Belajar dari praktik merukyat/mengobservasi langit yang telah berjalan lintas generasi, masyarakat jazirah Arabia pada masa pra-Islam sudah mengetahui regularitas alam terkait periode sinodis Bulan.
Sejarah Hisab Rukyat
Masyarakat jazirah Arabia pada masa itu telah mengetahui jumlah hari dalam satu bulan tidak mungkin lebih singkat daripada 29 hari ataupun lebih panjang daripada 30 hari. Satu bulan yang hanya terdiri atas 29 hari bersesuaian dengan kondisi terjadinya konjungsi (ijtimak) yang mengakhiri bulan berjalan di sekitar titik perigee [jarak terdekat Bulan dari Bumi] dan pada saat yang hampir bersamaan Bumi pun sedang berada di sekitar jarak terjauhnya dari Matahari (aphelion). Sebaliknya, satu bulan yang mengandung 30 hari bersesuaian dengan saat konjungsi yang mengakhiri bulan berjalan terjadi di sekitar jarak terjauh Bulan dari Bumi (apogee) dan bertepatan pula dengan posisi Bumi di sekitar perihelion-nya (jarak terdekat Bumi dari Matahari).
Pada masa itu, pengetahuan tentang model matematis untuk keperluan menghitung (hisab) memanfaatkan perangkat trigonometri bola belumlah dikenal. Perlu menunggu beberapa abad kemudian bagi kemunculan para ilmuwan Muslim yang tercerahkan untuk dapat berkontribusi mengembangkan dan melengkapi trigonometri yang menjadi dasar dalam penentuan awal bulan secara hisab. Tidak hanya itu, berbekal tabel-tabel trigonometri karya ilmuwan Muslim, hal-hal praktis lainnya seperti penentuan arah kiblat dan waktu-waktu salat wajib maupun sunat juga dilakukan.
Aktivitas rukyat dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan ini diperoleh data untuk disentesis menjadi sebuah model atau teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut dituntut untuk mampu menerangkan fenomena alam yang telah dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal baru yang saat itu belum dijumpai. Kadangkala, hal-hal baru tersebut baru akan terbukti benar-salahnya melalui aktivitas rukyat atau eksperimen pada masa depan.
Sulit bisa membayangkan seorang Hipparchus (hidup sekitar 190 SM – 120 SM) akan dapat menemukan efek presesi sumbu rotasi Bumi, yang mengejawantah dalam bentuk perubahan posisi bintang-bintang karena berubahnya orientasi titik acuan koordinat, tanpa ketersediaan data rukyat peninggalan para pengamat langit pada era terdahulu. Bagaimana dengan aktivitas merukyat anak Bulan atau hilal, yaitu sabit Bulan yang terbentuk pertama kali sejak konjungsi setelah terbenam Matahari?
Catatan Pengamatan Sabit Pertama
Catatan tertua terkait hal ini berasal dari era Babilonia, yang mengungkap bahwa para pengamat langit mereka pada masa itu sudah mengenal karakteristik hilal yang dapat diamati setelah terjadinya konjungsi. Dua klausul bagi kenampakan hilal yang dikenal sebagai kriteria Babilonia tersebut adalah umur Bulan dan lamanya Bulan berada di atas cakrawala sejak Matahari terbenam. Menurut mereka, hilal akan dapat diamati dengan mata telanjang manakala jeda waktu sejak konjungsi mencapai sekurang-kurangnya 24 jam (sabit Bulan yang terbentuk sudah cukup tebal untuk membuat hilal cukup terang untuk dapat dirukyat) dan Bulan masih tetap berada di atas cakrawala tidak kurang dari 48 menit sejak terbenamnya Matahari (langit senja sudah cukup gelap untuk dapat membantu sabit Bulan yang terbentuk menjadi mudah untuk dirukyat). Sejalan dengan kriteria di atas yang dipedomani oleh para pengamat langit Babilonia, para astronom Muslim yang berkiprah berabad-abad kemudian, juga memiliki kriterianya sendiri.
Parameter hilal yang digunakan oleh para astronom Muslim beragam, mulai dari beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, ketinggian Bulan di atas cakrawala semu, hingga elongasi (jarak-sudut antara Matahari dan Bulan di langit). Untuk beda waktu terbenam Bulan – Matahari, tokoh-tokoh besar seperti al Khawarizmy (780 M – 850 M), al Battany (858 M – 929 M), dan al Biruny (973 M – 1048 M) juga mengadopsi nilai yang dihasilkan para pengamat langit Babilonia.
Sementara, untuk ketinggian Bulan di atas cakrawala, nilai paling kecil yang diusulkan oleh beberapa astronom Muslim seperti Ibnu Yunus (950 – 1009 M) dan al Marrakusyi (1256 M – 1321 M), sebagaimana dapat dijumpai dalam literatur, adalah sekitar 6 derajat. Bahkan disebutkan pula nilai ketinggian minimal ini mengalami variasi sebagai akibat dari pergantian musim. Dengan kata lain, pada musim tertentu ketinggian minimal yang membuat hilal dapat diamati adalah 6 derajat, sementara pada musim lainnya bisa mencapai 7,5 derajat. Sementara, untuk parameter elongasi, astronom Muslim lainnya Mu’ayyid ad-Din al-‘Urdhy ad-Dimasyqy (hidup sekitar 1200 M – 1266 M), mensyaratkan minimal sebesar 7 derajat; nilai ini persis sama dengan yang diusulkan oleh Andre Danjon berabad-abad setelahnya pada 1936! Bahkan telaah tentang lebar sabit Bulan juga telah dilakukan oleh astronom Muslim, di antaranya oleh ar Risyi (wafat pada 1432 M), yang menetapkan nilai sebesar 2/3 ishbi’ bagi kenampakan hilal.
Pengamatan Hilal di abad 20
Pada paruh ke dua abad ke-20 lalu, parameter lebar sabit diuji-kaji kembali oleh Frans Bruin (1922 M – 2001 M) dengan membandingkan kecerahan langit senja terhadap kecerahan Bulan sabit. Kedua kecerahan di atas diterjemahkan sebagai parameter ketinggian Bulan di atas cakrawala dan elongasi. Elongasi inilah yang berhubungan dengan lebar sabit.
Kompetisi antara kecerahan langit senja dan kecerahan Bulan sabit, yaitu manakah di antara keduanya yang lebih dominan, dikenal sebagai problem kontras. Seandainya pun kecerahan Bulan sabit mampu mengalahkan kecerahan langit senja, tidak serta-merta menjamin keterlihatan hilal. Secara teoretik, dalam kondisi ideal (pengamat bermata normal, cuaca cerah tanpa liputan awan, dan kondisi atmosfer bersih), hilal hanya akan dapat diamati manakala nilai kecerahan Bulan telah melampaui nilai ambang tertentu. Nilai ambang tersebut akan menentukan pula modus pengamatan yang dapat dipilih oleh pengamat, yaitu pengamatan menggunakan mata telanjang ataukah pengamatan dengan berbantuan alat (binokuler/teleskop)? Hal inilah yang dikenal sebagai visibilitas atau kenampakan.
Aktivitas rukyat tidak dimaksudkan untuk meragukan eksistensi Bulan pada waktu dan di arah tertentu yang telah dapat diketahui sebelumnya dengan bantuan hisab yang akurat. Aktivitas rukyat merupakan upaya untuk mengesani melalui indera penglihatan kemunculan hilal untuk pertama kalinya yang menjadi penanda pergantian bulan di dalam kalender Hijriyah. Dalam konteks ini, semakin jelas peran hisab dalam memberikan pedoman waktu dan arah di dalam kegiatan rukyat. Dengan panduan yang akurat tersebut, diharapkan para pengamat dapat terhindar dari kesalahan mengenali objek (objek bukan hilal namun disalah-kenali sebagai hilal) dan dapat berkonsentrasi sepanjang jendela waktu pengamatan yang tepat (saat di mana hilal diprediksi berpeluang untuk dapat dirukyat).
Analisis Aktivitas Rukyat
Bagaimanakah analisis yang bisa dilakukan terkait dengan hasil sidang itsbat di Kementerian Agama Republik Indonesia pada Kamis petang 20 April 2023? Berdasarkan hasil hisab yang akurat, di seluruh wilayah Indonesia posisi Bulan pada saat Matahari terbenam masih lebih rendah daripada 3 derajat. Demikian pula dengan jarak sudut antara Bulan – Matahari (elongasi) pada saat yang sama belum mencapai 6,4 derajat. Nilai-nilai ketinggian minimal Bulan di atas horizon semu 3 derajat dan elongasi Bulan dari Matahari minimal 6,4 derajat adalah nilai-nilai bagi syarat kenampakan hilal yang diadopsi di dalam kriteria baru MABIMS. Memperhatikan hasil hisab yang ada dan membandingkannya terhadap nilai-nilai yang dihitung untuk seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam pada Kamis 20 April 2023 tersebut, dapat disimpulkan bahwa hilal yang terbentuk pada petang hari tersebut belum akan dapat diamati. Perhitungan yang telah kami lakukan untuk wilayah timur dan barat Indonesia menggunakan sampel lokasi kota Biak dan kota Lhok Nga mengonfirmasi kesimpulan di atas. Grafik visibilitas hilal untuk kedua kota tersebut ditampilkan dalam Gambar 2 berikut ini.
Berdasarkan Gambar 2 di atas, hilal penentu awal Syawal 1444 H tidak akan dapat diamati dengan modus pengamatan mata telanjang dari wilayah yang disebutkan. Selama jendela waktu pengamatan yang tersedia (sepanjang 6 menit di kota Biak dan 12 menit di kota Lhok Nga), kecerahan langit senja masih lebih dominan daripada kecerahan hilal yang menghasilkan konsekuensi visibilitas bernilai negatif. Meskipun beredar berita bahwa hilal berhasil diamati dari wilayah Cakung, Jakarta (Gambar 3), kesaksian dari dua orang pengamat di bawah sumpah tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam sidang itsbat di Kementerian Agama.
Hisab yang digunakan oleh ahli falak di Cakung tersebut merujuk kepada kitab Sullam an-Nayyirain, sebuah kitab ilmu falak yang algoritme hisab/perhitungannya termasuk kategori hisab taqribi (aproksimasi). Hisab kategori ini berbeda dengan hisab hakiki yang melibatkan banyak faktor koreksi, yang digunakan oleh Kementerian Agama dan ormas Islam besar lainnya di Indonesia. Dengan sendirinya, hasil perhitungan berdasarkan algoritme aproksimasi tersebut seringkali berbeda dengan hasil perhitungan algoritme kontemporer yang lebih eksak. Perbedaan untuk nilai ketinggian Bulan pada saat Matahari terbenam pada Kamis, 20 April 2023, bisa mencapai ~ 2 derajat (lebih tinggi), yang membuat para perukyat pun tersugesti untuk berhasil “melihat” apa yang diberikan oleh hasil hisab.
Pada dasarnya klausul ketinggian dan elongasi minimal yang diadopsi dalam kriteria baru MABIMS bukanlah harga mati. Nilai-nilai dalam klausul bersifat dinamis, dapat berubah sesuai kesepakatan dan temuan terkini di lapangan. Pada hari pelaksanaan rukyat yang lalu, BMKG memprediksi (dan terbukti prediksi BMKG cukup akurat) bahwa sebagian besar wilayah Indonesia pada Kamis petang 20 April 2023 akan mengalami mendung bahkan hujan (mulai dari intensitas ringan hingga deras). Adapun hadirnya kesaksian di bawah sumpah telah berhasil mengamati hilal pada petang hari tersebut dari Cakung, dengan mata telanjang selama 1 menit di bawah kondisi cuaca yang disebutkan berawan, namun tanpa adanya bukti otentik berupa potret hilal, maka sulit untuk memperlakukan kesaksian tersebut sebagai data valid yang harus dipertimbangkan guna merevisi kriteria visibilitas yang saat ini digunakan.
Hilal Pada Wilayah Berbeda
Hal berbeda berlaku untuk Saudi Arabia yang secara geografis berada lebih barat daripada kawasan Indonesia. Meski terdapat laporan yang masuk di laman Moon Sighting bahwa hilal tidak teramati dari Madinah, namun tersiar berita bahwa hilal berhasil diamati dari Tamir. Meskipun tidak terdapat informasi yang lengkap terkait klaim keberhasilan mengamati hilal tersebut, dapat dipastikan keberhasilan rukyat dari Tamir tidak dalam modus pengamatan mata telanjang.
Hasil hisab posisi Bulan untuk kota Mekah, ketinggian Bulan di atas horizon saat Matahari terbenam waktu setempat sudah mencapai ~ 4,5 derajat. Sementara, elongasi Bulan – Matahari pada saat yang sama masih kurang dari 6,4 derajat, yaitu baru senilai ~ 5 derajat. Bagaimana ketinggian Bulan di atas ufuk pada saat Matahari terbenam di Saudi Arabia bisa lebih tinggi daripada ketinggian Bulan di seluruh kawasan Indonesia?
Hilal yang diburu penampakannya ini merupakan bagian dari fase Bulan, objek langit yang sedang menuju terbenamnya pascakonjungsi. Arah rotasi dan revolusi Bulan mengitari Bumi sama dengan arah rotasi dan revolusi Bumi terhadap Matahari, yaitu dari barat ke timur.
Berkaitan dengan bujur geografis, tempat yang lebih timur akan lebih dulu menyongsong terbenamnya Matahari dibandingkan wilayah yang lebih barat. Artinya, pada saat Matahari terbenam di Lhok Nga, posisi Matahari (dan Bulan) pada saat yang sama masih berada di atas horizon bagi pengamat yang berada di Mekah. Itulah mengapa, posisi Bulan di atas horizon lebih tinggi di Mekah daripada di Lhok Nga pada saat Matahari terbenam di arah barat di masing-masing lokasi.
Mungkin akan timbul pertanyaan, bila demikian halnya, mengapa Indonesia tidak mengikuti hasil rukyat Saudi Arabia saja, toh hanya berselisih waktu ~ 4 jam berdasarkan bujur geografis standar masing-masing wilayah?
Dalam hal ini dikenal istilah matlak, yaitu batas-batas geografis keberlakuan hasil rukyat. Perbedaan waktu selama ~ 4 jam antara kawasan barat Indonesia dengan Saudi Arabia membuat waktu magrib di Indonesia sudah lama berakhir pada saat memperoleh kabar keberhasilan rukyat dari Saudi Arabia. Sementara, meskipun Indonesia sendiri terdiri atas tiga zona waktu (WIB, WITA, dan WIT), seluruhnya dianggap sebagai satu kesatuan wilayah hukum. Pemberlakuan hal ini berkonsekuensi pada nampaknya hilal dari wilayah manapun, berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia.
Perhitungan visibilitas hilal yang kami lakukan untuk kota Mekah dalam modus pengamatan berbatuan teleskop, memanfaatkan model Kastner (1976) yang telah kami modifikasi (Utama, 2014) untuk dapat mengakomodasi pula faktor-faktor koreksi. Faktor-faktor koreksi yang dimaksud meliputi di antaranya penggunaan hanya satu mata dalam pengamatan melalui teleskop, usia pengamat yang berpengaruh terhadap bukaan maksimum diameter pupil mata, transmisi cahaya di dalam lensa-lensa teleskop yang bergantung pada tingkat kebersihan dan banyaknya lensa, serta perbesaran sudut teleskop yang digunakan. Model Kastner yang kami gunakan telah berhasil memverifikasi hilal-hilal yang menjadi rekor dunia selama ini. Dengan kata lain, prediksi model bahwa hilal berkemungkinan diamati dari kota Mekah di Saudi Arabia dengan modus pengamatan berbantuan teleskop, bersesuaian dengan berita yang beredar bahwa hilal teramati dari Tamir.
Meskipun demikian, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar penggunaan alat bantu teleskop dapat menghasilkan visibilitas positif. Syarat tersebut adalah dukungan cuaca yang cerah (tanpa liputan awan di arah hilal berada), atmosfer setempat yang bersih (ditandai dengan pengunaan nilai koefisien ekstingi atmosfer k sebesar 0,2 di dalam perhitungannya), dan perbesaran sudut teleskop setidaknya 10x. Kurva visibilitas untuk modus pengamatan berbantuan teleskop ini ditunjukkan dalam Gambar 4.
Tantangan Pengamatan di Indonesia
Kondisi yang sama sebenarnya berlaku pula bagi wilayah Indonesia (Gambar 4), yaitu bahwa hilal awal Syawal berpeluang untuk dapat diamati dengan mengubah modus pengamatan mata telanjang menjadi pengamatan berbantuan teleskop yang menghasilkan perbesaran sudut tertentu. Sayangnya, dari 123 lokasi pengamatan hilal yang tersebar di seluruh Indonesia, tidak satupun yang melaporkan berhasil mengamati hilal.
Kondisi cuaca yang jauh dari ideal pada saat tersebut membuat sulit dipenuhinya syarat-syarat diterimanya kesaksian dalam koridor ilmiah, meskipun bisa saja secara agama dinyatakan sah karena pengamat telah bersedia untuk disumpah, sebagaimana klaim dari pengamat di Cakung. Namun, kesediaan disumpah tidak serta-merta membuat pengamat terbebas dari kesalahan mengesani objek bukan hilal sebagai hilal. Liputan awan tebal di arah barat dekat horizon, bahkan membuat penggunaan teleskop yang dilengkapi kamera perekam pun tidak dapat mengabadikan kemunculan hilal pada petang hari tersebut. Karenanya, keputusan sidang istbat yang menetapkan menggenapkan bulan Ramadan tahun ini menjadi 30 hari karena tidak terlihatnya hilal, sudah bersesuaian dengan fakta di lapangan.
Salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat (PkM). Di semester genap 2022/2023 ini, sejumlah dosen bersama Pranata Laboratorium Pendidikan di Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia melaksanakan kegiatan PkM bidang ilmu secara berkelompok.
Tema PkM yang diusung adalah “Penentuan Awal Bulan Hijriah: Studi kasus 1 Syawal 1444 H” berlokasi di Masjid Nurul Iman kota Bandung (Gambar 5a&5b). Melalui kegiatan ini disosialisasikan kepada warga masyarakat jamaah masjid tentang sejarah penanggalan Hijriah, metode penentuan awal bulan, upaya pembentukan penanggalan Hijriah global, dan potensi perbedaan bilakah jatuhnya 1 Syawal 1444 H melalui sidang itsbat di Kementerian Agama.
Pada akhir sesi, kepada masyarakat disampaikan bahwa masing-masing pihak yang berbeda mendasarkan pilihannya pada realitas alam yang sama, yaitu kemunculan hilal pascakonjungsi. Perbedaan dapat terjadi karena fenomenanya dicerna dengan paradigma yang berbeda, meskipun sama-sama menggunakan acuan/landasan yang tertulis sebagai syariat agama. Pesan yang dapat diambil sebagai pelajaran adalah bahwa keberagaman merupakan keniscayaan, namun bukan untuk memisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan keberagaman itu justru masing-masing pihak perlu saling lebih mengenal, sehingga pemahaman kita bersama tentang realitas apapun (tidak sekadar persoalan terkait hilal) menjadi lebih lengkap, meski pilihan akhir tetap boleh jadi berbeda. Yang akan dituju adalah setiap individu menentukan pilihannya tidak dengan emosional, melainkan dengan mengedepankan rasional. Dan pada saat yang sama, mampu melihat realitas perbedaan dengan semangat toleransi, tanpa harus terjebak klaim “benar-salah” dalam balutan emosi.
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, semoga tempaan Ramadan selama sebulan penuh bagi warga bangsa ini dapat membantu Indonesia untuk kembali bangkit menuju kejayaan yang dicitakan bersama.
Tulis Komentar