Bongkahan batu itu kira-kira sebesar rumah berukuran sedang berlantai tiga. Selama ini ia melayang-layang di kedalaman langit, beredar mengelilingi sang surya dalam tata surya kita. Lintasan peredarannya sungguh aneh untuk ukuran manusia karena begitu lonjong. Demikian lonjongnya sehingga pada suatu saat bongkahan batu tersebut akan lebih terpanggang bara mentari ketimbang Bumi kita karena posisinya yang lebih dekat ke Matahari. Sebaliknya di lain waktu bongkahan batu ini pun bisa menggigil kedinginan tatkala menempati lokasi yang demikian jauh, sehingga lebih jauh ketimbang jarak planet Mars ke Matahari. Tak hanya itu, konfigurasi orbitnya demikian rupa sehingga pada 7 dan 8 September 2014 ini bongkahan batu besar itu akan berposisi cukup dekat dengan Bumi kita. Demikian dekatnya sehingga ia bakal melesat hanya pada jarak 34.000 kilometer di atas kita. Namun jangan cemas, ia tak berpotensi memasuki selimut udara Bumi kita, apalagi hingga jatuh mencium daratan/lautan.
Bongkahan batu besar itu adalah asteroid. Ia sama sekali tak pernah dikenal sebelumnya. Hingga awal September 2014 ini, yakni kala sistem penyigi langit Catalina Sky Survey yang bersenjatakan teleskop reflektor Schmidt 68 cm di Observatorium Gunung Tucson, Arizona (Amerika Serikat) melihatnya untuk pertama kalinya pada 1 September 2014. Sistem penyigi langit semi-otomatis yang dirancang untuk mengenali benda langit tak dikenal khususnya yang berada di lingkungan dekat Bumi ini melihatnya sebagai sebintik cahaya yang amat sangat redup. Dengan magnitudo semu +20 praktis asteroid ini 250 kali lebih redup dibanding planet-kerdil Pluto. Di malam berikutnya, asteroid yang sama pun terlihat melalui sistem penyigi langit semi-otomatis yang lainnya, yakni Pan-STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response Systems) yang berpangkalan di Gunung Haleakala, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat).
Saat orbit asteroid ini dibandingkan dengan basis data asteroid yang telah terobservasi sebelumnya, tak satupun yang memiliki identitas serupa. Maka jelas bahwa ia adalah asteroid baru, asteroid yang tak pernah dikenal sebelumnya. Sesuai aturan yang ditegakkan IAU (International Astronomical Union) maka asteroid baru ini tidak diberi nama. Namun ia diberi kode yang khas yakni 2014 RC, mengingat asteroid ini adalah asteroid ketiga (kode C) yang ditemukan pada paruh pertama bulan September (kode R) di tahun 2014 (kode 2014). Dengan magnitudo mutlak/absolut +26,8 maka asteroid 2014 RC ini berukuran sekitar 20 meter, jika dianggap berbentuk sferis (menyerupai bola). Jika massa jenisnya dianggap berada di antara 2 hingga 4 gram per sentimeter kubik, yakni massa jenis kebanyakan asteroid, maka asteroid 2014 RC ini bermassa antara 8.400 hingga 16.800 ton.
Observasi demi observasi memperlihatkan asteroid 2014 RC beredar mengeliling Matahari dalam orbit lonjong dengan titik terdekat ke Matahari (perihelion) sejarak 123 juta kilometer. Bandingkan dengan perihelion Bumi, yang masih sebesar 147,5 juta kilometer. Sebaliknya titik terjauhnya ke Matahari (aphelion) melambung hingga sejarak 270 juta kilometer. Bandingkan dengan orbit planet Mars, yang ‘hanya’ sejauh 228 juta kilometer dari Matahari (rata-rata). Jarak rata-rata orbit asteroid 2014 RC ke Matahari adalah sebesar 196 juta kilometer. Asteroid ini menempuh orbitnya dalam sekali putaran setiap 1,5 tahun. Dengan konfigurasi orbit demikian maka asteroid 2014 RC tergolong asteroid dekat Bumi (ADB) atau near earth asteroid (NEA) kelas Apollo, karena perihelionnya lebih kecil ketimbang orbit Bumi namun jarak rata-ratanya (dan juga periode revolusinya) lebih besar ketimbang Bumi.
Melintas Dekat
Selain sebagai asteroid dekat Bumi asteroid 2014 RC juga merupakan asteroid berpotensi bahaya. Sebuah asteroid digolongkan berpotensi bahaya jika ia pada suatu saat melintas dalam jarak maksimum 7,5 juta kilometer terhitung dari inti Bumi kita, atau setara dengan 19,5 kali lipat jarak rata-rata Bumi ke Bulan. Bagi asteroid 2014 RC, situasi tersebut terjadi saat ia melintas-dekat/berpapasan-dekat (near miss) dengan Bumi kita pada tahun 2014 dan 2017.
Khusus di tahun 2014 ini, perlintasan-dekatnya tergolong ekstrim karena asteroid akan melesat hanya sejarak 33.500 hingga 33.700 kilometer di atas paras Bumi. Situasi tersebut terjadi pada 7 September 2014 pukul 18:01 UTC, atau sama dengan 8 September 2014 pukul 01:01 WIB. Pada saat itu titik terdekat di permukaan Bumi ke asteroid tersebut berada di kawasan Oseania di Samudera Pasifik bagian tengah. Hunian terdekat berjarak sekitar 200 kilometer di sebelah tenggara, yakni pulau Pitcairn (Inggris). Pada jarak 33.500 hingga 33.700 kilometer tersebut praktis bongkahan batu sebesar rumah itu melesat dalam jarak lebih dekat ke Bumi ketimbang orbit geostasioner. Orbit geostasioner adalah orbit setinggi 35.782 kilometer di atas khatulistiwa yang disesaki oleh satelit-satelit komunikasi dan cuaca dalam jumlah bejibun sebagai penunjang kehidupan manusia modern. Namun demikian potensi tubrukan antara satelit-satelit buatan yang masih aktif di orbit geostasioner dengan asteroid 2014 RC ini adalah nol. Musababnya saat melintas di atas garis khatulistiwa, asteroid 2014 RC telah berjarak lebih besar ketimbang orbit geostasioner.
Selandia Baru menjadi kawasan yang mampu menikmati jam demi jam perjalanan asteroid 2014 RC saat hendak berpapasan-dekat dengan Bumi. Saat koordinat ekuatorial yang dilintasi asteroid ini dalam setiap jamnya diproyeksikan ke permukaan Bumi sebagai koordinat geografis, dijumpai pola unik. Awalnya titik-titik itu bergerak ke barat dari Samudera Pasifik menuju kepulauan Selandia Baru. Lalu proyeksi lintasan itu berbalik (retrograde), seakan-akan mengitari kepulauan Selandia Baru dari utara ke selatan untuk kemudian kembali bergerak ke timur menuju samudera. Di kawasan Oseania, proyeksi lintasan asteroid kembali berubah arah, kali ini ke utara hingga menyeberang khatulistiwa. Setelah kembali berubah arah ke barat di Samudera Pasifik bagian utara, titik-titik proyeksi itu selanjutnya melintas di Asia tenggara, tepatnya di ujung utara kepulauan Filipina dan akhirnya memasuki kawasan Indocina.
Saat berada di titik terdekatnya di atas Oseania, asteroid 2014 RC bakal mengerjap dengan magnitudo semu sekitar +11,5. Dengan begitu ia takkan mungkin disaksikan oleh mata kita tanpa alat bantu apapun. Kita harus menggunakan teleskop dengan lensa atau cermin obyektif berdiameter minimal 16 cm untuk menyaksikannya. Tak hanya itu, teleskop tersebut pun harus disetel untuk selalu mengikuti pergerakan asteroid tersebut melanglang langit. Tantangan observasi bertambah besar mengingat langit malam pada saat itu dalam kondisi relatif benderang seiring kehadiran Bulan dengan fase sedang menuju purnama. Sehingga menyulitkan untuk menyaksikan benda-benda langit yang redup.
Dari Indonesia, asteroid ini akan berada di langit bagian tenggara berdekatan dengan bintang Formalhaut di rasi Piscis Austrinis pada Minggu 7 September 2014 saat Matahari terbenam. Dalam jam-jam berikutnya asteroid akan kian meninggi di langit sembari beringsut ke arah selatan dengan mengambil posisi di dekat bintang Ankaa (rasi Phoenix) pada pukul 22:00 WIB. Asteroid kemudian mulai menurun kembali sehingga dalam sejam kemudian ia telah berposisi di dekat bintang terang Archenar (rasi Eridanus). Dan akhirnya di sekitar tengah malam waktu WIB, asteroid bakal terbenam di langit tenggara. Namun demikian ia bakal muncul lagi di langit timur pada pagi harinya (Senin 8 September 2014) jelang fajar, berdekatan dengan planet Venus. Hanya saja pada saat itu ia telah demikian redup dan sangat sulit dilihat, bahkan dengan teleskop sekalipun.
Potensi Bahaya
Bukan kali ini saja sebuah asteroid melintas-dekat dengan Bumi. Dan asteroid 2014 RC bahkan tak memecahkan rekor sebagai asteroid pelintas-terdekat Bumi. Hingga kini rekor tersebut masih dipegang asteroid 2011 CQ1 (diameter 1 meter), yang melintas di atas Samudera Pasifik pada 5 Februari 2011 silam pada jarak hanya 5.480 kilometer saja di atas paras Bumi. Namun setiap kali peristiwa semacam ini terjadi, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan. Apakah ia akan jatuh ke Bumi? Seberapa berbahayakah ia bagi peradaban kita saat ini?
Asteroid 2014 RC membawa energi yang bukan main. Melesat dengan kecepatan 9,99 km/detik, ia bakal secepat 15 km/detik (54.000 km/jam) bila jatuh menuju ke Bumi. Pada kecepatan tersebut asteroid 2014 RC membawa energi kinetik sebesar 225 hingga 450 kiloton TNT, atau setara dengan 11 hingga 23 kali lipat kekuatan bom nuklir Hiroshima. Energi kinetik sebesar itu harus mendapat perhatian serius. Apalagi setelah kawasan Chelyabinsk dan sekitarnya (Rusia) luluh lantak pada 15 Februari 2013 silam, kala sebuah asteroid tak-bernama dan tak-teridentifikasi melesat ke atmosfer dan melepaskan energi kinetik yang sedikit lebih besar dari energi kinetik asteroid 2014 RC ini. Ribuan orang luka-luka dan kerugian material mencapai milyaran rupiah.
Peristiwa Chelyabinsk membuat semua terkesiap, menyaksikan betapa rentannya peradaban manusia modern dalam berhadapan dengan kekuatan alam dari langit. Betapa tidak? Asteroid yang bertanggung jawab atas peristiwa Chelyabinsk adalah seukuran dengan asteroid 2014 RC ini, yang tergolong ‘asteroid kecil’ bagi astronomi. Selama ini hanya asteroid-asteroid berukuran besar (diameter lebih dari 100 meter) saja yang dianggap bakal mengganggu kenyamanan hidup kita di Bumi. Kita pun makin terkesiap setelah data terbaru menunjukkan ternyata asteroid lebih kerap berjatuhan ke Bumi dari semula diduga. Secara rata-rata tiap tahun terjadi sedikitnya 2 kali peristiwa masuknya asteroid ke atmosfer Bumi yang mengangkut energi kinetik minimal 1 kiloton TNT.
Mujurnya, meski melintas-relatif dekat asteroid 2014 RC ini hanya lewat saja. Ia tak punya potensi untuk jatuh ke permukaan Bumi. Evaluasi NASA Meteoroid Environment Office menunjukkan bahwa hingga satu abad mendatang, asteroid 2014 RC tidak memiliki peluang untuk menjatuhi Bumi, sekecil apapun. Karena itu asteroid 2014 RC pun telah dikeluarkan dari Sentry Table, yakni daftar yang memuat asteroid-asteroid yang memiliki peluang untuk berbenturan dengan Bumi meski nilai peluangnya kecil. Karena itu tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Di sisi lain kesempatan melintas-dekatnya asteroid 2014 RC mendemonstrasikan bagaimana kemampuan sistem-sistem penyigi langit semi-otomatis terkini dalam mendeteksi benda langit yang berpeluang mendekati Bumi. Namun sistem tersebut belumlah sempurna. Terbatasnya jumlah observatorium yang berpartisipasi dan gangguan alamiah konfigurasi Bumi-Bulan (yang membuat malam-malam tertentu berhias Bulan terang hingga purnama) membuat sistem penyigi tersebut masih berlubang di sana-sini. Karena itu jangan heran meski asteroid 2014 RC telah terdeteksi dalam tujuh hari sebelum melintas-dekat, namun sistem yang sama gagal mendeteksi asteroid yang bertanggung jawab atas peristiwa Chelyabinsk (meski sama-sama berdiameter sekitar 20 meter). Inilah salah satu tantangan terbesar astronomi di era kontemporer, untuk membangun sebuah sistem penyigi langit semi-otomatis yang mampu bekerja dalam setiap saat dan setiap kondisi tanpa terkecuali sebagai bagian dari mitigasi. Pada saat yang sama, mitigasi potensi tumbukan benda langit pun harus mengenali karekteristik struktur dan komposisi komet/asteroid secara langsung. Inilah yang menjadi dasar sejumlah misi antariksa tak berawak spesifik ke asteroid/komet, seperti Rosetta. Semua itu dilakukan sebagai upaya agar kelak kita bisa mengelola ancaman dari langit dengan lebih baik. Dan agar tak bernasib mengenaskan seperti halnya yang dialami kawanan dinosaurus pada 65 juta tahun silam, hewan-hewan raksasa yang merajai Bumi namun punah akibat hantaman benda langit.
Catatan :
Dipublikasikan juga di Ekliptika.
Tulis Komentar