fbpx
langitselatan
Beranda » Melongok Vulkanisme di Bagian Lain Tata Surya

Melongok Vulkanisme di Bagian Lain Tata Surya

Indonesia baru diharubirukan letusan Gunung Merapi yang mencapai puncaknya pada 5 November 2010 lalu saat gas dan debu vulkanik Merapi disemburkan hingga ketinggian 8 km. Hembusan angin ke barat menyebarkan debu vulkanik ini sehingga sempat menggelapkan daerah–daerah di sebelah barat gunung seperti Kabupaten Magelang, Purworejo dan Kebumen.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai lembaga resmi pemantau seluruh gunung berapi di Indonesia menempatkan letusan ini sebagai letusan berskala 4 VEI (Volcanic Explosivity Index). Ini mengingat volume ekstrusi magma Merapi telah melebihi 100 juta meter kubik dan melepaskan energi minimal 12 megaton TNT atau setara dengan meledaknya 600 butir bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945 secara simultan. Dengan demikian letusan Merapi kali ini adalah yang terbesar bagi Indonesia sepanjang tiga dekade terakhir pasca letusan Galunggung 1982–1983. Statistik memperlihatkan secara global letusan berskala 4 VEI rata–rata terjadi sekali dalam satu dekade. Namun di tahun 2010 ini letusan Merapi ‘ditemani’ gunung Eyjafjallajokul (Islandia) yang telah bergejolak sejak Maret lalu.

Peristiwa letusan gunung berapi adalah ekspresi paling nyata aktivitas vulkanisme. Aktivitas ini diawali dari terbentuknya fluida kental panas bertekanan yang disebut magma jauh di kedalaman perut Bumi, sebagai konsekuensi subduksi antar lempeng tektonik yang diikuti pelelehan lempeng di sekitar zona Benioff–Wadati pada kedalaman 100 km. Lempeng–lempeng tektonik tersebut bergerak oleh dorongan arus konveksi dalam lapisan selubung (asthenosfer) yang ditenagai panas hasil peluruhan unsur–unsur radioaktif berat penyusun Bumi. Dalam beberapa kasus arus konveksi pun bisa langsung menyeruak menembus kerak Bumi menjadi magma, yang dikenal sebagai vulkanisme titik–panas (hotspot) seperti bisa dijumpai di Hawaii, Islandia, Yellowstone dan Hijaz (Saudi Arabia). Magma lantas mengalir ke atas menempati reservoir di dalam kerak Bumi. Proses geologis setempat, umumnya berupa pematahan (faulting) menghasilkan zona lemah yang memungkinkan magma menerobos keluar sebagai lava yang selanjutnya membentuk kerucut gunung berapi. Disebut gunung berapi, sebab suhu lava yang keluar darinya jauh lebih tinggi dibanding suhu lingkungan sekitarnya sehingga sering terlihat sebagai nyala api.

Di tata surya, vulkanisme ternyata tidak hanya ada di Bumi. Panet terestrial seperti Venus dan Mars pun memperlihatkan aktivitas vulkanisme di permukaannya. Demikian pula dengan satelit seperti Bulan, Io, Enceladus, Titan, Europa, Dione dan Triton. Disini hanya diulas planet/satelit dengan vulkanisme masih aktif yang sudah terbukti, yakni Venus, Io, Enceladus dan Triton.

Venus

Citra perspektif gunung Maat Mons di Venus setinggi 8 km seperti diperlihatkan Magellan. Gunung berapi ini diindikasikan masih aktif. Kredit foto : NASA

Vulkanisme berperan sangat penting dalam membentuk wajah Venus dimana 80 % permukaan planet ini merupakan bekuan lava. 90 % lava Venus adalah lava basalt, yang diproduksi dari magma basa (kaya kalium dan natrium) dan merupakan ciri khas vulkanisme titik–panas. Vulkanisme di Venus terjadi sejak 500 juta tahun lalu dan telah membentuk lebih dari 1.600 gunung berapi yang merupakan jumlah terbanyak di tata surya. Gunung berapi itu diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok: kelompok gunung perisai (shield volcano), lelehan lava berskala besar dan gunung tak umum seperti kubah serabi (pancake dome), kubah dengan pinggir berlekuk dan novae.

Gunung perisai merupakan konsekuensi tiadanya lempeng tektonik dan air laut di Venus, sehingga hanya ada vulkanisme titik–panas yang memproduksi magma basalt yang cair–encer bertekanan rendah. Di Bumi gunung perisai bisa dijumpai di Kepulauan Hawaii, dengan lebar beberapa puluh km dan tinggi bisa mencapai 10 km dari dasarnya (seperti gunung Mauna Loa). Namun di Venus bentuk gunung perisainya sangat berbeda, lebarnya bisa ratusan km namun tingginya rata–rata hanya 1,5 km sehingga gunung itu relatif datar.

Gunung kubah serabi diidentifikasi sebagai hasil ekstrusi magma non basalt kaya silikat (biasa disebut magma asam) yang relatif kental. Gunung ini lebih kecil dibanding gunung perisai, dengan lebar hanya 15 km, tinggi kurang dari 1 km dan hanya terbentuk di bentang lahan sangat terdeformasi (baik terlipatkan maupun terpatahkan berulang kali). Gunung kubah dengan pinggir berlekuk diidentifikasi sebagai gunung berapi berusia tua sehingga material tubuhnya sudah rapuh oleh pelapukan dalam atmosfer Venus. Kerapuhan ini disusul longsoran (mass wasting) yang bergerak ke kaki gunung. Proses yang mirip terjadi di Bumi dan membentuk kipas alluvial (alluvial fan). Dan gunung novae dihasilkan dari ekstrusi magma berskala besar sehingga terbentuk depresi (cekungan) besar akibat runtuhnya dapur magma, yang bisa disetarakan dengan kaldera di Bumi.

Baca juga:  Memancing Galaksi

Beberapa gunung berapi di Venus diindikasikan masih aktif, meski sejauh ini misi–misi antariksa yang dikirimkan ke sana belum berhasil mengidentifikasi letusannya. Magellan misalnya, mendeteksi adanya endapan debu vulkanik resen di dekat puncak dan lereng utara Maat Mons, gunung berapi tertinggi di Venus. Namun tidak jelas kapan endapan ini terbentuk. Bulan April 2010, Smrekar dkk mengumumkan eksistensi tiga buah gunung berapi aktif lainnya.

Io

Aktivitas vulkanisme di Io, salah satu satelit Galilean yang dipunyai Jupiter, terungkap sejak 8 Maret 1979 tatkala wahana antariksa Voyager 1 mendeteksi awan aneh berbentuk cendawan di atas permukaan Io. Analisis memperlihatkan awan aneh tersebut adalah semburan material hingga setinggi 300 km. Penemuan ini sekaligus mengonfirmasi kecurigaan terhadap aktivitas Io yang sebelumnya telah terdeteksi dalam observasi berbasis spektrum inframerah. Berbeda dengan Bumi dan Venus, aktivitas vulkanisme di Io ditenagai pemanasan pasang–surut gravitasi planet Jupiter. Ini disebabkan oleh konfigurasi orbit satelit–satelit Galilean sedemikian rupa sehingga Io, Europa dan Ganymede berada dalam kondisi resonansi orbital. Karena paling dekat dengan Jupiter, Io menerima efek terbesar sehingga terjadilah pemanasan yang kuantitasnya tiga kali lebih besar dibanding pemanasan akibat peluruhan unsur–unsur radioaktif berat penyusunnya. Jika Bumi memiliki mekanisme penyaluran energi lewat konduksi kerak dan hanya sebagian kecil yang muncul sebagai vulkanisme maupun tektonisme, sebaliknya Io tidak demikian sehingga seluruh energi hasil pemanasan pasang–surut disalurkan melalui aktivitas vulkanisme. Ini menyebabkan Io jauh lebih aktif dibanding Bumi dan bahkan adalah anggota tata surya teraktif secara vulkanik.

Vulkanisme Io merupakan vulkanisme titik–panas yang dihasilkan dari ekstrusi magma basaltik yang bersifat basa maupun ultrabasa (kaya magnesium). Di dalam magma tersebut juga banyak dijumpai belerang dan ortopiroksen (mineral silikat yang sangat kaya magnesium). Konsekuensinya di Io dijumpai vulkanisme yang menghasilkan letusan leleran (efusif) hingga ledakan (eksplosif) seperti halnya di Bumi. Hanya saja suhu magma Io lebih tinggi. Pengukuran wahana antariksa Galileo lewat instrumen NIMS (Near–Infrared Mapping Spectrometer) dalam letusan Pilan Patera 1997 memperlihatkan suhu magma mencapai 1.300° C, sementara suhu magma di Bumi berada dalam rentang 600°–1.000° C.

