Satu kilatan cahaya terang mengemuka di langit malam daratan Lampung pada Kamis 28 Januari 2021 pukul 21:53 WIB lalu.
Begitu kilatan cahaya menghilang, di bagian langit yang sama sempat terlihat ketampakan gumpalan mirip awan panjang lurus yang bertahan hingga beberapa belas menit kemudian. Pada saat yang sama suara dentuman menggelegar dan terdengar hingga sebagian daratan propinsi Lampung. Peristiwa ini terekam juga oleh tiga stasiun seismik di bawah payung Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang dioperasikan BMKG. Masing-masing stasiun UTSI, KASI dan PSSM. Seluruhnya berada di wilayah Kab. Tanggamus.
Dua meteorit siderolit (besi–batuan) ditemukan dalam kejadian ini. Meteorit pertama (massa ~ 2,2 kilogram) ditemukan sesaat setelah kejadian di desa Astomulyo. Sedangkan meteorit kedua lebih ringan (massa ~0,3 kilogram) dan ditemukan sehari kemudian di desa Mojopahit, ~3 kilometer sebelah utara dari lokasi meteorit pertama. Kedua titik jatuhan meteorit ini merupakan bagian dari Kec. Punggur, Kab. Lampung Tengah. Maka dari itu peristiwa tumbukan benda langit ini disebut Peristiwa Lampung Tengah.
Rekonstruksi
Temuan dua meteorit yang terpisah adalah indikasi eksistensi zona sebaran (strewnfield) dalam Peristiwa Lampung Tengah. Zona sebaran ini serupa dengan zona sebaran yang terbentuk pada Peristiwa Tapanuli Tengah 1 Agustus 2020 silam. Zona sebaran umum dijumpai dalam kejadian tumbukan benda langit yang berujung dengan peristiwa mirip ledakan di udara (airburst). Sehingga fragmen-fragmen yang terbentuk selama proses pemecahbelahan dan dapat bertahan dari ganasnya atmosfer Bumi akan mendarat di area zona sebaran ini.
Zona sebaran Lampung Tengah memiliki sumbu panjang yang membujur dalam arah utara–selatan dengan panjang ~3 kilometer. Meteorit terberat jatuh di ujung selatan sementara yang ringan menempati ujung utara. Berdasarkan data tersebut dan ditunjang tipe meteorit, maka perhitungan dengan menggunakan algoritma Collins menyimpulkan meteoroid penyebab Peristiwa Lampung Tengah datang dari utara (azimuth 0º) pada altitude ~20º (pada asumsi kecepatan tumbuk 20 km/detik).
Rekonstruksi berbasis asumsi tersebut mengindikasikan bahwa meteoroid penyebab Peristiwa Lampung Tengah semula merupakan bagian dari kelompok asteroid dekat-Bumi kelas Apollo. Meteoroid tersebut beredar mengelilingi Matahari menyusuri orbit sangat lonjong dengan perihelion 0,96 SA dan aphelion 3,51 SA ( SA = satuan astronomi). Sehingga orbitnya merentang di antara orbit Bumi hingga bagian tengah kawasan Sabuk Asteroid Utama. Orbit itu mempunyai inklinasi ~16º terhadap ekliptika dengan periode orbital ~3,3 tahun. Orbit memiliki node 308,72º. Meteoroid masuk ke atmosfer Bumi pada saat melintasi titik descending node dan terjadi 20 hari sebelum meteoroid tiba di titik perihelionnya.
Simulasi lebih lanjut menunjukkan massa meteoroid Lampung Tengah ~5 ton dengan diameter ~1 meter apabila sferis. Saat memasuki atmosfer Bumi, meteoroid berpijar terang menjadi meteor–terang (fireball) hingga magnitudo –9 dengan energi kinetik 0,2 kiloton TNT. Tingkat energi ini tergolong kecil dalam khasanah tumbukan benda langit. Pada saat itu meteor–terang jauh lebih cerlang dibandingkan Venus sehingga mudah dilihat di malam hari. Pada ketinggian 36 hingga 38 km, tekanan ram mulai melampaui batas kekuatan materi meteor. Sehingga mulai terjadi pemecahbelahan yang segera mencapai puncaknya dan disusul pelepasan energi lewat airburst.
Energi airburst diperhitungkan ~0,2 kiloton TNT yang juga tergolong kecil. Airburst melepaskan gelombang kejut dan terdengar sebagai suara dentuman. Sebagai gelombang akustik, maka sebagian kecil diantara gelombang kejut tersebut akan berubah menjadi gelombang seismik manakala telah menyentuh paras Bumi. Gelombang seismik tersebut yang terekam pada sensor–sensor seismometer terdekat. Dengan energi airburst sekecil itu, dampak gelombang kejutnya dan sinar sama sekali tak menyentuh zona sebaran dibawahnya.
Kekerapan
Tentu saja angka–angka ini hanya perkiraan sangat kasar. Rekonstruksi orbit meteoroid yang lebih teliti membutuhkan minimal dua rekaman video ketampakan meteor-terang yang lantas ditriangulasi. Namun angka–angka tersebut setidaknya memberikan gambaran terkait tamu dari langit ini.
Secara global, meteoroid seukuran meteoroid Lampung Tengah masuk ke atmosfer Bumi setiap 80 hari sekali. Jadi tergolong sering. Sedangkan terkait meteroitnya, setiap kilometer persegi daratan di Bumi rata–rata mendapatkan satu jatuhan meteorit dalam tiap 50.000 tahun. Luas daratan Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi. Maka Indonesia akan mendapatkan satu jatuhan meteorit dalam setiap 10 hari. Apabila kita memperhitungkan luas daratan yang berpenghuni (dalam bentuk pedesaan hingga perkotaan), maka peluang menyaksikan satu peristiwa tumbukan benda langit yang menyisakan meteoritnya melambung menjadi sekitar satu kali dalam tiap 50 hingga 60 hari (rata–rata).
Statistik tersebut, meskipun masih kasar, menunjukkan bahwa kejadian tumbukan benda langit adalah fenomena yang sering terjadi. Sehingga rentetan kejadian temuan meteorit dalam 180 hari terakhir dari Kolang (Kab. Tapanuli Tengah) dan Punggur (Kab. Lampung Tengah) adalah masih tergolong wajar. Masih berada di bawah ambang nilai statistik.
Tulis Komentar