fbpx
langitselatan
Beranda » Cahaya Europa: Mungkinkah Satelit Jupiter Ini Berpendar Dalam Gelap?

Cahaya Europa: Mungkinkah Satelit Jupiter Ini Berpendar Dalam Gelap?

Dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam atau Fisika di sekolah kita diajarkan bahwa bintang adalah benda langit yang memiliki cahayanya sendiri, dan planet beserta satelit-satelitnya tidak memiliki cahayanya sendiri.  Mereka hanya memantulkan cahaya yang mereka terima dari bintang induknya. Namun, temuan NASA baru-baru ini bisa jadi akan mematahkan fakta tersebut!

Ilustrasi Europa, satelit Jupiter. Kredit: NASA/JPL-Caltech
Ilustrasi Europa, satelit Jupiter. Kredit: NASA/JPL-Caltech

Tim Penelitian National Aeronautics and Space Administration (NASA; badan antariksa Amerika Serikat) di Jet Propulsion Laboratory  (JPL) di selatan negara bagian California  mempublikasikan hasil penelitian mereka di jurnal Nature Astronomy pada tanggal 9 November 2020 lalu.  Setelah melakukan pengujian di laboratorium, tim peneliti mengumumkan temuan paling menarik: Europa, salah satu satelit planet Jupiter, mungkin bercahaya dalam gelap!!

Dalam paparannya, tim peneliti menggambarkan secara detail mengenai pendaran Europa dan bagaimana informasi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi komposisi permukaan Europa. Dengan mengetahui komposisi tersebut, tim berharap dapat menentukan apakah kondisi dan komposisi permukaan Europa dapat menunjang kehidupan.

Sekilas Tentang Europa

Europa dipotret oleh wantariksa Galileo. Kredit: NASA/JPL-Caltech/SETI Institute
Europa dipotret oleh wantariksa Galileo. Kredit: NASA/JPL-Caltech/SETI Institute

Europa adalah salah satu dari empat satelit utama Jupiter yang dikenal sebagai Galilean Moons (bulan-bulan Galileo). Nama kelompok bulan ini merujuk pada orang pertama yang melihat keempat satelit tersebut melalui teleskop, ilmuwan Italia Galileo Galilei. Keempat Galilean Moons tersebut adalah Ganymede, Callisto, Io dan Europa, di mana Europa adalah yang terkecil dari segi ukuran di antara keempat keluarga bulan utama ini.

Nama Europa sendiri berasal dari nama tokoh dalam mitologi Yunani, Putri Europa. Kisah Europa yang paling terkenal adalah bagaimana dewa utama Zeus/Jupiter jatuh cinta padanya. Zeus/Jupiter kemudian mengubah dirinya menjadi banteng putih yang jinak untuk mendekati dan, setelah mendapat kepercayaan sang putri, membawanya lari. Sang banteng membawa Europa ke pulau Kreta, di mana Zeus/Jupiter menyatakan dirinya dan Europa menjadi ratu pertama di pulau tersebut. Kisah ini cukup unik karena menjadi latar cerita rasi Taurus. Nama Europa sendiri juga menjadi nama benua Eropa sebagaimana yang kita kenal saat ini.

Europa berdiameter sekitar 3120 kilometer, sedikit lebih kecil dari Bulan. Selama puluhan tahun, Europa dikenal sebagai satelit yang sangat reflektif (memantulkan lebih banyak cahaya). Hal ini mengindikasikan bahwa permukaannya kemungkinan dilapisi es air. Karena itulah, Europa disebut sebagai “Bulan Berlapis Es”.

Berdasarkan data dari berbagai misi eksplorasi sistem Jupiter, para ilmuwan dapat memperkirakan dengan tingkat keyakinan yang tinggi bahwa permukaan Europa memang dilapisi es air setebal 15 hingga 25 kilometer. “Kerak es” tersebut dipenuhi retakan, patahan, dan “pita-pita” berwarna kemerahan. Meskipun demikian, secara umum permukaan Europa tergolong sangat mulus, bahkan dianggap benda langit dengan permukaan termulus di Tata Surya.

Di bawah lapisan es tersebut diyakini terdapat lautan air sedalam 60 hingga 150 kilometer. Para ilmuwan mencapai kesimpulan ini berdasarkan data adanya fenomena renggangan pasang surut (tidal flexing). Interaksi gravitasi antara Europa dan Jupiter menyebabkan permukaan/kerak es dan interior Europa mengalami peregangan dan perapatan, seperti fenomena pasang surut (naik turunnya permukaan laut) yang dapat kita amati di Bumi.

Dengan adanya pergerakan tersebut, timbul gesekan, yang pada akhirnya menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan tidak cukup untuk mencairkan es di permukaan Europa yang selalu terekspos pada suhu sangat dingin, namun diyakini cukup untuk mempertahankan lautan di bawahnya dalam bentuk cair. Diperkirakan, jumlah keseluruhan air di Europa adalah sekitar dua kali jumlah total air di Bumi!!! Air di lautan dalam ini diduga juga dapat mengalir ke permukaan melalui retakan dan patahan kerak es, untuk kemudian melapisi kembali permukaan Europa, sehingga permukaan tersebut selalu mulus.

Baca juga:  Fenomena Langit Bulan April 2022

Selain mempertahankan lautan di Europa dalam bentuk cair, tidal flex juga mendukung terjadinya interaksi antara air dengan batuan di dasar lautan Europa. Interaksi kimiawi tersebut dapat menyediakan bahan baku dan energi (nutrien) untuk kehidupan. Air dari lautan dalam yang berhasil menembus ke permukaan juga akan meninggalkan berbagai bahan kimia yang dikandungnya di permukaan kerak es. Dengan mengidentifikasikan bahan kimia tersebut (utamanya garam-garamnya) para ilmuwan berharap dapat menentukan komposisi permukaan Europa, termasuk lautan di bawah kerak es tersebut.

Garam yang dimaksud bukan garam dapur yang digunakan untuk memasak, melainkan garam yang  merujuk pada hasil reaksi antara asam dan basa.

Berdasarkan data inilah penelitian JPL dilaksanakan.

Penelitian

Mekanisme air di Europa. Kredit: : NASA/JPL-Caltech
Mekanisme air di Europa. Kredit: : NASA/JPL-Caltech

Sebagaimana telah disebutkan, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komposisi permukaan Europa dan apakah komposisi tersebut dapat menunjang kehidupan

Meskipun Europa dilapisi es tebal dan lautan, satelit tersebut masih memiliki struktur batuan di interiornya. Interaksi lautan Europa dengan batuan di dasar lautnya, para ilmuwan memperkirakan bahwa lautan Europa memiliki kandungan garam-garam tertentu, sebagaimana lautan di Bumi.

Sebagai satelit yang mengorbit Jupiter, Europa selalu dibombardir dengan radiasi berenergi tinggi. Para ilmuwan menduga bahwa radiasi ini, berinteraksi dengan berbagai garam yang terdapat di permukaan Europa, membuat kerak es tersebut berpendar. Tiap jenis garam memberikan warna dan kilau pendar yang berbeda, yang memungkinkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi jenis garam berdasarkan cahaya yang dipancarkannya. Pendar cahaya garam-garam tersebut digambarkan berwarna kehijauan, kebiruan, dengan sedikit warna putih, dengan berbagai tingkat kecemerlangan, tergantung jenis garam yang menghasilkannya. Informasi inilah yang nantinya akan menjadi “sidik jari” untuk mengidentifikasi garam-garam yang terdapat di permukaan Europa.

Apabila dugaan ini nantinya terbukti melalui misi ke Europa (akan dijelaskan lebih detail di bawah), maka Europa akan menjadi satelit yang memancarkan cahayanya sendiri. Tentu saja Europa juga memantulkan cahaya Matahari pada sisi yang menghadap bintang induk Tata Surya tersebut, namun sisi gelapnya (sisi malam) akan juga bercahaya karena berpendarnya material di permukaannya akibat radiasi Jupiter.

Untuk menguji dugaan ini, para ilmuwan mendesain pengujian laboratorium dengan mensimulasikan kondisi lingkungan di permukaan Europa. Tim JPL mendesain alat khusus yang dinamai Ice Chamber for Europa’s High-Energy Electron and Radiation Environment Testing (ICE-HEART; Kamar Es untuk Pengujian Elektron Berenergi Tinggi dan Lingkungan Radiasi di Europa). Mereka menyediakan dua jenis sampel: air murni (sebagai kontrol) dan air yang sudah ditambahkan berbagai jenis garam di dalamnya. Kedua jenis sampel ini kemudian dibekukan pada suhu yang menyerupai suhu lingkungan di permukaan Europa (-170°C).

Kedua sampel tersebut kemudian dibawa oleh tim ke fasilitas penembakan sinar elektron berenergi tinggi di Gaithersburg, Negara Bagian Maryland. Keduanya dibombardir dengan elektron berenergi tinggi seperti yang diterima oleh permukaan Europa. Penembakan elektron ini dilakukan pada rentang waktu yang cukup lama, untuk mensimulasikan kondisi sebenarnya di Europa. Sebagaimana diharapkan, kedua sampel tersebut berpendar.

Awalnya, para ilmuwan ingin melihat bagaimana efek radiasi tersebut pada bahan-bahan organik yang kemungkinan terdapat pada permukaan Europa. Namun, mereka mendapatkan kejutan: pendaran es yang mengandung garam tidak seterang pendaran es air murni. Pengamatan ini akhirnya membelokkan arah penelitian mereka.

Baca juga:  Hujan Meteor Quadrantids 2014

Saat mereka menganalisa spektrum (pemisahan cahaya menurut warnanya) pendaran es air murni, mereka menemukan pola spektrum dengan tiga fitur utama: tanjakan kecil pada panjang gelombang 330 nanometer (pada rentang gelombang ultraviolet dekat), “bahu” (batas sebelum tanjakan besar) pada panjang gelombang 440 nanometer (gelombang cahaya tampak-biru), dan tanjakan utama pada panjang gelombang 525 nanometer (gelombang cahaya tampak-hijau). Pola spektrum ini diperkirakan disebabkan oleh komponen air dan konstituennya, yaitu H2O, OH (hidroksil) dan oksigen.

Kehadiran garam tidak mengubah bentuk utama dari pola spektrum tersebut, namun menurunkan ketinggian “puncak” kurvanya. Salah satu contoh yang digunakan adalah natrium klorida (NaCl/garam dapur). Kandungan garam dapur dalam es menurunkan puncak kurva 525 nanometer dengan cukup signifikan, namun hanya sedikit menurunkan kurva 330 nanometer. Kandungan natrium karbonat (Na2CO3) justru nyaris meratakan kurva 525 nanometer.  Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan kimia (dalam hal ini garam) mengubah spektrum pendaran es yang dapat diukur dengan spektrometer. Setiap jenis garam mempengaruhi kurva spektrum secara spesifik, sehingga spektrum tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis garam yang terkandung di dalam es/lautan Europa.

Kegunaan Hasil Penelitian Pendaran Es Europa

Saat ini, NASA sedang mempersiapkan misi Europa Clipper, wahana yang akan melakukan serangkaian terbang lintas dan pengamatan saintifik khusus pada satelit berlapis es tersebut. Misi tersebut masih berada dalam tahap perencanaan, dengan harapan diluncurkan antara tahun 2023 – 2025.

Wahana Europa Clipper akan dilengkapi dengan kamera dengan berbagai filter warna, yang diharapkan dapat mengumpulkan berbagai data spektrum yang dipancarkan oleh permukaan Europa. Hasil penelitian mengenai pendaran es tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam menganalisis spektrum dari es Europa (hasil Europa Clipper) untuk mengidentifikasi jenis-jenis garam dan bahan kimia lain yang terkandung di dalamnya.

Para ilmuwan juga berharap, Wide Angle Camera (salah satu kamera dalam sistem instrumen di wahana Europa Clipper) dapat mengambil gambar Europa pada sisi gelap/malamnya serta sisi trailing hemisphere (sisi Europa yang berlawanan dengan arah orbitnya, yang diduga menerima lebih banyak hantaman radiasi karena rotasi Jupiter yang sangat cepat. Kondisi radiasi ini dapat mempengaruhi komposisi permukaan di zona tersebut) untuk dapat melihat warna-warni pendaran Europa dengan sudut tertentu tanpa terganggu sinar matahari atau sinar dari Jupiter.

Dengan mengetahui jenis-jenis bahan kimia dan proses kimia di permukaan Europa, para ilmuwan berharap dapat menentukan apakah kondisi lingkungan di Europa dapat menunjang kehidupan.

Apakah mungkin ada kehidupan di luar sana (khususnya di Europa), dan kalau iya, bagaimana kehidupan tersebut berawal? Pertanyaan inilah yang diharapkan dapat dijawab oleh misi Europa Clipper.

Avatar photo

Ni Nyoman Dhitasari

Berlatar belakang pendidikan Teknik Lingkungan dan musik (piano), Dhita telah jatuh cinta pada dunia Astronomi sejak kecil, terutama Astronomi Budaya. Astronomi telah menjadi hobby utamanya hingga saat ini. Dhita adalah seorang guru piano dan pianis di Denver, Amerika Serikat, dan sempat aktif sebagai tenaga sukarela di Denver Museum of Nature and Science (DMNS), bagian Space Odyssey.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini