Hoax astronomi yang beredar seringkali dengan mudah dipercaya masyarakat. Ketiadaan budaya ilmiah yang diperparah dengan ruang gaung yang tercipta di media sosial membuat hoax dianggap sebagai kebenaran dan disebar, tanpa verifikasi oleh pembaca.
Membangun Budaya Ilmiah
Fenomena yang paling sering kita lihat akhir-akhir ini di Indonesia adalah hoax terkait politik. Tapi jangan salah. Hoax dan informasi yang salah terkait astronomi sudah ada bahkan jauh sebelum media sosial dan internet jadi kebutuhan pokok masyarakat masa kini.
Hoax pendaratan di Bulan, Mars sebesar Purnama, equinok akan menyebabkan gelombang panas, bencana karena Bulan Purnama Perigee a.k.a Bulan Super, alam semesta berbentuk terompet malaikat, dan masih banyak lagi. Selain itu, pencarian dengan kata kunci terkait isu-isu yang salah masih populer digunakan untuk menemukan LS. Salah satu yang cukup tren dan bahkan mendulang banyak pengikut adalah isu bentuk Bumi yang kabarnya jadi datar.
Mengapa fenomena ini masih ada di tengah masyarakat modern yang seharusnya melek sains?
Di era informasi seperti sekarang, seharusnya konfirmasi atas kebenaran sebuah isu bisa diperoleh dengan mudah. Apalagi, dunia maya menyediakan berbagai informasi yang bahkan tampaknya tidak terbatas dari berbagai sumber terpecaya.
Untuk itu perlu dibangun masyarakat yang punya sikap dan budaya ilmiah, yang menempatkan pemikiran rasional dan metode ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ilmiah yang dimaksud adalah sikap dan kebiasaan yang dibangun untuk menemukan jawaban sesuai proses ilmiah. Sikap ilmiah akan melahirkan masyarakat yang tidak mudah mempercayai sesuatu tanpa melalui pengujian.
Metode ilmiah mengajarkan kita untuk bertanya, mengamati, membangun hipotesa awal, lakukan percobaan / pengamatan / pengumpulan data, analisis data, baru kemudian kesimpulan diambil. Proses ini akan menghasilkan masyarakat yang tidak mudah mempercayai hoax karena selalu mempertanyakan kebenaran informasi yang diterima dan kemudian dilakukan pengujian apakah informasi tersebut valid atau tidak.
Inilah problematika masyarakat Indonesia saat ini. Dan tampaknya, budaya baca yang rendah di Indonesia menjadi kendala tersendiri.
Berdasarkan survei APJII dan We Are Social, masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 9 jam sehari berselancar di dunia maya dan 3,5 jam digunakan untuk mengakses media sosial. Dari seluruh pengguna internet di indonesia yang mencapai 53% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia, hanya 22% yang mengakses informasi edukasi baik berupa artikel maupun video. Sementara untuk urusan media sosial, 87% pengguna aktif mengakses media sosial mereka utamanya Facebook, Youtube, Whatsapp, Instagram, dan LINE.
Yang lebih menarik, lebih dari 80% pengguna internet itu menerima berita atau informasi justru dari linimasa media sosial. Itu artinya apa yang dibagikan di media sosial akan menjadi sumber berita. Jika menarik, berita tersebut langsung disebar kembali. Problem lainnya, seringkali judul berita dibuat sangat menarik, dan bombastis agar bisa populer dan diviralkan publik.
Hal tersebut memberi indikasi kalau pencarian informasi ke sumber yang benar tidak dilakukan. Akibatnya, tidak mengherankan jika hoax mudah diyakini dan tersebar luas. Apalagi kehadiran media sosial juga mempermudah semuanya.
Ruang Gaung di Media Sosial
Kehadiran media sosial mengubah pola interaksi masyarakat. Jarak dan waktu tak lagi menjadi kendala untuk berinteraksi. Pengguna juga bisa memperkenalkan ide dan hasil karyanya ke khalayak global dengan mudah dan sangat murah. Hanya dengan gawai pintar dan akses ke media sosial seseorang bisa bekerja, bercakap-cakap, memotret, dan memperoleh hiburan. Informasi cepat dengan sumber yang hampir tidak terbatas bisa diperoleh hanya lewat mesin pencari. Kapanpun dan dimanapun.
Pola penyajian berita juga berubah. Butuh berita cepat yang bisa segera diterima publik. Biasanya dengan judul yang menarik bahkan bombastis agar bisa menarik perhatian publik untuk kemudian diviralkan. Akibatnya hoax dan misinformasi dengan mudah tersebar.
Ketika berita yang sama terus menerus disebarkan dan diterima oleh seseorang di media sosial, kecenderungan seseorang untuk melihat informasi tersebut sebagai kebenaran juga semakin tinggi. Apalagi jika berita tersebut sesuai dengan pandangan si pembaca. Pada akhirnya informasi tersebut digunakan sebagai verifikasi dari keyakinan atau pandangan pembaca yang sudah ada sebelumnya. Kondisi ini dikenal sebagai ruang gaung media sosial.
Ketika berselancar di dunia maya, perhatikan iklan yang diterima atau saran tautan untuk dibaca atau juga status yang muncul paling atas. Rekomendasi dari mesin pencari atau media sosial ini merupakan hasil kurasi algoritma yang membaca kebiasaan kita dalam berselancar di dunia maya. Hasil kerja algoritma tersebut menghasilkan gelembung informasi dimana konten yang kita lihat sudah dikurasi terlebih dahulu sesuai perilaku kita di dunia maya. Tapi, gelembung informasi bisa berubah jadi ruang gaung yang berbahaya, ketika seorang pengguna hanya berinteraksi dengan orang yang memiliki pandangan yang sama di media sosial.
Media sosial memberi ruang bagi pengguna untuk menyukai, menyembunyikan status, mendiamkan, dan tidak mengikuti pengguna lain. Ketika seorang pengguna memilih untuk menyortir kontennya sendiri dan tidak lagi menerima pandangan berbeda, pada akhirnya ia hanya akan menerima informasi dan pendapat yang sepaham denganya berulang-ulang.
Akibatnya, pandangan tersebut seperti gaung yang terus menerus muncul dan membuat pembaca percaya bahwa informasi tersebut benar dan semakin memperkuat pandangan yang sudah diyakini sebelumnya.
Perlu diingat, hoax dan pseudosains seringkali memberi informasi seakan sudah ada riset yang memperkuat pandangan yang salah tersebut. Bedanya, pseudosains memulai proses dengan kesimpulan bukan hipotesa. Bukti yang dicari pun yang memperkuat kesimpulan bukan menguji hipotesa.
LS dan Komunikasi Astronomi
Untuk memecah ruang gaung tentu tidak mudah. Harus ada pemetaan masalah untuk memperoleh solusi yang tepat. Pembenahan pendidikan dasar dan pendidikan yang merangsang siswa untuk selalu ingin tahu, terus bertanya dan mampu membangun solusi sesuai metode ilmiah perlu dilakukan.
Di sisi lain, diperlukan ilmuwan dan komunikator sains yang mampu untuk menyajikan sains serta membuka ruang diskusi ilmiah dengan publik. Diskusi yang dilandasi pemikiran rasional, tanpa mengakomodasi pseudosains, hoax maupun jargon bombastis yang bisa membuat publik salah kaprah.
Selama 11 tahun, kami di LS ikut ambil bagian dalam komunikasi astronomi untuk masyarakat Indonesia. Sejak 2007, LS sudah berurusan dengan misinformasi dan hoax. Dari teori konspirasi pendaratan di Bulan sampai Bumi Datar, kiamat dengan berbagai penyebab, semua sudah jadi santapan LS. Untuk meminimalisir dan mengatasinya, langitselatan berusaha menempatkan diri sebagai komunikator yang memberi informasi yang benar sekaligus mengedukasi masyarakat terkait isu yang beredar serta memberi pemahaman dasar sains.
Berbagai prakarya juga disiapkan untuk melatih siswa untuk melakukan percobaan astronomi. Selain di dunia maya, LS juga ikut berkiprah mengedukasi publik terutama anak-anak di luar jejaring dunia maya. Kegiatan pengamatan bersama atau pelatihan komunikasi sains yang dilaksanakan diharapkan jadi pintu untuk memperkenalkan sains kepada masyarakat sekaligus untuk membangun budaya ilmiah dalam masyarakat.
[divider_line] Tulisan ini merupakan bagian dari paparan LS di Communicating Astronomy with the Public (CAP) 2018. Makalahnya diterbitkan di Prosiding CAP2018.
tulisan yang bagus. saya sependapat. jangan lupa hoax2 tersebut jika bisa dipatahkan atau kalah argumen cenderung berlindung ke teori2 konspirasi. entah konspirasi NASA, amerika dll yang cenderung anti pemerintah (kemapanan) yg sayangnya masih gampang diterima sebagian besar warga net yg awam, IMO
betul sekali. 🙂