Belakangan ini dunia astronomi sedang dihebohkan oleh kedatangan sebuah objek eksotis bernama Komet ISON. Benda langit bernama lengkap C/2012 S1 ISON ini menjadi primadona para penikmat langit karena selama hidupnya, saat inilah untuk pertama kalinya komet tersebut menghampiri matahari.
Karena baru akan pertama kali ‘berselancar’ di sekitar matahari, Komet ini diprediksi akan terlihat sangat terang, dengan mempertimbangkan materi es kotornya yang masih melimpah dan fakta bahwa titik perihelionnya sangat dekat sehingga digolongkan sebagai “Komet Penyerempet Matahari”. Komet ini bahkan sempat diberi gelar “Komet Abad Ini” dan digadang-gadang akan menjadi tontonan langit paling spektakuler.
Hal ini terbukti dari ratusan hasil foto spektakuler yang berhasil diambil oleh ratusan astrofotografer di seluruh dunia. Mulai ketika komet memiliki ekor pendek, kemudian saat kepala komet berubah warna menjadi hijau, hingga saat komet akhirnya merekah dan memiliki lonjakan kecerlangan dengan untaian ekor komet yang panjang. Seluruh dunia dibuat tegang ketika menantikan saat dimana komet memiliki nilai magnitudo yang menembus batas kecerlangan yang dimiliki oleh mata biasa.
Sayangnya, Komet adalah benda langit yang sangat sulit untuk diprediksi. Faktanya, hingga 3 hari sebelum perihelionnya, sang komet baru berpijar dengan nyala magnitudo sekitar plus 2,51, jauh dari prediksi awal yang bahkan sempat menyatakan komet akan seterang bulan purnama. Secara teori, nilai magnitudo sebesar itu sudah dapat mudah terlihat oleh mata telanjang tanpa alat bantu, namun secara praktek masih cukup sulit dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi langit pengamat.
Info yang beredar boleh-boleh saja mengatakan bahwa komet saat ini sudah dapat terlihat oleh mata telanjang tanpa alat bantu. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa itu dapat dilakukan dengan kondisi langit yang sempurna, tanpa awan setipis apapun dan tanpa adanya polusi udara dan cahaya. Mayoritas pengguna internet di Indonesia saya yakin berdomisili tidak jauh-jauh dari sebuah kota. Hal ini membuat kondisi langitnya tidak sempurna (kalau tidak boleh dibilang tidak ideal) sehingga batasan magnitudo yang dapat dilihat oleh mata telanjang juga bisa jadi menurun. Tidak heran jika banyak pengguna media sosial yang mengeluh dan kecewa dengan sulitnya mengamati komet ISON belakangan ini, meski dengan magnitudo yang jauh dibawah ambang batas mata telanjang.
Dalam mengamati sebuah komet, setidaknya ada 3 hal yang harus diperhatikan. Pertama, nilai kecerlangan atau magnitudo komet. Kedua, posisi di langit dan jaraknya terhadap matahari. Dan yang terakhir adalah kondisi langit pengamatan. Ketiga hal ini akan menentukan bagaimana cara kita melihat komet tersebut.
Saat tulisan ini dibuat, komet ISON berjarak sekitar 33 juta km dari matahari dan membuat komet tersebut berpendar hingga magnitudo 2,51. Dengan nilai kecerlangan seperti itu, seharusnya komet dapat dengan mudah terlihat dengan mata tanpa alat bantu. Sayangnya, dilihat dari sudut pandang posisi bumi, sang komet berada dengan jarak sekitar 11 derajat arah barat matahari, sehingga hanya akan ada jendela waktu 50 menit saja untuk mengamati komet ini sebelum matahari terbit di ufuk timur. Dengan adanya efek refraksi atmosfer yang membuat adanya cahaya fajar, membuat komet ini menjadi semakin sulit untuk diamati, meski dengan magnitudo yang cukup terang.
Hal ini akan dipersulit dengan kondisi langit pengamatan. Horison timur anda harus benar-benar terbuka tanpa penghalang dan juga bersih tanpa adanya polusi udara dan cahaya. Jika anda tidak mendapatkannya, anda harus menunggu setidaknya setengah jam hingga sang komet naik dengan ketinggian sekitar 8 derajat, membuat jendela waktu pengamatan anda semakin sempit.
Di luar dari itu semua, waktu adalah segala-galanya. Apa yang dijabarkan di artikel ini adalah informasi untuk pengamatan hari selasa pagi tanggal 26 November. Dengan kecepatan komet mendekati matahari mencapai 92.9 km per detik, terlihat dari bumi, komet akan bergerak perlahan di langit dengan kecepatan 2,5 derajat tiap harinya. Pergeseran tersebut bergerak ke arah matahari, membuat jendela waktu pengamatan semakin sempit. Meski magnitudo sang komet secara bertahap bertambah 0.3 per harinya (ada kemungkinan lebih), hal ini tetap membuat kita kesulitan untuk mengamati komet ISON dengan mempertimbangkan nilai kontras komet yang bersaing ketat dengan nilai kontras cahaya fajar.
Pada saat tulisan ini dibuat, komet sedang berada di rasi Libra sekitar 8 derajat arah tenggara bintang Zubenelgenubi, bintang terterang di rasi libra. Komet akan terbit mulai pukul 4.38 di titik 21 derajat dari titik timur ke arah selatan. Waktu terbit komet tersebut akan berbeda 13 menit tiap harinya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas memberikan kita informasi bahwa komet memang sudah dapat terlihat cukup dengan mata biasa tanpa alat bantu, namun akan jauh lebih baik jika kita menggunakan alat bantu seperti binokuler atau teleskop sederhana, mempertimbangkan bahwa komet adalah benda langit yang tidak tegas, apalagi jika kita ingin melihat ekornya yang panjang. Namun, yang terpenting dari itu semua, berpaculah dengan waktu. Lihatlah komet sebelum dia mencapai titik perihelion, karena tidak ada yang pernah tahu, apa yang akan terjadi dengan sang komet saat dia berada di titik paling kuat dari gravitasi matahari. Selamat berburu!
Tulis Komentar