fbpx
langitselatan
Beranda » Bulan, Sang Dewi Pengiring Bumi

Bulan, Sang Dewi Pengiring Bumi

Bulan. Objek paling terang sekaligus paling besar yang tampak di langit malam. Tapi wajah Bulan juga senantiasa berubah, dan secara berkala menghilang dari langit malam.

Bulan. 17 Juli 2019. Kredit: Avivah Yamani/langitselatan
Bulan. 17 Juli 2019. Kredit: Avivah Yamani/langitselatan

Bulan memang penerang di langit malam. Tapi Bulan juga punya banyak cerita dalam berbagai kebudayaan. Ada banyak mitos dan cerita rakyat yang dibangun berdasarkan keyakinan masyarakat tentang pengaruh Bulan pada kehidupan manusia. Bulan juga diyakini memiliki kehidupan lain.

Dalam cerita rakyat Jawa Barat, Bulan dihuni oleh Nini Anteh dan kucingnya. Dari cerita rakyat di China, ada Chang’e dan kelincinya, Yutu yang hidup di Bulan. Dari Jepang ada kisah Kaguya, sang putri dari Bulan. Di Selandia Baru ada kisah Rona, gadis Maori yang ditarik ke Bulan. Dalam budaya Yunani ada dewi Bulan, Selene dan bagi bangsa Romawi, sang dewi Bulan dikenal sebagai Dewi Luna.

Keberadaan benda langit memang seringkali diasosiasikan dengan banyak hal. Jadi tak heran jika cerita tentang Bulan ada dalam cerita rakyat berbagai kebudayaan. Apalagi pergerakan Bulan di langit juga digunakan sebagai penentu waktu, dalam hal ini kalender Bulan untuk penentuan hari-hari keagamaan. Yang paling kita kenal di Indonesia adalah kalender Hijriyah.

Tapi, seperti apakah Bulan yang sebenarnya?

Pengiring Bumi

Bulan adalah objek paling dekat dengan Bumi. Jaraknya hanya 384.400 km. Meskipun terang, Bulan tidak memancarkan cahaya. Sinar Bulan yang menerangi malam merupakan cahaya Matahari yang dipantulkan permukaan Bulan ke Bumi.

Bulan juga bukan planet. Ia adalah pengiring Bumi. Jadi, planet biasanya memiliki benda-benda kecil yang mengiringinya yang disebut satelit. Di Tata Surya, hanya Merkurius dan Venus yang tidak punya satelit. Bumi punya satu satelit alam yakni Bulan.

Sebagai pengiring, Bulan mengelilingi Bumi, dan bersama Bumi, keduanya mengitari Matahari. Bulan yang diameternya 3.475 km membutuhkan waktu 27,3 hari untuk mengelilingi Bumi dan berputar pada porosnya. Karena itu, kita hanya bisa melihat sisi yang sama dari wajah Bulan, atau dengan kata lain, Bulan terkunci secara gravitasi oleh Bumi.

Ilustrasi pembentukan Bulan. Kredit: Wikimedia
Ilustrasi pembentukan Bulan. Kredit: Wikimedia

Bulan terbentuk 4,45 miliar tahun lalu tak lama setelah Bumi terbentuk. Bulan terbentuk dari puing-puing tabrakan benda sebesar Mars dengan Bumi muda. Tabrakan tersebut terjadi tak lama setelah Bumi terbentuk. Puing-puing hasil tabrakan kemudian menjadi cincin yang mengelilingi Bumi dan bergabung membentuk Bulan yang massanya 7,35 ×1022 kg atau 735 miliar triliun. Massa Bulan memang jauh lebih kecil dibanding Bumi. Karena itu gravitasinya juga jauh lebih kecil, hanya 1,6 meter/detik2.

Padang Gurun Raksasa

Menjadi objek terdekat dari Bumi, Bulan tentunya menjadi target pertama terkait keingintahuan manusia. Mungkinkah ada kehidupan di Bulan? Bisakah manusia hidup di Bulan?

Jawabannya. Tidak ada kehidupan di Bulan. Satelit Bumi ini adalah bola batuan dingin, kering, tanpa kehidupan, dan diselimuti gas tipis. Tidak ada udara untuk bernafas dan air hanya ada di daerah kutub dalam jumlah yang sedikit. Permukaan Bulan memang seperti gurun raksasa yang kering.

Baca juga:  Manuver New Horizons Menuju Obyek 2014 MU69

Jika suatu hari kelak kita bisa mengunjungi Bulan seperti para astronaut dalam misi Apollo, maka kita akan menemukan temperatur ekstrim di permukaan Bulan. Saat siang hari di Bulan, temperaturnya bisa sangat panas sampai 127º C dan saat malam hari justru luar biasa dingin yakni -173º C. Di kutub utara dan selatan, temperatur justru jauh lebih ekstrim yakni – 238º C pada kawah di kutub selatan dan – 248º C pada kawah di kutub utara.

Bukan hanya temperatur yang ekstrim, siang dan malam di Bulan juga lebih lama dari Bumi. Butuh 13,5 hari untuk pergantian siang dan malam. Tidak ada musim di Bulan karena kemiringan sumbu rotasinya hanya 1,54º. Meskipun tidak ada musim, kemiringan sumbu rotasi tersebut membuat beberapa lokasi di Bulan tidak pernah mengalami siang. Artinya ada lokasi malam abadi di Bulan.

Permukaan Bulan

Permukaan Bulan. Kredit: NASA
Permukaan Bulan. Kredit: NASA

Permukaan Bulan tidak mulus. Ketika masih muda, Bulan pernah mengalami tabrakan asteroid yang menghasilkan terbentuknya kawah di permukaan. Di Bulan, ada wilayah terang dan gelap. Wilayah terang merupakan dataran tinggi sedangkan yang gelap merupakan lautan yang diberi nama Maria atau Mare (bentuk tunggal).

Yang jelas tidak ada air dan ini bukan lautan seperti Bumi. Maria merupakan dataran basalt yang lebih rendah dari dataran tinggi Bulan. Wilayah Maria yang gelap terbentuk dari pembekuan banjir lava yang keluar dari retakan permukaan Bulan akibat tabrakan asteroid miliaran tahun lalu. Maria lebih gelap karena lava beku tersebut kaya dengan besi.

Area Bulan yang tampak dari Bumi disebut sisi dekat sedang yang tidak pernah tampak disebut sisi jauh. Permukaan sisi dekat Bulan merupakan lapisan kaya kalsium dan batuan mirip batu granit. Di bawah lapisan ini ada selubung batuan yang kaya mineral serta inti besi.

Bulan hampir tidak memiliki atmosfer. Hanya ada gas tipis yang menyelubungi pengiring Bumi tersebut. Akibat gravitasi yang hanya 1/6 gravitasi Bumi, Bulan tidak mampu mempertahankan atmosfernya tersebut. Akan tetapi, selubung gas tipis itu akan selalu diperbaharui dengan materi dari angin Matahari.

Saat ini aktivitas geologi di Bulan sudah tidak terjadi lagi. Tanpa angin dan air, tidak ada erosi yang terjadi. Akibatnya, hampir tidak ada perubahan yang terjadi pada permukaan selama 2 miliar tahun.

Pasangan Bumi – Bulan

Dulu ketika Bumi masih muda, ada benda sebesar Mars yang menabrak sehingga rotasi Bumi pun jadi lebih cepat, hanya 6 jam!

Akibat tabrakan, terbentuklah Bulan di dekat Bumi. Ketika baru terbentuk, jarak Bulan jauh lebih dekat dibanding jaraknya sekarang. Bulan memang tampak mengelilingi Bumi. Akan tetapi, Bumi dan Bulan sebenarnya berputar mengelilingi barisenter atau titik kesetimbangan atau titik pusat massa di antara keduanya. Karena massa Bumi lebih besar dari Bulan, titik kesetimbangan Bumi dan Bulan masih berada dalam jejari Bumi. Dengan demikian, Bulan pun tampak mengelilingi Bumi.

