Rigel itu kan bintang paling terang di konstelasi Orion, kenapa namanya Beta Orionis bukannya Alpha? Bukannya Alpha itu untuk bintang yg paling terang?
(Navyanto Arasma – Denpasar)
Jika ditinjau dari magnitudo atau kecerlangannya, seharusnya bintang Rigel di rasi Orion (0,18 mag) yang lebih terang dari Betelgeuse (0,42 mag) diberi nama Alpha Orionis dan bukannya Beta Orionis berdasarkan pemberian nama oleh Johann Bayer. Dan secara umum memang penamaan bintang dalam suatu konstelasi dimulai dengan Alpha yang diikuti nama konstelasi untuk menandai si bintang sebagai bintang paling terang. Bintang terang kedua di rasi yang sama akan diberi gelar Beta, Gamma, Delta, Epsilon dst.
Akan tetapi, tampaknya untuk rasi Orion terjadi anomali karena Rigel yang lebih terang justru diberi gelar Beta Orionis atau bintang terang kedua di rasi Orion, dan Betelgeuse yang lebih redup justru memperoleh nama dan gelar sebagai Alpha Orionis atau bintang paling terang di Rasi Orion. Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, ada baiknya kita meninjau sejarah ketika penamaan dengan sistem abjad Yunani ini dibuat.
Cerita dimulai dari ketertarikan manusia pada benda-benda langit dan pengamatan yang dilakukan secara berkala atau secara rutin. Untuk mempermudah pengamat dalam mengenali obyek langit yang diamati, maka dibuatlah garis imajiner yang menghubungkan bintang-bintang sehingga membentuk sebuah pola yang menyerupai figur tertentu. Pola inilah yang kemudian kita kenal sebagai konstelasi atau rasi bintang. Setiap lokasi akan memiliki interpretasi berbeda akan pola bintang-bintang di langit.
Contohnya, interpretasi Rasi Orion oleh masyarakat Eropa berbeda dengan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Eropa, Orion adalah pemburu sedangkan untuk masyarakat Jawa, Orion justru dilihat sebagai bajak. Kebudayaan dan pola hidup masyarakat setempat menjadi dasar yang mempengaruhi masyarakat dalam mengenali bintang-bintang di langit. Selain mengenali bintang dari pola imajiner yang dibuat, para pengamat juga melakukan pemetaan posisi bintang-bintang ini di langit. Persis seperti ketika manusia membuat peta lokasi di Bumi. Peta langit akan berfungsi sebagai penuntun dalam menemukan lokasi sebuah bintang atau rasi bintang.
Catatan sejarah menunjukkan orang pertama yang memetakan posisi bintang adalah astronom China bernama Shi Shen, Gan De dan Wu Xian. Peta bintang yang mereka buat pada kisaran tahun 400 – 300 SM masih tidak akurat akan tetapi digunakan selama beberapa abad sebagai penuntun dalam pengamatan benda-benda langit terkait dengan kehidupan masyarakat. Perlu diingat juga bahwa pengamatan benda-benda langit bukan sekedar untuk menikmati keindahan langit malam atau khusus mempelajari bintang-bintang saja. Pengamatan benda langit memiliki keterkaitan erat dengan pola kehidupan masyarakat baik yang terkait dengan ritual kepercayaan maupun kehidupan sehari-hari seperti penentu waktu ataupun penunjuk arah.
Salinan peta bintang pertama yang berhasil ditemukan adalah peta bintang Dunhuang dari Dinasti Tang (618 M –907 M) yang ditemukan di Asia tengah. Peta bintang Dunhuang memetakan 1345 bintang dan dikelompokan dalam 257 asterisme. Pemetaan benda-benda langit juga dilakukan oleh pengamat langit dari berbagai negara. Akan tetapi, baru pada tahun 1600 – 1800 kartografi langit memasuki masa kejayaannya, ditandai oleh publikasi atlas langit yang memetakan posisi bintang dan planet yang cukup akurat dalam sistem koordinat.
Uranometria
Peta bintang pertama yang diterbitkan adalah Uranometria Omnium Asterismorum yang dibuat oleh Johann Bayer pada tahun 1603 di Augsburg, Jerman. Atlas yang diukir pada tembaga oleh Alexander Mair tersebut, memuat 51 plat peta bintang yang terdiri dari 48 plat Rasi Bintang yang dibuat Ptolemy, 1 peta langit berisi 12 rasi baru dari langit selatan yang diamati oleh para pelaut, dan 2 peta langit yang masing-masing memetakan seluruh langit belahan utara dan selatan. Ke-48 Rasi Bintang Ptolemy terdiri dari 1028 bintang dan dipublikasikan pada tahun 1515 dalam Ptolemy’s Almagest.Â
Sumber informasi posisi dan magnitudo bintang dari konstelasi Ptolemy dalam Uranometria berasal dari katalog Tycho Brahe yang terdiri dari 1005 bintang dan dipublikasikan pada tahun 1602. Johann Bayer juga menambahkan 1000 bintang dari hasil pengamatannya dan peta bintang dalam Uranometria digambarkan dalam figur mitologi setiap rasi bintang.
Selain memberikan gambaran rasi bintang dengan figur mitologinya, Johann Bayer juga memberi nama bagi setiap bintang di dalam Rasi tersebut unutk memudahkan pengamat dalam mengenali sebuah obyek. Untuk itu, ia melakukan pengelompokkan bintang berdasarkan tingkat kecerlangannya, dan bintang-bintang yang sudah dikelompokkan akan diurutkan dan diberi nama yang diawali oleh abjad Yunani dan diikuti oleh nama Rasi Bintangnya. Bintang paling terang akan diberi label Alpha diikuti nama rasi, kemudian bintang terang kedua diberi gelar Beta, dst.
Pemberian nama atau label atau bisa kita katakan gelar pada bintang-bintang dalam Uranometria diyakini mengikuti pola yang dibuat oleh Piccolini dalam atlasnya. Hal ini tampak dari penamaan rasi Ursa Minor. Piccolini dalam petanya melabeli setiap bintang di Ursa Minor dengan abjad a sampai g, dan urutan yang sama juga ditemukan dalam Uranometria. Hanya saja, Johann Bayer menggunakan abjad Yunani dari alpha sampai dengan eta.
Mengingat keterbatasan alfabet Yunani yang hanya 24 abjad, maka untuk bintang – bintang redup yang kehabisan abjad Yunani diberi nama dengan abjad Romawi yang dimulai dengan A (huruf kapital) dan diikuti oleh huruf kecil b,c,d, dst.
Alpha, Tak selalu berarti bintang terang
Yang menarik, dalam proses pemberian nama bintang di sebuah rasi, Johann Bayer tidak selalu mengikuti dengan tepat penamaan berdasarkan kecerlangan bintang. Pada masa itu, penentuan magnitudo atau kecerlangan bintang masih dilakukan dengan mata tanpa alat. Artinya, tingkat keakuratan kecerlangan bintang masih belum akurat. Teleskop baru digunakan beberapa tahun kemudian setelah cetakan pertama Uranometria diterbitkan.
Untuk menyelesaikan kendala tersebut, Johann Bayer mengelompokkan bintang dalam 6 kelas magnitudo. Tiap kelas magnitudo memiliki rentang magnitudo tertentu, dan setiap bintang akan dikelompokkan berdasarkan kelas magnitudo untuk kemudian diurutkan dan diberi nama berdasarkan abjad Yunani. Akibatnya, jika dalam satu konstelasi ada beberapa bintang yang memiliki magnitudo dalam kelas yang sama maka urutan alpha, beta tidak selalu mengacu pada bintang paling terang.
Pada akhirnya, penamaan bintang oleh Johann Bayer tidak hanya menggunakan kecerlangan bintang sebagai satu-satunya parameter. Alpha tidak selalu merupakan bintang paling terang pada konstelasi terkait. Dalam melakukan penamaan bintang, Johann Bayer juga menggunakan beberapa parameter lainnya yakni:
- berdasarkan lokasi bintang di dalam konstelasi
- berdasarkan urutan terbitnya bintang-bintang dalam konstelasi di timur
- berdasarkan informasi sejarah atau mitologi bintang tertentu dalam konstelasi
- berdasarkan pilihan Johann Bayer berdasarkan mana yang paling cocok jika ada beberapa bintang berada dalam satu kelas magnitudo yang sama.
Penamaan Yang Berbeda
Sebagai contoh, di Rasi Ursa Mayoris, 7 bintang yang membentuk Bajak diberi nama dengan urutan berdasarkan asensiorekta. Di Gemini, tiga bintang paling terang di rasi si kembar diberi nama berdasarkan deklinasinya yang diurutkan dari utara ke selatan. Lain Gemini, lain pula rasi Cygnus. Urutan nama bintang terang di Cygnus mengikuti bentuk konstelasinya.
Untuk rasi Orion, kasusnya sedikit berbeda. Saat menentukan magnitudo bintang, Bayer mengelompokkan Betelgeuse dan Rigel, dua bintang paling terang pada rasi pemburu dalam satu kelas magnitudo yang sama. Rigel dan Betelgeuse yang memiliki magnitudo 0,18 dan 0,45 dikelompokkan dalam kelas magnitudo 1 sebelum keduanya diberi label.
Di era Johann Bayer memetakan langit, penentuan magnitudo belum seakurat saat ini. Karena itu, tidak mengherankan jika Johann Bayer tidak serta merta memberi label Alpha pada Rigel dan Beta pada Betelgeuse karena kecerlangan keduanya jika dilihat dengan mata tanpa alat tidak menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan.
Betelgeuse kemudian diberi label Alpha karena posisinya di bahu sang pemburu akan terbit lebih dahulu dibanding Rigel yang berada di kaki, meskipun Rigel lebih terang dibanding Betelgeuse. Alasan lain mengapa Betelgeuse diberi label Alpha karena ia merupakan bintang variabel yang ketika mencapai kecerlangan maksimum akan lebih terang dari Rigel. Variasi kecerlangan Betlgeuse sebagai bintang variabel memiliki variasi kecerlangan antara 0,2Â dan 1,2. Bintang Betelgeuse akan tampak meredup dan kemudian bersinar terang dalam rentang waktu 400 hari. Keberadaan Betelgeuse sebagai bintang variabel baru dikonfirmasi pada tahun 1836 saat Sir John Herschel mengamati bintang ini lewat teleskop dan menerbitkan pengamatannya dalam Outlines of Astronomy.
Dalam katalog Bayer, terdapat 16 rasi bintang yang diberi label alpha namun bukan merupakan bintang paling terang dalam konstelasinya. Di antaranya adalah rasi: Cancer, Capricornus, Cetus, Corvus, Crater, Delphinus, Draco, Gemini, Herkules, Libra, Orion, Pegasus, Pises, Sagitta, Sagittarius, dan Triangulum. Dari 88 rasi bintang modern yang diadaptasi oleh IAU, setidaknya ada 30 rasi dimana alpha bukanlah bintang paling terang dan ada 4 rasi bintang yang tidak memiliki label alpha pada bintang-bintangnya.
[divider_line]Punya pertanyaan tentang astronomi? Silahkan Tanya LS!
Sangat jelas sekali. Terimakasih banyak langitselatan!