Pemenang ke-3 Lomba Esai Artikel Astronomi Populer (LEAP) LS
Penulis: Dzerlina Syanaiscara Rahari (Klaten, Jawa Tengah)
Beberapa dari Anda mungkin adalah penggemar berat film Star Wars yang episode pertamanya tayang pada tahun 1977. Film yang mengisahkan tentang perjalanan antar galaksi dan pertemuan manusia dengan berbagai makhluk luar angkasa tersebut bahkan telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai komunitas penggemarnya. Pada berita terakhir, ada cabang olahraga baru yang dikembangkan dari senjata yang dipakai oleh para jedi dalam tokoh Star Wars yaitu pedang cahaya (lightsaber).
Atau mungkin Anda adalah generasi lebih muda yang menggandrungi kisah film Transformers dengan tokoh utama Sam Witwicky? Dalam film tersebut, dikisahkan ada robot alien dari luar angkasa yang saling berperang dan terpaksa melibatkan makhluk Bumi. Bahkan diceritakan bahwa misi pesawat Apollo ke Bulan sebenarnya merupakan misi rahasia untuk mengungkap keberadaan para robot alien tersebut.
Semua inspirasi mengenai film tersebut adalah wujud dari imajinasi manusia tentang kehidupan di luar angkasa. Manusia selalu bertanya-tanya mengenai keberadaannya di alam semesta ini. Benarkah diantara luasnya jagad raya tidak ada makhluk cerdas lain yang hidup di planet lain? Rasa ingin tahu tersebut selalu dipelihara dan tak pernah padam selama perkembangan kehidupan di Bumi. Pencarian kecerdasan ekstra terestrial atau SETI (search for extra-terrestrial intelligence) merupakan sebuah upaya nyata yang terus diupayakan oleh manusia Bumi untuk mengungkap misteri alam semesta raya.
Manusia sebagai Makhluk Cerdas yang Terus Berevolusi
Manusia, sebagai makhluk cerdas yang hidup di atas Bumi, terus-menerus melakukan adaptasi agar bisa mempertahankan spesiesnya. Pada awal mula kehidupan, manusia memanfaatkan sumber daya yang disediakan alam untuk bertahan hidup. Lama-kelamaan, manusia mencari cara untuk bisa menghasilkan lebih dari yang disediakan alam. Keinginan tersebut mendorong berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Manusia mulai berpikir bagaimana caranya memenuhi kebutuhan pangan tanpa harus bergantung pada musim. Mulailah manusia memikirkan cara untuk bercocok tanam. Dibuatlah berbagai peralatan sederhana yang menunjang upaya tersebut. Manusia juga sangat pandai dalam memahami tanda-tanda alam. Misalnya saja pemanfaatan rasi bintang Orion sebagai penentu waktu awal yang tepat untuk bercocok tanam. Selanjutnya, manusia terus berpikir bagaimana caranya untuk memudahkan pekerjaan mereka. Adaptasi ini berlangsung terus-menerus hingga tiba saat revolusi industri yang kita kenal dan masih berlanjut sampai sekarang.
Terhitung sejak tahun 1750-an, manusia memasuki era revolusi industri yang merujuk pada cara manusia melakukan perkembangan pada proses produksi barang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap pada abad ke-18. Pada era ini terjadi perubahan signifikan di bidang teknologi, pertanian, transportasi hingga manufaktur. Tenaga manusia dan hewan mulai digantikan oleh mesin. Hasil produksi pun semakin banyak hingga membuat kondisi sosial dan ekonomi meningkat di berbagai negara.
Selanjutnya, pada tahun 1870-an merupakan era revolusi industri 2.0 yang ditandai dengan penemuan pembangkit tenaga listrik dan motor dengan pembakaran dalam (combustion chamber). Dari teknologi tersebut mulailah ditemukan mesin berpenggerak seperti mobil, telepon hingga pesawat terbang. Sedangkan revolusi industri 3.0 ditandai dengan era digital dan internet yang membuat ruang dan waktu menjadi seolah tiada.