Bagaimana letusan eksplosif mengubah wajah Io seperti diperlihatkan Galileo. Kiri : wajah gunung berapi Pilan Patera sebelum meletus besar. Kanan : wajah gunung berapi Pilan Patera setelah meletus besar di tahun 1997. Perhatikan adanya lingkaran hitam di atas pusat gambar. Lingkaran tersebut merupakan endapan awan panas dan belerang hasil letusan pada area bergaris tengah 400 km Kredit foto : NASA

Gunung berapi di Io pada dasarnya merupakan gunung perisai sepeti halnya di Venus. Namun ada tiga jenis letusan yang berbeda: letusan intra–patera, letusan efusif dan letusan eksplosif. Letusan intra–patera adalah letusan yang hanya terjadi di dalam sebuah patera, yakni depresi (cekungan) besar mirip kaldera di Bumi. Letusan intra–patera bisa berbentuk aliran lava seperti dalam letusan Gish Bar Patera 2001, maupun dalam bentuk danau lava permanen seperti Pele dan Loki Patera. Letusan efusif merupakan letusan yang berlangsung dalam waktu cukup lama, hingga beberapa tahun atau beberapa dekade. Leleran lava sepanjang lebih dari 300 km terdeteksi di gunung Amirani dan Masubi.

Sementara di gunung Prometheus, berlangsung letusan efusif sejak 4 dekade silam dengan kecepatan penutupan area 35–60 meter persegi perdetik, jauh lebih tinggi dibanding yang dijumpai di Bumi pada gunung Kilauea (Hawaii) yang 0,6 meter persegi perdetik. Dan letusan eksplosif adalah letusan Io yang paling dahsyat, melepaskan energi paling besar namun berlangsung lebih singkat yakni dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Letusan Pilan Patera 1997 misalnya, menyemburkan 31 km kubik magma (172 % volume magma letusan Krakatau 1883) selama 2,5 bulan disetai hembusan aliran piroklastika (awan panas) dan leleran lava yang menutupi area seluas 1.000–3.000 meter persegi perdetik dengan ketebalan 10 meter. Letusan eksplosif Io menghasilkan perubahan permukaan yang dramatis, namun hanya berumur pendek. Letusan Pilan Patera 1997 menghasilkan endapan awan panas yang gelap bersama endapan belerang yang cerah pada area selebar 400 km yang bisa diidentifikasi wahana antariksa Galileo. Namun beberapa tahun kemudian Galileo tak lagi mendeteksi sisa–sisa letusan Pilan Patera.

Enceladus

Semburan geyser sebagai pertanda aktivitas vulkanisme dingin di permukaan Enceladus sebagaimana diamati Cassini. Dari kiri ke kanan, masing–masing semburan tersebut berasal dari kawah damascus, Baghdad, Cairo dan Alexandria. Kredit foto : NASA

Salah satu satelit Saturnus ini telah dicurigai memiliki aktivitas vulkanisme sejak Voyager 1 dan 2 pada awal dekade 1980–an mengungkapkan bahwa permukaannya tergolong muda sehingga tidak banyak mengandung kawah tumbukan. Kecurigaan bertambah besar karena satelit ini memiliki albedo sangat tinggi (yakni 0,99 atau memantulkan hampir semua sinar Matahari yang jatuh ke permukaannya) dan terletak tepat di pusat cincin E, yakni cincin terluar, terlebar (lebar 1 juta km) dan sekaligus paling takstabil (rentang usianya hanya 10 ribu–1 juta tahun jika tanpa suplai material baru) milik Saturnus. Astronom berspekulasi Enceladus merupakan sumber materi yang menyuplai cincin E secara konstan.

Baca juga:  Komet 103P/Hartley 2 Tampak di Langit Malam

Aktivitas vulkanisme Enceladus terungkap pada tahun 2005 tatkala wahana antariksa Cassini melintasi satelit ini dan berhasil mengabadikan adanya semburan ke angkasa lewat instrumen ISS (Imaging Science Subsystem). Material semburan didominasi uap air dengan kandungan senyawa nitrogen, amonia, metana, etana, propana, asetilena, kabondioksida dan silikat. Terminologi gunung berapi tidak tepat bila diterapkan di Enceladus karena vulkanisme di sini tidak melibatkan ekstrusi magma bersuhu tinggi, melainkan hanya ekstrusi air. Semburan material dari permukaan Enceladus tidak lewat bentang lahan berbentuk kubah tertentu, melainkan melalui kawah di permukaan datar sehingga mirip dengan aktivitas geyser di Bumi. Meski demikian ini mengesankan mengingat suhu air tersebut (yakni 0° C) jauh di atas suhu rata–rata permukaan Enceladus (yakni –196° C). Dengan situasi lingkungan demikian dingin dan hasil ekstrusi pun tergolong dingin maka vulkanisme di Enceladus dikategorikan ke dalam vulkanisme dingin (cryovolcanism). Beberapa kawah sumber geyser yang teridentifikasi misalnya Damascus, Baghdad, Cairo dan Alexandria.

