Satu lagi nama Indonesia diabadikan sebagai nama asteroid di Tata Surya. Yang dipilih adalah nama Premana W. Premadi, astronom perempuan dari Indonesia.
Bulan Maret 2017, IAU Minor Planet Center merilis nama-nama baru untuk sebagian planet minor. Istilah planet minor digunakan untuk obyek langit non planet atau komet yang mengitari Matahari. Di antaranya adalah Ceres dan Vesta, asteroid besar yang ada di Sabuk Asteroid.
Sampai dengan Maret 2017, tercatat ada 488.449 planet minor yang sudah diberi nomor identifikasi / kodifikasi sedangkan 729.626 planet minor. Untuk nama, hanya 20.570 planet minor yang sudah diberi nama, dari nama tokoh, nama dewa dalam mitologi ataupun tokoh fiksi.
Di antara ribuan nama tersebut, beberapa di antaranya memiliki nama Indonesia, yang diberikan sebagai penghargaan ataupun pengingat akan suatu tempat dan kejadian. Sebelumnya di tahun 2010, empat nama mantan kepala Observatorium Bosscha juga diabadikan sebagai nama asteroid. Kehadiran nama-nama asteroid dengan nama astronom Indonesia menunjukkan kalau upaya memajukan astronomi di Indonesia didukung oleh dunia internasional.
Dalam obrolannya dengan langitselatan, Premana yang biasa disapa Nana mengatakan, “Adanya dukungan internasional seharusnya mendorong para astronom Indonesia untuk bekerja lebih giat, menghidupkan jejaring kerjasama nasional dan internasional untuk mengoptimalkan laju perkembangan astronomi dan meningkatkan kontribusi pada ilmu astronomi dan astrofisika.”
12937 Premadi
Tahun ini, IAU mengabadikan nama Premana W Premadi, pada asteroid 3024 P-L yang ditemukan 24 September 1960. Nama baru asteroid berukuran 10,58 km di Sabuk Asteroid itu, 12937 Premadi. Asteroid 12937 Premadi ditemukan oleh pasangan Cornelis Johannes van Houten dan Ingrid van Houten-Groeneveld yang melakukan analisa dari plat fotografi yang diambil oleh Tom Gehrels dengan teleskop Schmidt di Observatorium Palomar.
Asteroid 12937 yang berada di antara Mars dan Jupiter itu termasuk sangat redup dengan kecerlangan 13,4 magnitudo. Butuh teleskop untuk bisa melihat asteroid yang mengelilingi Matahari setiap 1547,58 hari atau sekitar 4,23 tahun. Dalam perjalanannya mengitari Matahari, 12937 Premadi akan bisa berpapasan dekat dengan Matahari, pada jarak 2,14 AU dan berada pada posisi terjauh dengan jarak 3,09 AU.
Penganugerahan nama asteroid itu diberikan oleh IAU pada Premana W. Premadi atas kiprahnya sebagai astronom di Program Studi Astronomi ITB dan Observatorium Bosscha dan aktivitasnya untuk membangun kesadaran astronomi di Indonesia lewat UNAWE Indonesia.
Bagi para astronom, nama populer benda langit bukan sesuatu yang sangat signifikan. Akan tetapi untuk suatu negara, penamaan benda langit dengan nama tokoh negara tersebut bukan hanya sebuah kebanggaan tapi bisa memberi inspirasi pada anak-anak muda untuk berkiprah di dunia sains. Tentunya momen ini harus dimanfaatkan.
Saat menjawab pertanyaan kami terkait kesannya atas penghargaan yang ia terima, Nana mengatakan, “Saya hanya melakukan apa yang saya cintai, untuk merespon keingintahuannya tentang alam secara saintifik sebisa saya, mengikutkan diri saya pada gelombang kemajuan sains, dan membagikan excitement ini pada orang-orang di sekitar saya, terutama pada murid-murid saya dan anak-anak. Bahwa ini dihargai, saya amat sangat berterimakasih.”
“Penghargaan itu bukan target. Dan seharusnya anak-anak tidak menjadikan perolehan penghargaan sebagai suatu target. Tapi penghargaan yang diperoleh ini bisa dimanfaatkan untuk memperkenalkan alam semesta pada anak-anak.” Menurut Premana Premadi, yang menjabat sebagai koordinator UNAWE Indonesia dari tahun 2007 -2013:
“Yang membahagiakan, yang keren, adalah mendapatkan diri kita sedang menemukan dan menkonstruksi jalan untuk menjawab keingintahuan tadi, yakni memahami proses fisis yang menghasilkan berbagai fenomena yang indah dan dahsyat”.
Contohnya, terlibat dalam diskusi astrofisika dan kosmologi dengan para ahlinya seharusnya jadi jauh lebih mengasyikkan dan menggairahkan daripada bermain game online.
Membangun Kesadaran Langit
Selain sebagai dosen yang sibuk mengajar dan membimbing mahasiswanya, Nana juga sangat aktif membangun kesadaran astronomi di masyarakat khususnya anak-anak. Kegiatan ini ia kerjakan lewat UNAWE Indonesia, organisasi yang ia mulai tahun 2007.
Dalam perbincangan dengan langitselatan, Nana menuturkan kalau keterlibatannya dengan UNAWE sudah dimulai sejak tahun 2005 saat diundang oleh George Miley, penggagas dan pendiri UNAWE untuk turut berdiskusi dan merumuskan program yang bisa dibuat untuk membangkitkan kesadaran alam semesta pada anak-anak di Garching, Jerman. Target utama program ini adalah anak yang hidup di lingkungan kurang menguntungkan, contohnya anak-anak di wilayah negara miskin dan berkembang atau anak-anak yang tumbuh di lingkungan konflik.
Pada tahun 2006, UNAWE didirikan dalam pertemuan IAU General Assembly di Praha. Pendirian UNAWE Internasional membuka jalan bagi Nana untuk memulai program serupa di Indonesia. Akhirnya, di tahun 2007, bersama dengan mahasiswa dan alumni Astronomi ITB, ekspedisi untuk memperkenalkan astronomi pada anak dilaksanakan. Ekspedisi perdana UNAWE itu dilaksanakan bulan Desember 2007 dari Bandung ke Malang. Berbagai sesi edukasi astronomi dilaksanakan di beberapa kota yang dilewati.
Menurut Nana, “semenjak ekspedisi pertama itu, UNAWE Indonesia tumbuh semakin kokoh dengan program-program yang semakin jelas dan terus membangun reputasinya. Meski kemajuan UNAWE Indonesia belum sepesat yang diharapkan.”
Salah satu tantangan yang dihadapi Nana dan tim UNAWE Indonesia adalah ketersediaan SDM yang kompeten dan berdedikasi. Lewat perjalanan ke berbagai daerah, UNAWE Indonesia sudah menyentuh banyak guru dan anak-anak di pelosok Indonesia. Meskipun demikian, jumlah itu masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah guru dan anak-anak yang hendak dijangkau.
Nama-Nama Yang Mengangkasa & Perkembangan Astronomi di Indonesia
Kehadiran nama-nama astronom Indonesia di angkasa tentu sangat membanggakan. Tapi bagaimana implikasinya dengan perkembangan astronomi di Indonesia. Apalagi saat ini pengenalan astronomi di Indonesia terutama di daerah masih sangat minim. Apa yang harus dilakukan untuk bisa membangun kesadaran astronomi di seluruh Indonesia.
Nana mengatakan, “ menurut saya alumni astronomi sudah banyak dan dapat berkontribusi lebih signifikan pada usaha meningkatkan awareness astronomi di Indonesia. Apapun pekerjaan yang dipilih, saya pikir setiap alumni dapat meluangkan waktu minimal satu akhir pekan dalam setahun untuk melaksanakan aktivitas untuk membantu usaha ini di daerahnya masing-masing. Komunikasi dan koordinasi yang lebih baik dapat menjadikan program alumni efektif dan luas jangkauannya. Negara kita sudah berinvestasi dalam pendidikan, termasuk dalam bentuk subsidi pendidikan tertier astronomi. Jadi sudah seharusnya kita mengkontribusikan pengetahuan astronomi kita kepada bangsa kita, sesedikit apa pun. Saya sedih jika mendengar alumni mengatakan mereka sudah lupa bahkan hal-hal dasar tentang astronomi. Tentu pemahaman rinci dan teknis bisa meluruh jika tidak terpakai dan terasah. Tetapi basic logical reasoning dalam astronomi mestinya hidup terus dalam pikiran lulusan astronomi . Mengikuti perkembangan astronomi dengan membaca majalah sains popular adalah hal minimal yang sebaiknya para alumni lakukan.”
Minat masyarakat juga meningkat, ditandai dengan kehadiran komunitas astronomi di berbagai daerah terutama di kota-kota besar. Selain astronom, komunitas astronomi amatir juga memegan peranan yang sangat penting dalam memperkenalkan astronomi di masyarakat.
Selain itu dukungan pemerintah pada perkembangan teknologi antariksa dan astronomi juga bisa dlihat dari kehadiran UU Antariksa yang diabadikan sebagai hari Antariksa pada tanggal 6 Agustus. Dukungan itulah yang memberi ruang bagi LAPAN yang bekerja sama dengan Observatorium Bosscha ITB dan Universitas Nusa Cendana untuk membangun Observatorium Nasional, Science Center dan Taman Langit Gelap di Nusa Tenggara Timur. Kehadiran Observatorium Nasional dan Science Center akan menjadi bagian dari pengembangan pendidikan dan riset di Indonesia Timur.
Saat ditanya tentang keterlibatannya dalam pembangunan Science Center dan Obnas di NTT serta tujuan pendirian Science Center, Nana menyatakan, “Adalah obligasi, sekaligus kesenangan, untuk observatorium manapun berbagi pada masyarakat. Observatorium astronomi modern letaknya semakin jauh dari pemukiman, sehingga semakin banyak layanan masyarakatnya disediakan di kota terdekat.
Demikian halnya dengan calon observatorium di Timor ini. Karena di NTT belum ada fasilitas informal untuk pembelajaran iptek, maka saya usul untuk memperluas layanan pendidikan di fasilitas ini untuk mencakup tidak hanya konten astronomi tetapi konten iptek yang lebih luas. Calon fasilitas pendidikan informal iptek ini yang untuk sementara kita sebut sebagai science center.
Persiapan untuk science center ini amat banyak. Selain persiapan lokasi, bangunan, tentu teramat penting adalah program, konten, dan SDM yang akan menjalankan program tersebut. Pelatihan calon SDM sudah dimulai sejak dua tahun lalu bekerjasama dengan Universitas Nusa Cendana. Semua dilakukan secara bertahap untuk menyediakan fasilitas belajar yang mengkomplemen pembelajaran di sekolah melalui eksposisi dan aktivitas belajar yang menyenangkan, penuh dengan ilustrasi, perluasan cakrawala, dan memberikan pengalaman pribadi dalam belajar iptek. Program pemberdayaan guru juga dirancang sebagai upaya konkrit kontribusi science center pada pendidikan.Tentu science center tidak dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di NTT; sinergi dengan pihak penyelenggara pendidikan dan para professional iptek yang relevan perlu disegerakan”.
Sebelum mengakhiri percakapan, kami menanyakan pertanyaan yang paling sering ditanya pembaca. Pesan untuk mereka yang selalu ingin tahu kalau kuliah di astronomi, nantinya akan berkarir di mana.
Kata Nana, “Konten kurikulum Prodi S1 Astronomi sarat dengan dasar matematika, fisika, kimia, komputasi yang cukup untuk lulusannya bergerak dengan fleksibel dalam memilih profesi. Konten berbagai cabang astrofisika memberikan wawasan berpikir yang lebih luas, melihat bagaimana fisika bekerja pada alam semesta dan objek-objek di dalamnya. Saya katakan pada murid-murid saya bahwa astrofisika adalah inverse problem at the limit. Hampir semua objek studi kita tidak dapat kita hampiri, sehingga kita diharuskan berpikir keras untuk dapat mempelajari mereka dari jauh. Ini membuat para astronom tidak hanya paham sains dengan baik, mereka juga sering menjadi inventor yang kreatif. Banyak invention yang awalnya dirancang untuk keperluan observasi astronomi, dimanfaatkan juga pada bidang-bidang lain. Jenjang S2 dan S3 memastikan pengetahuan dan skill yang diperoleh, sepanjang memang dipelajari secara serius semasa studi, dapat melabuhkan lulusannya pada profesi iptek relevan dengan kompetensi yang dapat diandalkan, termasuk dapat mengembangkan diri secara independen.”
Saat ditanya alasannya memilih astronomi, Nana mengatakan, “Alam semesta terlalu indah untuk diabaikan. Alam semesta menyimpan cerita tentang masa lalu & masa depan kita. Alam semesta menghidupkan jiwa & pikiran saya karena mengizinkan saya untuk bertanya tanpa batas dan membuat saya memahami indahnya fisika dan matematika. Alam semesta adalah suatu realita yang dapat saya persepsi, terhadap apa saya bercermin.”
Keren ya. Semoga makin banyak orang Indonesia yang mau jadi astronom. 🙂