Saat ini manusia memasuki era revolusi industri 4.0 di mana pemanfaatan internet dan teknologi sudah lebih jauh lagi. Pertukaran informasi tentu semakin lama membutuhkan sumber daya yang semakin besar untuk memenuhinya. Adanya komputasi awan dan konsep kecerdasan buatan menandai perubahan besar di era ini.
Mengapa Pencarian Kecerdasan Ekstra Terestrial Penting Bagi Makhluk Bumi
Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat mengubah banyak hal dalam industri, termasuk juga mengubah cara berpikir manusia. Saat manusia sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, eksplorasi mengenai hal-hal di sekitarnya mulai meluas demi mengungkapkan rasa ingin tahu tentang berbagai pertanyaan yang selalu menghantui.
Manusia mulai berpikir tentang eksistensi mereka di alam semesta. Dengan adanya berbagai penemuan yang memungkinkan manusia untuk mengamati bintang-bintang dalam jarak jauh, kemungkinan adanya kehidupan lain selain di Bumi mulai menyeruak. Di antara jutaan bintang dan planet-planet yang mengorbitnya, pasti ada banyak tempat yang memiliki karakteristik layak huni seperti Bumi. Pada saat itulah ambisi tentang pencarian kehidupan ekstra terestrial mulai dicanangkan.
Tanda-tanda Adanya Kehidupan di Luar Angkasa
Sebagai dasar pencarian kecerdasan ekstra terestrial, peneliti menggunakan karakter planet Bumi sebagai patokan untuk planet layak huni yang memungkinkan adanya kehidupan. Beberapa dari karakter tersebut a.l:
- Planet memiliki permukaan padat atau berbatu
- Memiliki air di permukaannya untuk mendukung siklus karbon dan siklus silikat-karbonat
- Ukuran massa dan radius planet seukuran Bumi
- Temperatur permukaan planet cukup hangat untuk bisa dihuni makhluk hidup namun juga dapat mempertahankan keberadaan air di permukaannya
- Kelas spektrum bintang induk mirip seperti Matahari di tata surya (kelas spektrum G, K, M)
- Jarak antara planet dan bintang induk tidak terlalu dekat ataupun terlalu jauh (berada di zona layak huni)
Dari acuan karakter di atas, peneliti mulai mencari kandidat planet-planet ekstrasolar terdekat dengan tata surya yang dapat diamati secara langsung. Bahkan para peneliti juga mengembangkan sebuah persamaan yang disebut persamaan Drake untuk memperkirakan berapa banyak kemungkinan planet mirip Bumi tersebut ada di Galaksi Bima Sakti. Hasilnya didapatkan sekitar satu juta kemungkinan adanya planet layak huni yang memungkinkan adanya kehidupan di dalamnya (Howel 2018).
Upaya Pencarian Kecerdasan Ekstra Terestrial
Dari satu juta kemungkinan planet layak huni tersebut, kebanyakan adalah planet-palanet dari tata surya jauh yang tidak bisa diamati secara langsung. Oleh karena itu, peneliti memikirkan upaya aktif untuk mencari kecerdasan ekstra terestrial dengan metode lain. Pada tahun 1959, Giuseppi Cocconi dan Philip Morrison yang merupakan fisikawan dari Cornell University memublikasikan sebuah jurnal yang menerangkan potensi dari penggunaan gelombang radio mikro untuk melakukan komunikasi antar bintang. Bisa dibilang dari penemuan tersebutlah sebuah era modern untuk pencarian kecerdasan ekstra terestrial alias SETI (search for extra-terrestrial intelligence) dicanangkan.
Pada tahun 1960-an, Uni Soviet mendominasi penelitian mengenai SETI. Baru pada tahun 1970-an, NASA sebagai lembaga antariksa milik Amerika Serikat mulai mengembangkan teknologi SETI. Proyek pertama mereka diberi nama proyek “Cyclops”. Sekitar tahun 1990-an setelah NASA tidak lagi dibiayai pemerintah AS untuk proyek SETI-nya, berdirilah SETI Institute yang meneruskan penelitian tersebut dengan biaya mandiri. Hingga saat ini SETI Institute bekerja sama dengan banyak pihak menjadi pelopor dalam upaya pencarian kecerdasan ekstra terestrial.
Selanjutnya, mereka mengembangkan proyek “Phoenix” yang memfokuskan pencarian pada 1000 bintang di sekitar tata surya yang memiliki kemiripan dengan matahari. Saat itu digunakan antena terbesar di dunia yang diciptakan khusus untuk proyek tersebut. Proyek “Phoenix” tersebut di klaim sebagai proyek terbesar dalam upaya pencarian kecerdasan ekstra terestrial dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya (SETI Institute).
Metode Pencarian Kecerdasan Ekstra Terestrial Saat Ini
Setelah proyek Phoenix, para peneliti terus mengembangkan metode penelitian terbaik untuk mencari kecerdasan ekstra terestrial hingga saat ini. Adam Cox (2017) dalam esainya untuk medium.com berjudul “Using Artificial Intelligence to Search for Extraterrestrial Intelligence” menjelaskan mengenai perkembangan teknologi yang dipakai untuk pencarian kecerdasan ekstra terestrial saat ini.
SETI institute mengembangkan sistem teleskop radio bernama Allen Telescope Array (ATA) berupa 42 buah piringan berdiameter 6 meter yang mampu mengamati sinyal radio pada frekuensi 1-10 GHz. ATA akan menangkap ‘ledakan-ledakan sinyal’ dari luar angkasa lalu menggabungkan data dari piringan-piringan tersebut untuk mengamati sinyal radio dari sistem perbintangan yang telah ditentukan. Proses tersebut akan menghasilkan data-data analog yang jumlahnya sangat banyak.
Data-data tersebut kemudian akan diubah ke dalam data digital untuk dianalisis. Ada sebuah perangkat lunak khusus untuk analisis data ATA bernama SonATA (SETI on the ATA). Perangkat lunak inilah yang bertugas untuk mengontrol sistem akuisisi data, menganalisis data sesuai waktu yang sebenarnya (real-time), melakukan observasi ulang untuk konfirmasi, dan menuliskan data untuk disimpan. Untuk mendapatkan sinyal, SonATA akan menghitung kekuatan sinyal yang ditangkap oleh ATA sebagai sebuah perhitungan fungsi dari frekuensi dan waktu. Fungsi tersebut akan direpresentasikan dalam sebuah spektogram.
Untuk mencari kandidat sinyal yang mungkin dikirimkan oleh sebuah sistem kecerdasan di luar angkasa, SonATA akan mencari sinyal yang persisten dan membentuk gambaran “narrowband signal” di spektogram dan bukan berasal dari Bumi. Setelah kandidat sinyal ditemukan, akan dilakukan pengujian untuk memastikan kembali asal sinyal tersebut. Jika kandidat tersebut diduga kuat berasal dari sesuatu di luar sana, barulah peneliti akan memutuskan apakah hal tersebut valid atau tidak.
Namun demikian, penemuan kandidat sinyal yang kuat tersebut sangat jarang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir hanya ada satu atau dua penemuan sinyal seperti itu. Itupun peneliti memutuskan bahwa sinyal-sinyal tersebut tidak cukup valid untuk menghadirkan bukti mengenai kecerdasan ekstra terestrial.
Terobosan Penggunaan Kecerdasan Buatan untuk Mencari Kecerdasan Ekstra Terestrial
Adanya revolusi industri 4.0 telah membawa manusia ke sebuah era baru dari penggunaan teknologi. Munculnya primadona baru berupa kecerdasan buatan alias AI (artificial intelligence) membuat berbagai terobosan baru yang sebelumnya tak pernah dibayangkan bisa dilakukan oleh manusia. Secara definisi, kecerdasan buatan diartikan sebagai teori dan perkembangan sistem komputer yang mampu melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia seperti persepsi visual, pengenalan suara, pengambilan keputusan, serta alih bahasa. Dalam dunia teknologi, kecerdasan buatan juga didefinisikan sebagai kemampuan dari komputer digital atau robot yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya diasosiasikan sebagai kecerdasan manusia. Tugas-tugas tersebut diantaranya kemampuan untuk berpikir, menemukan makna dari suatu peristiwa, melakukan generalisasi, atau belajar dari pengalaman masa lalu.
Penggunaan kecerdasan buatan ini juga tak luput menjadi perhatian dari para peneliti SETI. Pada tahun 2015, dilakukan sebuah proyek kerja sama antara SETI Institute, IBM Emerging Technologies, NASA, dan Swinburne University untuk melakukan klasifikasi dari data digital mentah yang dihasilkan ATA. Ada sekitar 100 juta data yang dikumpulkan sejak tahun 2013-2015. Data-data tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan sebuah pola sebagai dasar pembuatan algoritma untuk pengembangan perangkat lunak yang lebih canggih yang mengarah pada kecerdasan buatan.
Pada tahun 2017, dihasilkan sebuah sistem bernama The Machine Learning 4 SETI Code Challenge (ML4SETI) yang merupakan model pengembangan dari proyek sebelumnya. Mesin ini diciptakan sebagai sebuah mesin pembelajar yang memiliki sifat-sifat teknologi kecerdasan buatan. ML4SETI mampu mengklasifikasikan kandidat sinyal secara lebih akurat dan lebih kuat dibanding dengan metode pengamatan sebelumnya.
Pada tahun 2018, pengembangan dari sistem mesin yang telah dikembangkan sebelumnya menghasilkan sebuah penemuan penting yang dapat dihitung sebagai kemajuan dalam upaya pencarian kecerdasan ekstra terestrial. Peneliti dari program Breakthrough Listen—sebuah program penelitian untuk mencari bukti kecerdasan ekstra terestrial—menemukan 72 fast radio burst (FRB) yang berasal dari sumber FRB 121102. FRB adalah pancaran yang jelas dan terang dari sebuah emisi radio berdurasi sepersekian milidetik dan diduga berasal dari galaksi jauh.
FRB biasanya ditemukan sebagai sebuah ‘ledakan sinyal’ tunggal sehingga tidak cukup kuat untuk dijadikan kandidat sinyal kecerdasan ekstra terestrial. Namun ditemukannya 72 FRB dari sebuah sumber mengindikasikan sesuatu yang kuat bahwa sinyal tersebut ‘bermakna sesuatu’. Penemuan tersebut dimungkinkan oleh teknologi kecerdasan buatan yang telah dikembangkan sehingga mampu menganalisis dengan lebih jeli data-data yang sebelumnya tidak bisa dianalisis oleh algoritma dari teknologi terdahulu.
Tantangan Terselubung dalam Upaya Pencarian Kehidupan Ekstra Terestrial
Pencarian makhluk cerdas selalu dilakukan dengan metode yang diketahui dan dipakai oleh makhluk Bumi. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak pernah mengetahui sudut pandang lain selain dari apa yang terjadi di Bumi. Penggunaan gelombang radio sendiri juga merupakan cara manusia untuk menangkap sinyal dari satelit buatan yang mengorbit Bumi.
Padahal yang dimaksud dengan “kehidupan” atau “makhluk cerdas” di luar sana bisa saja sangat berbeda dengan pengertian yang dipercaya manusia. Peneliti menggunakan karakter planet Bumi sebagai patokan untuk pencarian planet layak huni. Misalnya saja karakter mengenai atmosfer dan temperatur planet. Namun mungkin di luar sana bisa jadi ada kehidupan yang bisa bertahan pada temperatur ekstra dingin ataupun ekstra panas.
Kemudian, definisi dari kehidupan itu sendiri sangat luas. Mungkin di luar sana ada makhluk penghuni suatu planet namun tidak secerdas manusia. Mereka mungkin masih termasuk dalam klasifikasi rendah makhluk hidup seperti bakteri atau animalia yang tentunya belum memiliki peradaban secanggih manusia. Maka dari itu gelombang radio yang dikirimkan dari Bumi mungkin tidak akan pernah dibalas meski mereka ada di sana.
Atau mungkin teknologi mereka memang lebih canggih dari manusia di Bumi, sehingga penggunaan gelombang radio merupakan suatu hal yang ketinggalan zaman dan tidak akan digubris. Hal ini juga dimungkinkan karena keadaan di Bumi pun seperti itu. Misalnya pada penggunaan televisi yang dulu mengandalkan pancaran sinyal dari satelit, kini telah berganti dengan teknologi televisi kabel yang tidak lagi memancarkan sinyal semasif dulu. Jika di luar sana ada yang mencoba mendeteksi sinyal dari Bumi seperti apa yang dilakukan manusia, kemungkinan besar mereka tidak akan menemukan banyak bukti karena perubahan teknologi tadi. Belum lagi jarak sangat jauh yang harus ditempuh sinyal tersebut membuat kemungkinan penemuan kehidupan lain lebih sedikit lagi.
Harapan Terhadap Pencarian Kecerdasan Ekstra Terestrial di Masa Depan
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang dilibatkan dalam proyek SETI, diharapkan mampu memberikan hasil signifikan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Kecerdasan buatan memungkinkan kerja-kerja yang lebih teliti dari data yang lebih banyak dan ketajaman analisis yang lebih dalam. Dengan demikian diharapkan manusia bisa selangkah lebih dekat dengan jawaban tentang misteri alam semesta yang selama ini juga telah mendorong geliat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada peradaban manusia.
[divider_line]Daftar Pustaka
Budi D. (9 Oktober 2018). Sejarah Revolusi Industri 1.0 hingga 4.0. Menara Ilmu Otomasi Industri. http://otomasi.sv.ugm.ac.id/2018/10/09/sejarah-revolusi-industri-1-0-hingga-4-0/. Diakses tanggal 5 April 2019.
Copeland, B.J. (11 April 2019). Artificial intelligence. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence. Diakses tanggal 18 April 2019.
Cox, G.A. (12 Oktober 2017). Using Artificial Intelligence to Search for Extraterrestrial Intelligence. The Data Lab Medium Corporation. https://medium.com/ibm-watson-data-lab/using-artificial-intelligence-to-search-for-extraterrestrial-intelligence-ec19169e01af. Diakses tanggal 20 Februari 2019.
Howel E. (6 April 2018). Drake Equation: Estimating the Odds of Finding E.T. Space.com. https://www.space.com/25219-drake-equation.html. Diakses tanggal 10 April 2019.
Jordan C. (28 Januari 2019). Is it Worthwhile to Continue the Search for Extraterrestrial Life? (Beginner). Ask an Astronomer. http://curious.astro.cornell.edu/about-us/130-observational-astronomy/seti-and-extraterrestrial-life/general-questions/790-is-it-worthwhile-to-continue-the-search-for-extraterrestrial-life-beginner. Diakses tanggal 21 Februari 2019.
Nurcresia, B, et.al. 2019. Kriteria Planet Layak Huni Sebagai Analisis Keberadaan Dopppelganger Bumi. Gravity:Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pembelajaran Fisika. Vol.5(1):73-87.
Reagan, M.P. (11 Mei 2018). Can Artificial Intelligence help find alien intelligence? The Conversation. http://theconversation.com/can-artificial-intelligence-help-find-alien-intelligence-94375. Diakses tanggal 5 April 2019.
SETI Institute (10 September 2018). Artificial Intelligence Helps Find New Fast Radio Burst. https://www.seti.org/press-release/artificial-intelligence-helps-find-new-fast-radio-bursts. Diakses tanggal 20 Februari 2019.
SETI Institute. A History of SETI. https://www.seti.org/seti-research. Diakses tanggal 5 April 2019.
Wikipedia. Star Wars. https://id.wikipedia.org/wiki/Star_Wars. Diakses tanggal 18 April 2019.
Wikipedia. Transformers (film). https://id.wikipedia.org/wiki/Transformers_(film). Diakses tanggal 18 April 2019.
mantappp postinganya…tks sob.