai itu dinilai gagal, karena yang paling dinilai adalah “kesungguhannya” dalam pencarian seumur hidupnya. Bukankah ada orang yang sudah membunuh 100 orang tapi masuk surga, tapi ada orang yang gugur didalam perang dan Rosululloh SAW mengatakan orang itu “fin nar”. Walloohu a’lam.

    • Assalamualaikum wr. wb.

      Maaf mas Budhi numpang lapak 🙂
      Setelah sy mendengar penjelasan Andy mengenai muhamadiyah dengan hisabnya, sy lebih mengerti lg!! dan sy setuju apa yg di katakan budhi bahwa sebenarnya allah sudah menetapkan apa” yg menjadi pedoman bagi umatnya. Untuk masalah ilmu astronomi yg belum maju saat zaman nabi tidak bisa di jadikan alasan kenapa pd saat itu rasul menentukan 1 syawal dengan sistem rukyat, ingatlah terlebih dahulu bahwa Rasulullah lebih berilmu/berakal dari pada umat Allah yg lain, itu sebabnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan sistem rukyat dan sebagai umat muslim hendaknya marilah kita berpedoman pada Al-qur’an dan sunah Rasul

      Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]

  • Bismillah.
    Saya hanya ingin mengetahui informasi, kalau di Indonesia badan resmi pemerintah yang menetapkan pergantian bulan di penanggalan hijriyah di departemen apa?
    Saya mencari di Departemen Agama dan Badan meteorologi ternyata tidak ada.
    Terima kasih atas keterangannya pada artikel ini.

  • Assalaamu ‘alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh,
    Saudara-saudaraku seiman, hendaknya menyikapi sesuatu itu dengan ketajaman hati yang bersih.
    Bahwa adanya perbedaan itu adalah suatru rahmat.
    Wassalaamu ‘alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh.

  • Bismillah, ketentuan masuknya Ramadlan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI.
    Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa. Rasulullah SAW bersabda:
    ????????? ?????? ???????? ???????? ???????????? ?????? ???????? ????????
    “Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, beliau berkata: hadits shahih gharib)
    Rasulullah SAW juga bersabda:
    ????????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ??????????? ???????????? ?????? ??????????
    “Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA)
    At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
    Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
    Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
    Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65)
    Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.

    Pada jaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
    Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
    Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: 2/37)
    Dan yang semakna adalah kasus penolakan Ibnu Abbas RA (sahabat Nabi) terhadap kesaksian Kuraib (tabi’in) yang telah merukyat hilal Syawal di Syam bersama Mu’awiyah RA (sahabat Nabi) pada hari Jum’at karena bertentangan dengan puasa dan hari raya warga dan otoritas kota Madinah yang berhari raya Sabtu.Dalam kasus ini Kuraib menyendiri dari penduduk kota Madinah. (Subulus Salam: 2/462)
    Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat.
    JIka orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?
    Maka Rasulullah SAW menjawab:
    ?????????? ?????? ?????? ????????? ???????? ?????? ?????????? ???????? ????????????
    “Mereka (penguasa) itu shalat untuk kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653)
    Semoga ini dapat menjadi bahan renungan ditengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.

  • Assalamualaikum wr wb. Ada sedikit pertanyaan mengenai pelaksanaan sholat Jum’at . Bila perhitungan awal hari (Ahad) dan hari ke enam adalah Al Jum’ah..Bukankah seharusnya kita melaksanakan sholat Jum’ah pada hari ke enam (Al Jum’ah di Hijriah) yang berbeda dengan tgl dan hari jum’at (masehi)? Tetapi masyarakat umumnya tetap memakai patokan sholat Jum’at pada hari jum’at dengan perhitungan masehi? sungguh membingungkan..mohon penjelasannya..
    Jazakallahu ..

  • assalamualaikum wr.wb.
    ” perbedaan di antara umatku adalah rahmat”
    mungkin itu adalah hadits yang dapat digunakan untuk meredam setiap perbedaan yang ada di antara umat islam.. tidak menjadi suatu masalah jika kita sebagai orang awam dalam penetuan tanggal permulaan puasa dan akhir puasa ( Idul fitri) mengikuti salah salah satu kepercayaan yang ada di indonesia, asal sudah di amini oleh banyak orang pada umumnya.. saya sebegai orang awan saat ini hanya bisa mengikuti salah satu saja.. karena kita hanya dapat memilih salah satu saja sebagai kejelasan posisi kita saat ini.. taklid (mengikuti) itu tidak berdosa

  • Perbincangan hilal ini tidak akan ada habisnya seperti akal itu sendiri yg juga tdk akan ada habisnya bisa dilihat dr mana sj. Apalagi akan ada banyak kepentingan pilitis, pengaruh dan komersilitas, tinggal sekarang mau ikut yg mana semua menjadi tak trrbatas

  • menyikapi persoalan perbedaan yang terjadi dalam umat Islam, kadang perlu kita kembalikan lagi pad fitrah kita sebagai mahkluk ALLAH SWT, kita dapat menentukan pilihan menurut keinginan kita demu menjaga keimanan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT, jika pemerintahan yang kita ikuti menurut kita salah dengan dasar keIslaman yang kuat dalam kesatuan umat Islam Dunia, bukan Islam di Indonesia saja..maka alangkah pahitnya jika “kita” harus keluar dari kesatuan Islam dunia dalam hal inilah kita bisa berijtihad. Jika menurut kita pemerintahan Indonesia adalah benar, silahkan tetapi tidak usah diperbesar dalam hal yang tiada semestinya..Lihatlah putusan dalam bahasa Menag dalam hal ini Bp.Suryadarma Ali (bisa dinilai dalam korelasi bahasa tingkat tinggi).Demikian sedikit yang saya sampaikan.Kebenaran hanyalah Milik Allah SWT semata,…Wassalam.

  • Terma kasih atas koment2nya yang luar biasa, saya jadi tambah ilmu nih he he he Alhamdulillah.
    Bener juga dr. M Faiq Sulaifi, semuanya tergantung “imam”nya…. namun jika nurani ini merasa kurang aFdoL, yah pastilah akan mendekat kepada yang lebih yaqin seyaqin-yaqinnya (pake q biar mantab) karena zaman sekarang terkadang “imam” terasa kurang menyaqinkan he he
    …..
    diluar NU dan Muh ; palagi saat ini pada zaman teknologi serba auto-programmer kalo saya pikir jika kita menggunakan rukyat bisa-bisa para programmer fusing tujuh keliling (mungkn mudah bagi manusia, tapi susah buat auto-program) ……. tapi bila kita menggunakan hisab, akan terasa “lebih mudah” bagi manusia untuk membuat & memasukkan angka, kode dll pada auto program. ini seperti kejadian http://id.berita.yahoo.com/gara-gara-detik-kabisat-berbagai-situs-terkapar-115012108.html yang menggunakan sistem kalender solar.
    saya jadi membayangkan, seandainya sistem kalender lunar dijadikan pedoman dunia? jadi kacau atau jadi nyaman hidup ini? jangan salahkan programnya lihat dulu historinya.
    waallohualam…..

  • TENTANG MENENTUKAN AWAL RAMADHAN / AWAL SYAWAL

    Jika kita ikut ketetapan Pemerintah, yg dipakai acuan adalah Rukhyatul Hilal (dengan Melihat Bulan). Ketetapan Pemerintah ini, Selalu berbeda dengan Perhitungan Hisab (yang dipakai oleh Muhamadiyah), Lenih dahulu satu hari.

    Perhitungan Hisab, di hitung dari New Moon atau Lahirnya bulan baru, dengan pedoman lahir anak bulan ini (New Moon) waktu dhuhur. Jika Lahirnya new moon sebelum Dhuhur maka kita harus membatalkan Puasa karena sudah masuk 1 Syawal, namun Jika Lahir anak bulan setelah Dzuhur, maka kita boleh melanjutkan puasa.

    Adakah yang bisa Menjelaskan, PEdoman 1 Ramadhan dan 1 Syawal, dengan Acuan New Moon ini atau LAHIRNYA ANAK BULAN.
    Mohon Pencerahan.
    Terima Kasih

  • assalamualaikum ibu, mohon informasi nya kalo 1000 hari dari tanggal 12 dzulqaidah 1441 Hijriah itu jatuh pada tanggal berapa, bulan dan tahun hijriah berapa ibu, terima kasih atas informasinya