Astronomi di Indonesia bukan baru dimulai awal tahun 1900-an ketika Observatorium Boscha didirikan. Satu setengah abad sebelumnya di tahun 1761 dan 1769, astronomi di Indonesia dimulai dan ditandai dengan penggunaan instrumentasi untuk pengamatan. Pada saat itu, Indonesia sedang diduduki oleh Dutch United East India Company, atau yang kita kenal sebagai VOC, Verenigde Oostindische Compagnie yang mendapat dukungan dari pemerintah Belanda. Menariknya, VOC ini sebenarnya hanya mencari keuntungan dari negara koloni dan bukannya untuk menguasai negara itu dan rakyatnya.
Meskipun demikian, perhatian diberikan untuk pendidikan penduduk lokal terutama dalam hal keyakinan Kristen dan moralitas. Sains tidak memainkan peran penting dalam kebijakan VOC. Sains bisa berkembang karena usaha individu yang melakukan penelitian mandiri terkait flora, fauna dan geologi di timur jauh. VOC baru akan memesan instrumen atau buku ilmiah ketika ada kepentingan komersil di dalamnya.
Hal ini kemudian jadi pertanyaan di tahun 1761 saat para peneliti mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan pendanaan perjalanan ke timur jauh atau tepatnya ke Hindia Belanda untuk melakukan pengamatan transit venus.
Pengamatan tahun 1761
Di akhir abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstanta fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus. Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769. Dalam pemetaan yang diajukan dan dari beberapa tempat yang jadi pilihan, kepulauan Malaya adalah tempat terbaik untuk melihat transit tersebut dalam durasi yang panjang dimulai dari ingress sampai egress. Dan Halley juga merekomendasikan Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa sebagai lokasi terbaik untuk melihat transit Venus tersebut. Dan mulailah para astronom mengarahkan perhatiannya untuk pengamatan Transit Venus di tahun 1761.
Pada tahun 1760, astronom Perancis, Joseph Nicholas Delisle menulis surat pada astronom Belanda Dirk Klinkenberg untuk meminta bantuan pemerintah Belanda dalam hal transportasi dan penempatan untuk pengamatan mengingat saat itu Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan VOC. Pada saat yang sama Inggris juga merencanakan ekspedisi untuk melakukan pengamatan Venus di Sumatera dengan mengirimkan astronom Charles Mason dan Jeremiah Dixon.
Pada akhirnya Delisle juga tidak ke Batavia dan Belanda memutuskan agar pengamatan tersebut cukup dilakukan oleh orang yang sudah ada di Batavia dan memiliki keahlian dalam hal matematika dan mampu menggunakan instrumen kelautan. Harapannya pengamatan tersebut tidak hanya berguna bagi astronomi tapi untuk pengembangan pengetahuan geografi. Pada saat itu Belanda mengirimkan surat ke Gubernur-Jendral Jacob Mossel di Batavia untuk mencari orang yang dapat melakukan pengamatan Transit Venus disertai tata cara pengamatan dan perhitungan yang dibuat oleh Delisle. Surat yang sama juga dikirim ke koloni Belanda lainnya di Ceylon dan Cape. Dan Gubernur Jacob Mossel kemudian memerintahkan dilaksanakannya pengamatan transit venus di tahun 1761. Tapi siapa yang bisa melakukan pengamatan?
Pada saat perintah untuk pengamatan dibuat, Gubernur Jacob Mossel agak tidak beruntung karena orang yang bisa ia percaya untuk melakukan pengamatan yakni Letnan Pieter Hermanus Ohdem sudah pulang ke Belanda di musim panas tahun 1760. Mengapa Ohdem jadi orang yang layak dipilih? Ini tak lain karena ia adalah seorang ahli matematika dan navigasi di Akademi Kelautan. Sebelumnya, di tahun 1759, Ohdem melakukan pengamatan komet Halley dan melaporkannya di Verhandelingen (transactions) of the Hollandsche Maat- schappij der Weetenschappen (Asosiasi Ilmiah Belanda) di Haarlem. Ia melakukan pengamatan menggunakan instrumen alt-azimuth (tampaknya sebuah teodolit) dan dilengkapi teleskop kecil.
Karena Ohdem sudah kembali ke Belanda maka calon lainnya untuk pengamatan Transit Venus adalah Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia. Bersama Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) sebagai asisten, keduanya ditugaskan untuk melakukan pengamatan tersebut. Mereka memilih melakukan pengamatan dari pantai di tanah milik Pendeta Johan Maurits Mohr (18 August 1716, Eppingen – 25 October 1775 ). Mohr bukan pendeta biasa. Ia juga seorang penerjemah yang diminta untuk menterjemahkan peta pengamatan Transit Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Perancis.
Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus menggunakan 2 teleskop reflektor Gregorian dengan panjang fokus 18 dan 27 inchi, oktan buatan London instrument dan beberapa jam saku. Pengamatan ini sukses karena mereka berhasil melihat transit venus secara kesleuruhan (dari awal sampai akhir) tanpa ada gangguan dari awan. Mohr juga melakukan pengukuran kemajuan Venus saat melintas piringan Matahari selama transit. Meskipun Gerrit de Haan dan Pieter Jan Soale yang melakukan observasi, namun Johan Mohr-lah yang kemudian menyiapkan laporan detil yang kemudian diterbitkan pada tahun 1763.
Transit Venus 1769 & Observatorium Gang Torong
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang “astronom”, dan di tahun 1763 Mohr menjadi anggota Hollandsche Maatschappij der Weetenschappen. Setelah kematian mertuanya yang mewariskan kekayaan pada sang istri di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) dengan instrumen terbaik yang ada pada masanya. Instrumen di observatorium ini dibeli dari Belanda oleh Profesor Lulofs. dan mulai melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi. Sampai dengan tahun 1920-an, jalan tempat Observatorium pribadi Mohr dibangun masih ada dan dikenal dengan nama Gang Torong yang berasal dari kata toren.
Perjalanan Mohr di tahun 1761 yang hanya sebagai pengamat yang membantu pengamatan Gerrit de Haan berubah menjadi si pengamat Transit Venus itu sendiri sekaligus pemilik sebuah observatorium pribadi yang dilengkapi instrumen pengamatan terbaik yang ada di Eropa pada masa itu. . Semua terjadi hanya dalam waktu 8 tahun. Dari tahun 1767, Mohr menggunakan instrumennya untuk menentukan lintang dan bujur observatoriumnya dengan melakukan pengamatan satelit-satelit Jupiter. Semua dilakukan untuk menentukan paralaks Matahari saat pengamatan transit Venus di tahun 1769.
Tanggal 3 Juni 1769 Mohr melakukan pengamatan transit Venus dari Observatorium pribadinya. Sayangnya, tidak seperti di tahun 1761, Transit Venus tahun 1769 tersebut langit diliputi awan dan Matahari sama sekali tak terlihat. Transit Venus saat itu sudah dimulai 4 jam sebelum Matahari terbit. Pengamatan ini tidak begitu berhasil karena pada 2 jam pertama Matahari tertutup awan. Baru pada jam 8 pagi, awan berangsur-angsur menghilang dan piringan Matahari tampak cerlang di langit. Meskipun demikian, seperti hasil perhitungan Venus sudah berada dalam piringan matahari. Johan Mohr yang ditemani rekan tanpa nama dalam pengamatan Transit Venus pada akhirnya berhasil melihat proses keluarnya Venus dari piringan Matahari dengan menggunakan teleskop Gregorian buatan Dollond.
Setelah pengamatan yang ada sisi gagalnya karena faktor awan di bulan Juni 1769, Mohr kemudian menantikan terjadinya transit planet Merkurius pada tanggal 10 November 1769 sebelum ia mengirimkan laporannya dengan kapal VOC.
Observatorium Mohr juga pernah dikunjungi Kapten James Cook dan Louis Antoine de Bougainville. Kunjungan James Cook terjadi pada tahun 1770 terjadi saat kapal Endeavour miliknya membutuhkan perbaikan dan transit di Batavia. Kesempatan kehadiran James Cook dimanfaatkan oleh Mohr dengan menyerahkan catatan pengamatan transit Venus dan Merkurius di tahun 1769 versi bahasa latin untuk dibawa ke Eropa. Catatan ini kemudian dikirim James Cook ke Royal Societies dan dipublikasikan dalam tulisan Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769 di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.
Dan di kisaran tahun 1770-an, kegiatan Mohr memberi inspirasi pada orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda untuk melakukan gerakan ilmiah dan membentuk “Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen” (Batavian Society of Arts and Sciences).
Akhir Kisah Observatorium Mohr
Oktober 1775, Mohr meninggal karena masalah kesehatan dan memoar ilmiah terakhirnya tercatat di tahun 1773. Catatannya itu memberi gambaran ledakan gunung api Papandayan. Menurut laporannya, pada tanggal 11-12 Agustus 1172 Papandayan memuntahkan kemarahannya dan menelan area seluas 240 km persegi dan menghancurkan 40 desa dengan korban jiwa hampir mencapai 3000 jiwa.
Di tahun 1764, Mohr pernah mengirimkan pemrintaan ke Hollandsche Maatschappij di Haarlem untuk mengirimkan lebih banyak lagi anggota ke Hindia Belanda untuk mempromosikan astronomi dan sains secara umum. Karena meski sudah ada yang bekerja di berbagai bidang sains saat itu, maka semakin banyak anggota yang melakukan penelitian di Indonesia akan memberikan langkah maju yang sangat besar bagi asosiasi.
Tahun 1780, lima tahun setelah Mohr meninggal Observatorium pribadinya itu mengalami kerusakan hebat akibat gempa dan tinggal puing-puing. Setelah kematian istri Mohr, Anna Elisabeth van ’t Hoff, Mei 1782 bangunan observatorium tersebut kemudian digunakan sebagai kantor dan barak tentara sampai dengan tahun 1809 sebelum kemudian dihancurkan. Di tahun 1844, bangunan itu hanya menyisakan batu fondasinya saja. Saat ini, lokasi dimana Observatorium Mohr pernah berdiri diduga menjadi lokasi bagi SD Katolik Ricci.
Nasib instrumen yang ada di observatorium itu juga tak berbeda jauh. Sebelum meninggal instrumen milik Mohr dijual oleh Anna Elisabeth van ‘t Hoff di tahun 1776 pada Johannes Hooijman, penggagas Bataviaasch Genootschap, yang kemudian mengirimkannya ke Belanda untuk diperbaiki. Perbaikan diperlukan karena selama di Batavia instrumen tersebut mengalami kerusakan akibat iklim yang panas dan lembab. Sayangnya di Belanda instrumen tersebut terlupakan selama bertahun-tahun dalam loteng sebuah gudang di Amsterdam. Saat ini diketahui sebagian instrumen itu tersebar sebagai koleksi di beberapa museum Belanda. Dan nama Mohr diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.
Observatorium Mohr mungkin tinggal nama yang bahkan hampir tidak pernah didengar oleh masyarakat masa kini. Tapi keberadaannya sebagai observatorium pertama di Indonesia memberikan torehan cerita dan sentuhan ilmiah yang tidak akan pernah lekang dimakan waktu. Observatorium Mohr memang sudah tidak tersisa tapi catatan pengamatan dari tanah Batavia, Hindia Belanda, masih tetap ada sekaligus menorehkan titik awal keberadaan astronomi di Indonesia.
Versi pendeknya dimuat di Majalah Astronomi Volume 3 No. 2
tulisan sejarah yg menarik. sy sbg mahasiswa sejarah yg menyukai astronomi jg tertarik utk menuliskan sejarah perkembangan astronomi di indnesia pada masa kolonial, khususnya ttg observatorium mohr dan nisv, sbg proyek penelitian skripsi.
sy ingin bertanya, sumber2 mana saja yg anda gunakan di dalam artikel penulisan ini? sebab tidak ada daftar pustaka atau sumber rujukan di dalam artikel anda (bagi sejarawan, data dan sumber adalah hal yang penting di dalam sistematika penulisan/ historiografi). mungkin sumber2 tsb bs sy pelajari guna penelitian sejarah lebih lanjut. terima kasih dan sukses selalu 🙂