Sumber panas bagi vulkanisme dingin Enceladus mirip dengan Io, yakni berasal dari pemanasan pasang–surut gravitasi Saturnus akibat resonansi orbitalnya sebesar 2 banding 1 dengan Dione, satelit Saturnus yang lain. Pemanasan pasang–surut ini tidak mencapai tingkat seintensif Io dan karena Enceladus tersusun oleh materi–materi ringan maka ekstrusi yang dihasilkannya pun berupa materi–materi ringan. Analisis instrumen INMS (Ion and Neutral Mass Spectrometer) Cassini terhadap materi hasil semburan di Enceladus memperlihatkan komposisi yang sama dengan komposisi penyusun atmosfer komet. Kayanya material organik dalam semburan memicu spekulasi adanya kehidupan ekstrateretstrial sederhana di bawah permukaan Enceladus.

Triton

Jejak–jejak semburan geyser di permukaan Triton yang nampak sebagai lintasan–lintasan lurus kehitaman, sebagaimana diabadikan Voyager 2. Kredit foto : NASA

Salah satu satelit Neptunus ini tergolong aneh sebab bila dibandingkan dengan satelit–satelit besar lainnya di tata surya, hanya Triton–lah satu–satunya satelit besar yang orbitnya berkebalikan (retrograde). Pantauan wahana antariksa Voyager 2 yang melintasi Triton tahun 1989 memperlihatkan keanehan yang lain: permukaan satelit ini cenderung mulus di sejumlah bagian sehingga tidak banyak mengandung kawah tumbukan. Eksplorasi Voyager 2 lebih lanjut memperlihatkan secara gamblang bahwa Triton–pun memiliki aktivitas vulkanisme dingin seperti halnya Enceladus.

Vulkanisme dingin di Triton menampakkan dirinya sebagai semburan mirip geyser yang menyemprotkan gas nitrogen dan debu hingga ketinggian 8 km. Terdeteksi ada sedikitnya dua ‘kawah’ sumber geyser, yakni Hili dan Mahilani. Seluruh geyser yang teramati Voyager 2 berada di area di antara garis lintang 50° LS dan 57° LS berdekatan dengan titik subsolar Triton. Ini mengindikasikan bahwa sumber panas yang menggerakkan aktivitas vulkanisme dingin di Triton berasal dari luar, yakni dari pemanasan Matahari. Inilah yang membedakan vulkanisme Triton dengan vulkanisme Bumi, Venus, Io dan Enceladus yang semuanya ditenagai oleh sumber panas internal.

Keunikan vulkanisme Triton memaksa astronom berspekulasi bahwa permukaan Triton merupakan lapisan nitrogen padat yang semi–transparan. Sehingga pada area di sekitar titik subsolar, sebagian sinar Matahari mampu menembus permukaan Triton untuk kemudian memanasi dan menguapkan nitrogen bawah permukaan secara perlahan sampai suhunya 4° lebih tinggi dibanding awalnya. Sehingga terbentuk gas yang akumulasi tekanannya kian meningkat.

Pada batas tekanan tertentu, gas nitrogen berkemampuan menembus ke permukaan membentuk ‘kawah’ yang selanjutnya menyemburkan material mirip geyser. Hipotesis ini memungkinkan sebab suhu permukaan Triton –236° C sehingga kenaikan suhu 4° saja bisa memicu semburan geyser.

Tiap semburan geyser di Triton bisa berlangsung selama setahun sembari menyemburkan setidaknya 100 juta meter kubik material atau setara dengan volume magma letusan Merapi 2010 di Bumi. Material semburan sebanyak itu kemudian diendapkan di permukaan hingga sejauh 150 km dari ‘kawah’. Jejak–jejak endapan tersebut terpantau sebagai garis–garis kehitaman oleh Voyager 2. Namun dinamika vulkanisme dingin di Triton belum sepenuhnya terungkap, karena Voyager 2 hanya sanggup memetakan 40 % permukaan satelit ini saja.

Referensi : NASA, Lunar & Planetary Science Conference, Science

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

2 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini