fbpx
langitselatan
Beranda » Memperingati Peluncuran Stasiun Ruang Angkasa Skylab

Memperingati Peluncuran Stasiun Ruang Angkasa Skylab

Minggu pagi, 28 Juli 2013, Mal Pacific Place tidak hanya diramaikan oleh pengunjung yang hendak berbelanja pakaian  atau sekedar melepas penat di akhir minggu, tetapi juga oleh peminat astronomi dan penerbangan / teknologi antariksa berbagai usia yang hendak menghadiri acara talk show seputar teknologi antariksa.

Acara yang diselenggarakan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Amerika Serikat, @america, ini termasuk ke dalam rangkaian acara Astro Party 2013 HAAJ dan dimaksudkan untuk merayakan 40 tahun peluncuran stasiun ruang angkasa Amerika, Skylab. Acara tersebut menghadirkan Dr. Abdullah Agus Ma’rufi dari PT Dirgantara Indonesia dan Prof. Thomas Djamaluddin, profesor astronomi dan astrofisika dari LAPAN. Selain itu, seorang interior and payload engineer yang pernah bekerja untuk NASA di Kennedy Space Center, Mr. Hariharan Iyer, turut berpartisipasi dalam talk show tersebut melalui sambungan Skype. Ia menjelaskan kepada hadirin seputar penggunaan space transportation system. Bertindak sebagai moderator adalah Yudhiakto Pramudya, peneliti bidang fisika, lulusan dari Wesleyan University, AS, yang saat ini berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di DI Yogyakarta.

Acara dimulai dengan pemaparan Bapak Agus Ma’rufi mengenai jenis dan tujuan misi-misi penerbangan antariksa. Ia membuka dengan sebuah video pendek yang menunjukkan keberhasilan dan kegagalan peluncuran wahana-wahana antariksa. Dahulu, jelasnya, NASA sempat memfokuskan diri kepada misi-misi antariksa jangka pendek, namun kemudian mereka mulai mengembangkan misi-misi antariksa jangka panjang, yang ditandai oleh pembangunan Skylab di tahun 1973. Agus kemudian memaparkan lebih lanjut tentang jenis wahana-wahana antariksa.

Talk show Astroparty 2013. Kredit: Dewi Pramesti
Talk show Astroparty 2013. Kredit: Dewi Pramesti

Secara umum, wahana antariksa dapat dikategorikan sebagai wahana antariksa tak berawak (unmanned spacecraft) dan wahana antariksa berawak. Negara-negara perintis eksplorasi luar angkasa, seperti Rusia dan Amerika Serikat, memulai teknologi antariksa mereka dengan wahana tak berawak. Saat ini wahana-wahana antariksa dimanfaatkan dan ditujukan untuk berbagai hal, selain untuk mengeksplorasi luar angkasa itu sendiri. Pemanfaatan tersebut antara lain adalah untuk eskplorasi Bumi itu sendiri, misalnya dalam bidang remote sensing atau penginderaan jauh. Kemudian untuk eksplorasi atmosfer dan cuaca, lalu untuk bidang komunikasi, seperti Satelit Palapa negara kita. Seriring dengan perkembangannya dan pemanfaatannya, wahana antariksa dapat dikategorikan lanjut sebagai berikut:

  1. Wahana Antariksa Pengorbit Bumi
    • Low-Earth Orbit, wahana antariksa yang mengorbit hingga ketinggian 200 km. Contohnya adalah satelit mata-mata dan satelit pemantau permukaan Bumi.
    • Medium-Earth Orbit, wahana eksplorasi untuk tujuan keilmuan dan penelitian, contohnya teleskop luar angkasa Hubble. Wahana jenis ini mengorbit pada rentang ketinggian 4828 – 9656 km.
    • High-Earth Orbit, wahana antariksa yang mengorbit pada ketinggian 9656 – 19312 km, contohnya satelit-satelit navigasi (GPS).
    • Geostationary Satellite (satelit geostasioner) yang mengorbit hingga ketinggian 36.000km, contohnya satelit-satelit yang diperuntukkan untuk komunikasi.
  2. Wahana Antariksa Antar Planet
    • Planetary fly-by, yaitu wahana antariksa yang memanfaatkan dorongan gravitasi planet yang dilaluinya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
    • Planetary Orbiter
    • Planetary Lander
    • Planetary Rover
    • Planetary Ascent
    • Planetary Probe
  3. Wahana Antariksa Ulang Alik (Space Shuttle), yaitu wahana antariksa yang bisa digunakan kembali ketika diperlukan untuk misi penerbangan selanjutnya. Tentu memerlukan perbaikan dan perakitan kembali untuk komponen-komponennya.
  4. Wahana Antariksa Pariwisata, yaitu wahana antariksa yang dikhususkan untuk penerbangan pesiar temporer ke luar angkasa. Di kemudian hari, bukan tidak mungkin hal ini menjadi sesuatu yang sangat umum bagi kalangan-kalangan istimewa. Sampai saat ini, sudah tercatat banyak penerbangan pariwisata oleh pesohor dan milyuner dunia.
  5. Wahana Antariksa Robotik, yaitu wahana antariksa yang dikhususkan untuk perakitan wahana lain secara robotik, di ruang angkasa.
Skylab. Kredit: Universe Today
Skylab. Kredit: Universe Today

Sesi talk show berikutnya kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Bapak Thomas Djamaludin tentang satelit-satelit LAPAN. Menurutnya, ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari wahana Skylab. Wahana tersebut tidak memiliki masa hidup yang cukup lama, hanya mengorbit sekitar lima tahunan sebelum akhirnya jatuh pada tahun 1978. Kejatuhannya disebabkan sebagian besar oleh faktor  aktifitas Matahari yang saat itu mencapai puncaknya. Hambatan atmosfer membuat ‘stamina’ Skylab jadi turun drastis. Saat ini satelit-satelit mampu bertahan cukup lama di luar angkasa karena telah memperhitungkan kondisi maksimum atau minimum aktifitas Sang Surya.

Satelit yang awal-awal dikembangkan LAPAN adalah jenis mikrosatelit (satelit bermassa kurang dari 100 kg) yang bekerjasama dengan Jerman. Saat itu beberapa peneliti LAPAN dikirim ke Jerman untuk belajar dan bekerjasama membuat satelit LAPAN-TUBSAT. Satelit A1 ini dimanfaatkan untuk memotret permukaan Bumi. Citra yang didapat kemudian diolah lalu diproses lebih lanjut untuk membuat petanya yang sesuai dengan tujuan tertentu. Setelah kurang lebih enam tahun mengangkasa, kemampuan kamera satelit ini sudah mulai menurun.

Setelah satelit A1, generasi berikutnya adalah Satelit A2 yang saat ini sudah siap luncur dari India. Meski menumpang India, misi satelit A2 ini sangat bermanfaat untuk negara kita yang memang secara geografis rawan bencana alam. Nanti, ketika sudah mencapai ketinggian sekitar 600 km, satelit A2 akan melepaskan diri dari induk pesawat India, dan jika berhasil mengangkasa, satelit ini akan sangat membantu komunikasi radio amatir di Indonesia. Thomas mengingatkan kembali akan bencana dahsyat gempa bumi di Aceh lalu yang mengakibatkan putusnya komunikasi saat itu dan akibatnya menyulitkan bantuan cepat. Nah, jika kelak terjadi hal serupa, keberadaan Satelit A2 inilah yang akan berperan penting dalam komunikasi radio amatir guna memudahkan masyarakat bertukar informasi dalam keadaan genting dan memantau daerah-daerah bencana.

Dibanding pendahulunya, Satelit A2 bermassa lebih besar, yaitu 75 kg. Selain itu terdapat perbedaan lainnya:  Satelit A1 mengorbit polar atau mengitari arah kutub Bumi, sedangkan Satelit A2 ini nantinya akan mengorbit dekat ekuator Bumi. Tentu saja hal ini akan memiliki tantangannya sendiri, yaitu satelit ini akan bertarung dengan keadaan atmosfer Bumi di sekitar ekuator yang lebih tebal dan melewati area rawan yang lazim dikenal sebagai South Atlantic Anomaly. Konon area ini pula yang merusak satelit Rajasat miliki negara tetangga, Malaysia. Thomas mengingatkan, bahwa dalam teknologi ini para peneliti dan insinyur tidak hanya sebatas memikirkan bagaimana supaya berhasil meluncurkan satelit-satelit tersebut, tetapi juga memikirkan bagaimana membuat mereka dapat bertahan dengan masa hidup yang cukup panjang dalam keadaan baik di angkasa.

Setelah A2, yang saat ini tinggal menunggu waktu untuk diluncurkan, Thomas kemudian memperkenalkan generasi satelit mikro selanjutnya, yaitu Satelit A3. Satelit yang diperuntukkan untuk memantau kapal-kapal di perairan laut negara ini sudah seluruhnya dirakit di Indonesia, tepatnya di Bogor, oleh peneliti dan insinyur Indonesia. Peneliti LAPAN itu juga mengingatkan pentingnya memiliki teknologi satelit kita sendiri, terlebih karena negara kita sangat luas sehingga komunikasi yang lancar sangat diutamakan. Katanya lagi, Indonesia adalah Negara ketiga yang telah menggunakan dan mengembangkan teknologi satelit komunikasi, setelah Amerika Serikat dan Kanada. Tentu selain telekomunikasi, teknologi ini penting untuk banyak hal, seperti observasi Bumi itu sendiri, navigasi, pertahanan dan keamanan, mitigasi bencana, pendidikan dan kesehatan.

Dalam bidang kesehatan, ada seorang hadirin yang bertanya apakah satelit-satelit angkasa dapat digunakan untuk mendeteksi epidemi penyakit dan persebarannya di sebuah daerah. Thomas menjawab bahwa yang mungkin adalah menggunakan satelit-satelit ini untuk memperkirakan potensi terjadinya wabah penyakit, misalnya dari citra genangan-genangan air, atau dari perubahaan perilaku atmosfer dan temperatur, yang bisa memperingatkan para ahli biologi atau ahli penyakit akan resiko dan potensi sebuah wabah. Selain itu, penggunaan satelit-satelit ini untuk pendeteksian sumber daya alam, misalnya untuk pemantauan kandungan mineral tertentu di sebuah daerah, tidak dapat atau belum dapat berdiri sendiri. Untuk tujuan ini, harus tetap ditunjang oleh penelitian dan eksplorasi geologi di tempat.

Pembicara dan moderator acara Astroparty 2013 di @america. Kredit: HAAJ
Pembicara dan moderator acara Astroparty 2013 di @america. Kredit: HAAJ

Sebelum mengakhiri sesinya, Thomas menginformasikan bahwa saat ini LAPAN tidak hanya memusatkan diri untuk mengembangkan satelit-satelit mikro saja, tetapi juga sedang mengembangkan satelit penginderaan jauh yang operasional dan juga sedang mengupayakan roket peluncur satelit kepunyaan sendiri sehingga tidak perlu lagi menumpang negara lain, meski tentu hal ini tidak mudah. Rencananya LAPAN akan membangun spaceport atau Bandar antariksa di Morotai, Maluku Utara. Semoga kelak banyak anak bangsa yang dapat berkontribusi besar dalam teknologi ini di kemudian hari, demikian Thomas berharap.

Avatar photo

Dewi Pramesti

Alumni astronomi ITB yang saat ini bergerak dalam bidang pendidikan di ibukota Jakarta. Cabang astronomi yang diminatinya adalah terutama pada bidang impact cratering dan etno/arkeoastronomi. Mencintai seni, terutama musik dan sastra. Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang pendidik, ia masih giat berbagi tentang astronomi di langitselatan. Selain itu, bersama teman-teman langitselatan, ia juga masih tertarik untuk membudayakan kembali kisah-kisah langit (skylore) yang ada di nusantara.

4 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • seandainya bisa ikut, saya akan bertanya bagaimana kelanjutan RUU Keantariksaan, apakah LAPAN sudah dapat respon dari pemerintah terkait RUU tersebut ? RUU itu berpeluang meluaskan usaha negara kita untuk mengeksplorasi antariksa terlebih kita negara khatulistiwa yg mempunyai kelebihan jika peluncuran roket akan lebih efisien bahan bakar. Doakan saja anggota dewan terhormat mau mikirin hal ini selain hanya mencetak RUU yang mendukung asing terus 🙂

  • sy suka skli pengetahuan ini, mohon ijin mengambil informasinya untuk sy sampaikan pada siswa yg mengikuti ektra KIR, kapan lg negara kita 5 langkah kedepan.. negara lain sdh memikirkan hidup di planet lain.. kita malah bahas korupsi yg ndak ada habisnya…

  • Mohon informasi tentang kemampuan skylab Indonesia tentang menyeleksi kualitas lingkungan di sekitar wilayah tertentu. Contohnya. Ada alat yang dapat menyeleksi tinggi permukaan air di daerah gambut setiap saat dan dapat di deteksi secara jarak jauh. Tks.