Berada dekat dengan Bumi tentu ada pengaruh gravitasi saat Bumi dan Bulan saling berinteraksi. Ketika Bumi berotasi, gravitasi Bulan menyebabkan terjadinya pasang surut pada lautan di Bumi. Efek pasang surut ini juga menyebabkan rotasi Bumi melambat, sehingga satu hari jadi lebih panjang. Ketika rotasi bumi melambat, Bulan pun menjauhi Bumi. Setiap tahun Bulan menjauhi Bumi sejauh 3,8 cm.

Fase Bulan. Kredit: langitselatan
Fase Bulan. Kredit: langitselatan

Bukan hanya itu. Bumi dan Bulan punya hubungan menarik lainnya. Bulan butuh 27,3 hari untuk mengelilingi Bumi. Akan tetapi, Bumi juga bergerak mengelilingi Matahari. Akibatnya, Bulan butuh 29,5 hari untuk kembali ke posisi yang sama di langit malam. Waktu 29,5 hari tersebut merupakan waktu yang dibutuhkan Bulan untuk menyelesaikan satu siklus fasenya.

Baca juga:  Waduk Air Tersembunyi Di Enceladus

Fase Bulan yang dimaksud adalah perubahan bentuk Bulan jika dilihat dari Bumi. Tapi, bukan berarti Bulan mengubah bentuknya. Bulan tetap bundar dengan sisi dekat yang menerima cahaya Matahari (sisi siang) dan sisi jauh yang membelakangi Matahari (sisi malam). Yang berbeda adalah sudut pandang pengamat di Bumi terhadap Bulan yang bergerak mengelilingi Bumi.

Saat Bulan mengelilingi Bumi, ada kalanya Bulan berada di antara Matahari dan Bumi. Akibatnya sisi dekat yang berhadapan dengan Bumi tidak menerima cahaya Matahari, sedangkan sisi jauh yang menerima cahaya Matahari justru membelakangi pengamat. Fase ini disebut Bulan Baru, dan Bulan tidak tampak di malam hari.

Ketika Bulan bergerak mengitari Bumi, porsi wajah Bulan yang menerima cahaya Matahari tetap sama, tapi sisi terang yang tampak oleh pengamat mengalami perubahan dan kita melihat sebagian sisi siang Bulan yang menerima dan memantulkan cahaya Matahari. Akibatnya kita melihat Bulan Setengah, Bulan Cembung, ataupun Bulan Sabit.

Ketika Bulan berada bersebrangan dengan Matahari, maka sisi dekat Bulan yang berhadapan dengan pengamat di Bumi menerima dan memantulkan cahaya Matahari. Akibatnya Bulan tampak seperti lingkaran terang di langit malam. Fase ini kita sebut Purnama.

Skema Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan. Kredit: langitselatan
Skema Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan. Kredit: langitselatan

Bulan Baru dan Bulan Purnama adalah saat dimana posisi Bumi, Bulan, dan Matahari sejajar. Ketika Bulan berada sejajar di antara Matahari dan Bumi, maka bisa terjadi gerhana Matahari karena Bulan menghalangi cahaya Matahari. Sementara itu, ketika Bumi berada di antara Bulan dan Matahari, justru Bumi yang menghalangi cahaya Matahari sehingga terjadi gerhana Bulan. Tapi, gerhana tidak terjadi setiap bulan karena perpotongan orbit Bumi dan Bulan memiliki kemiringan sebesar 5º.

Meskipun tidak terjadi tiap Bulan, kita bisa mengalami empat sampai tujuh gerhana Matahari dan Bulan setiap tahunnya. Paling sedikit kita bisa mengamati 2 Gerhana Bulan dan 2 Gerhana Matahari.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini