Ada lautan di bawah permukaan hati Pluto yang terkenal itu!
Lautan.
Apakah berwujud cair ataukah lautan beku memang belum diketahui pasti. Akan tetapi kehadiran lautan di bawah permukaan Sputnik Planum atau Cekungan Sputnik merupakan alasan mengapa Pluto mengalami pergeseran pada sumbunya. Atau lebih tepatnya planet katai ini mengalami reorientasi atau lebih tepat lagi planet katai ini berguling hingga Sputnik Planum yang berukuran 1300 x 900 km tepat berada pada sumbu tarik menarik antara Pluto dan Charon.
Jadi apa maksud reorientasi Pluto ini?
Planet biasanya berputar pada porosnya dengan energi sehemat mungkin. Jadi kalau ada area yang punya kelebihan massa, maka planet akan mengubah orientasinya agar wilayah tersebut lebih dekat ke ekuator. Wilayah yang defisit massa atau massanya lebih kecil biasanya akan berada di kutub.
Contohnya gunung api Tharsis di Mars. Keberadaan Gunung tersebut menyebabkan Mars berputar dan mengatur ulang orientasinya sehingga Tharsis berada di wilayah Ekuator. Tapi, jika planet punya wilayah lebih ringan seperti kawah Aitken di Bulan, maka planet akan menempatkan kawah tersebut di wilayah kutub.
Jadi, ketika sebuah planet berputar, seluruh bagian permukaannya akan mengalami perubahan akibat tekanan gravitasi. Akibatnya, permukaan planet akan mengalami peregangan, keretakan yang menekan batuan dan es yang ada di planet tersebut. Kerasnya perubahan tersebut pada akhirnya menyisakan pola mirip bekas luka di permukaan Pluto. Pola inilah yang dilihat para peneliti dalam foto-foto yang dipotret New Horizons.
Patahan yang ada di permukaan Pluto memberi petunjuk lain. Jejak itu mengarah pada suatu masa dalam sejarah Pluto, planet katai itu memiliki lautan di bawah permukaannya. Sebagian besar patahan yang ada di permukaan Pluto disebabkan oleh pemuaian dan perluasan yang bisa jadi menandai masa perluasan global karena pada masa itu lautan di bawah permukaan membeku. Pola ini mirip dengan Bumi, saat air yang membeku di celah batuan memuai. Akibatnya terjadi pelebaran pada pola retakan.
Tampaknya itu yang terjadi dengan Sputnik Planitia di Tombaugh Regio, wilayah berbentuk hati yang dipotret New Horizons. Kesimpulan ini diperoleh dari bekas patahan yang terjadi saat planet katai itu berputar dan mengubah orientasinya.
Tapi, ada yang aneh. Sputnik Planitia bukan sekedar lubang ataupun cekungan biasa. Ada massa yang hilang di sana. Kalau ada massa hilang tentunya wilayah ini seharusnya berada di area kutub bukan ekuator. Hasil pertemuan New Horizons dan Pluto justru memperlihatkan keberadaan Sputnik Planum yang dekat dengan ekuator. Artinya, area tersebut seharusnya memiliki massa besar yang tersembunyi. Kalau tidak, bagaimana mungkin cekungan atau bisa juga kita sebut kawah, seukuran 1000 km ini bisa berada di ekuator.
Jawabannya ada di bawah permukaan Pluto.
Ada beberapa tim peneliti yang menyelidiki penyebab Sputnik Planitia bisa berada di wilayah Ekuator. Yang pertama adalah James Keane, mahasiswa program doktor dari Lunar and Planetary Laboratory, Universitas Arizona beserta pembimbingnya Isamu Matsuyama. Yang kedua adalah Francis Nimmo dari UC Santa Cruz dan Douglas Hamilton dari Universitas Maryland. Selain itu, ada juga tim lain yang dipimpin oleh Brandon C. Johnson dari Universitas Brown. Ketiga tim ini membangun model untuk menyelidiki massa tersembunyi di Sputnik Planum maupun untuk memahami bagaimana Pluto melakukan orientasi ulang pada sumbunya.
Mencari Massa Yang Hilang
Model komputasi yang dibangun untuk memahami pergeseran Pluto pada sumbunya dimulai dengan inti yang kaya silikat dengan selubung lautan dalam wujud cair. Pada lapisan paling atas ada kerak lemah yang juga kaya air. Percobaannya, jika Sputnik Planum terbentuk pada berbagai wilayah di permukaan Pluto dengan massa yang berbeda-beda, apa yang akan terjadi?
Ternyata, kemungkinan Sputnik Planum berada di ekuator secara kebetulan hanya 5%. Hasil simulasi yang dilakukan James Keane memperlihatkan kalau Sputnik Planum tidak bisa terbentuk di wilayah yang acak. Untuk melakukan pergeseran seluruh planet itu tidak mudah karena butuh energi yang besar. Dan itu juga berlaku untuk Pluto si planet kerdil. Karena itu, untuk bisa terjadi pergeseran hanya dalam satu kali perpindahan, Sputnik Planum harus terbentuk di area belahan utara Pluto yang posisinya berlawanan arah dengan Charon.
Pergeseran yang terjadi bukan ke kutub tapi ke ekuator. Berbagai dugaan dikemukakan. Salah satunya adalah keberadaan lapisan es nitrogen setebal 3 – 10 km, yang dikumpulkan semenjak Pluto terbentuk. Tapi, rupanya massa yang dihasilkan masih belum cukup untuk mengisi kehilangan massa di wilayah kawah Sputnik. Menurut Francis Nimmo, butuh es nitrogen setebal 40 km untuk memenuhi massa yang hilang. Itu jika kehilangan massa hanya diisi oleh es nitrogen.
Jika tidak, maka ada kemungkinan lain yang dikemukakan oleh Francis Nimmo dan tim.
Sputnik Planum diduga terbentuk dari tabrakan asteroid. Selain menyebabkan kehilangan massa di wilayah ini, tabrakan asteroid justru diduga membuat wilayah kawah yang terbentuk jadi lebih masif dari sebelumnya. Jadi, ketika tabrakan terjadi dan puluhan kilometer es terlontar dan membentuk kawah, pada saat yang sama tabrakan yang keras itu juga melemahkan kerak batuan yang ada di bawah permukaan. Akibatnya, lautan yang diduga berada di bawah permukaan justru naik mendekat ke permukaan. Selain itu, ada lapisan es nitrogen yang dikumpulkan di kawah hasil tabrakan tersebut.
Jika es nitrogen yang dikumpulkan bisa memiliki ketebalan 7 km, maka dengan keberadaan lautan di bawah permukaan, wilayah ini sudah cukup masif untuk bisa berada di dekat ekuator. Perpaduan lautan dan lapisan es nitrogen sudah cukup untuk memberi anomali positif pada gravitasi sehingga Pluto melakukan orientasi ulang dan menempatkan kawah Sputnik di dekat wilayah ekuator.
Pemodelan lain juga dibuat oleh Brandon C. Johnson dan tim. Kali ini mereka melakukan pemodelan termal Pluto daru bukti tektonik di permukaan. Hasilnya, ada lautan di Pluto meski belum diketahui ukuran dan parameter lainnya.
Untuk Sputnik Planum, Johnson dan tim memodelkan tabrakan asteroid berukuran 200 km yang bisa menghasilkan kawah seukuran 900 km. Ketika asteroid bertabrakan dengan Pluto, asteroid ini kemudian terlempar ke luar sedangkan, materi es dari Pluto yang terlepas hanya memantul dan pada akhirnya kembali ke permukaan planet katai tersebut, mengisi area kawah yang terbentuk. Ketika tabrakan, materi di bagian dalam Pluto atau lebih tepatnya yang ada di bawah permukaan, akan terdorong ke arah permukaan dan mengumpul di area tabrakan. Jika materi bergerak ini cukup padat, maka massanya bisa mengisi massa yang hilang di lokasi terjadinya tabrakan.
Setelah tabrakan, kawah Sputnik aka Sputnik Planum ini memang diisi oleh es nitrogen. Tapi, tidak cukup. Butuh lautan yang kedalamannya sekitar 100 km untuk bisa menggeser wilayah Sputnik Planum ke area ekuator.
Apa yang kita miliki saat ini memang merupakan hasil simulasi yang dikombinasikan dengan data dari New Horizons. Tapi, jika lautan di bawah permukaan Pluto memang ada, bisa jadi wujudnya memang cair, tapi diisi oleh air es yang membeku sebagian. Jadi kita tidak akan menemukan air dalam wujud cair di lautan ini. Selain itu, air yang ada di bawah permukaan Pluto juga bukan air murni melainkan air yang mengandung amonia atau bahkan etanol. Akan tetapi, air di planet katai ini harus berwujud cair agar dapat menghasilkan Sputnik Planum yang berada di posisinya saat ini di dekat wilayah ekuator Pluto.
Tulis Komentar