Gerhana Bulan Total 15 April 2014 usai sudah. Citra-citra mengagumkan dan eksotis Bulan dalam setiap tahap gerhananya mulai muncul dari berbagai tempat. Indonesia, khususnya bagian timur sejatinya pun tercakup ke dalam wilayah gerhana pada zona umbra yang sama dengan Jepang dan Australia (sebagian), yang sama-sama berada di pesisir Samudera Pasifik bagian barat. Yakni sama-sama meski hanya mengalami separuh tahap gerhana karena sisanya telah terjadi sebelum Bulan terbit.
Namun sejauh ini belum ada satupun citra Gerhana Bulan Total itu yang berasal dari Indonesia. Ketiadaan ini dapat dipahami mengingat sangat jarangnya astronom amatir maupun komunitas astronomi yang bertempat di Indonesia bagian timur. Maka meskipun kota Jayapura (Papua) secara teoritis dapat menikmati gerhana yang kasat mata (tahap umbra) selama 54 menit terhitung semenjak terbenamnya Matahari, nampaknya tak ada yang melakukan observasi di sana. Apalagi di Ambon (Maluku) yang hanya mengalami gerhana kasat mata selama 5 menit saja sejak terbenamnya Matahari (secara teoritis), maka dalam praktiknya observasi pun sulit dilakukan seiring waktu yang singkat meskipun terdapat komunitas Amboina Astronomy Club di sana. Pun demikian halnya di Jepang.
Hanya di Australia bagian timur, tepatnya kawasan New South Wales, sejumlah citra gerhana berhasil diperoleh. Ini memang kontras sekali dibandingkan dengan banjir citra gerhana dari pesisir timur Samudera Pasifik, seperti dari Amerika Serikat, Canada, Meksiko, Brazil dan sejumlah negara lainnya. Bagaimanapun, secara global dapat diketahui bahwa pada saat puncak gerhana terjadi, yakni saat totalitas berlangsung, cakram Bulan tak benar-benar gelap. Melainkan tetap benderang meski seakan mengenakan jubah kemerah-merahan transparan menyerupai darah. Bulan yang kemerah-merahan di kala puncak gerhana ini menjadi penanda bahwa atmosfer kita relatif bersih dari aerosol sulfat meskipun baru saja terjadi letusan Gunung Kelud pada 13 Februari 2014 lalu. Dalam kurun setidaknya tiga dasawarsa terakhir, atmosfer yang bebas dari aerosol sulfat memiliki makna lain, yakni bahwa Bumi terus memanas seiring peristiwa pemanasan global yang melaju tanpa rem.
Aerosol
Mungkin kita beranggapan kala sebuah gerhana Bulan total terjadi, sinar Matahari yang jatuh ke permukaan Bulan akan benar-benar terhalangi Bumi. Sehingga Bulan akan benar-benar gelap akibat tak menerima secercah sinar Matahari sedikitpun. Sesungguhnya tidak demikian. Kala posisi Bumi berada di antara antara Bulan dan Matahari dalam konfigurasi gerhana Bulan total, yang benar-benar terblokir hanyalah sinar Matahari langsung. Sementara sinar Matahari tak langsung, yakni berkas sinar yang lebih dulu melewati atmosfer Bumi, masih dapat mencapai permukaan Bulan setelah mengalami pembiasan oleh lapisan-lapisan atmosfer. Namun atmosfer Bumi membuat berkas-berkas sinar Matahari ini harus mengalami hamburan dan serapan oleh molekul-molekul udara, uap air dan ozon, khususnya pada cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek (warna kebiru-biruan). Sehingga intensitas sinar Matahari yang diteruskan atmosfer menuju ke Bulan di kala puncak gerhana adalah jauh lebih rendah dibanding semula dan didominasi cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang (warna kemerah-merahan).
Fenomena ini sudah dipahami Johannes Kepler semenjak fajar astronomi modern bersemi lebih dari 4 abad silam seperti tertera dalam “Astronomiae pars Optica” (1604). Inilah penyebab mengapa dalam puncak gerhana, Bulan tetap terlihat meski jauh lebih redup dibanding Bulan purnama pada umumnya dan berwarna kemerah-merahan layaknya dilaburi darah. Meski nampak redup bagi kita, namun untuk ukuran benda langit maka Bulan pada saat puncak gerhana tergolong benderang dengan magnitudo semu bisa mendekati -3 atau lebih cerlang ketimbang Jupiter. Di saat yang sama, andaikata kita sedang berada di Bulan pada saat yang sama dan memandang ke arah Bumi, maka Bumi pun tak benar-benar gelap sepenuhnya melainkan nampak dikelilingi lingkaran berwarna kemerah-merahan laksana pemandangan kala puncak gerhana Matahari cincin. Bukti fotografisnya pertama kali muncul pada 1967 berdasarkan citra wahana pendarat Surveyor 3 milik NASA (AS), disusul kemudian dengan citra wahana pengorbit Kaguya (Jepang) pada 2009.
Persoalannya, atmosfer Bumi tidak selalu bertingkah laku demikian pada setiap peristiwa gerhana Bulan total. Jika atmosfer dalam kondisi “kotor,” yakni dipenuhi oleh aerosol sulfat, transmisi sinar Matahari melalui atmosfer Bumi akan sangat terganggu. Maka berkas sinar Matahari yang sempat diteruskan ke Bulan pada saat puncak gerhana akan memiliki intensitas jauh lebih rendah dibanding dalam kondisi atmosfer “bersih.” Sebab aerosol sulfat merupakan penyerap sinar Matahari yang sangat efektif sehingga dijuluki sebagai tabir surya. Hanya ada tiga peristiwa yang sanggup membuat atmosfer dilimpahi aerosol sulfat dalam jumlah besar, yakni perang nuklir habis-habisan, letusan besar/dahyat gunung berapi dan tumbukan benda langit (komet/asteroid) berdiameter besar.
Dua yang terakhir merupakan peristiwa alamiah. Dan di antara keduanya, kekerapan letusan besar/dahsyat gunung berapi jauh lebih tinggi ketimbang tumbukan benda langit berdiameter besar. Karena itu kelimpahan aerosol sulfat di atmosfer kerap dihubungkan dengan aktivitas gunung berapi. Dimana letusan menghamburkan gas belerang (SO2), sebagai salah satu komponen gas vulkanik, dalam jumlah besar ke atmosfer. Selanjutnya terjadilah reaksi dengan butir-butir uap air dan gas oksigen sehingga terbentuk tetes-tetes asam sulfat yang bersifat koloid sehingga berbentuk aerosol. Aerosol sulfat tak hanya bertebaran di dalam lapisan troposfer saja, melainkan juga membumbung tinggi dan merata di dalam lapisan stratosfer. Aerosol sulfat yang memasuki lapisan stratosfer tak bisa dijangkau proses-proses cuaca sehingga tak turut lurut di kala hujan. Ia akan bertahan hingga beberapa tahun lamanya sebelum gravitasi Bumi secara perlahan-lahan memaksanya turun ke dalam lapisan troposfer dan kemudian jatuh kembali ke permukaan Bumi bersama dengan air hujan.
Penyerapan sinar Matahari yang ditransimisikan atmosfer Bumi menuju Bulan berimplikasi pada lebih gelap/redupnya Bulan di kala puncak gerhana. Warna merah darahnya yang khas pun bahkan bisa lenyap, digantikan oleh warna-warna yang lebih pucat. Secara umum, semakin besar kuantitas aerosol sulfat dalam atmosfer, maka Bulan pun semakin redup di kala puncak gerhananya sehingga kecerlangannya semakin kecil. Dengan mengukur kecerlangan Bulan pada saat puncak gerhana dengan menggunakan instrumen fotometer atau sejenisnya dan membandingkannya dengan kecerlangan Bulan yang diperhitungkan dalam kondisi atmosfer “bersih” (tutupan awan diasumsikan 50 %), maka kuantitas aerosol sulfat di atmosfer yang diistilahkan sebagai AOD (aerosol optical depth) dan dinyatakan dalam parameter tau dapat diketahui. Secara umum besarnya nilai AOD setara dengan penurunan magnitudo semu Bulan di puncak gerhana relatif terhadap kondisi serupa kala atmosfer “bersih” dibagi 40.
Pemanasan Global
Bulan sangat redup di kala puncak gerhana telah disadari pasca Letusan Tambora 1815 yang bersumber dari Gunung Tambora, pulau Sumbawa (Indonesia). Letusan Tambora 1815 melepaskan 150 kilometer kubik material vulkanik (skala 7 VEI) dan berdampak global dalam bentuk kacau-balaunya cuaca di segenap penjuru dengan segala imbasnya bagi peradaban manusia saat itu. Namun bukti fotografisnya baru muncul pasca Letusan Krakatau 1883, yang bersumber dari Gunung Krakatau di Selat Sunda (juga di Indonesia). Meski lebih kecil dengan volume material vulkanik yang dimuntahkan ‘hanya’ 20 kilometer kubik (skala 6 VEI), mulai berkembangnya teknologi fotografi memungkinkan Gerhana Bulan Total pasca letusan diabadikan, yakni pada 4 Oktober 1884 dan 28 Januari 1888. Namun pengukuran AOD secara menerus dengan memanfaatkan peristiwa gerhana Bulan total baru mulai berlangsung semenjak 1963, yakni pasca Letusan Agung 1963 yang bersumber dari Gunung Agung di pulau Bali (juga di Indonesia). Letusan Krakatau 1883 menghasilkan nilai AOD maksimum 0,13 yang setara dengan penurunan magnitudo semu Bulan sebesar 5,2. Sementara Letusan Agung 1963 menghasilkan nilai AOD maksimum 0,1 yang setara dengan penurunan magnitudo semu sebesar 4,0.
Apa sih pentingnya mengetahui nilai AOD ?
Aerosol sulfat berlimpah yang bercokol dalam lapisan stratosfer sebagai tabir surya tak hanya menyerap sinar Matahari yang seharusnya ditransmisikan menuju Bulan di puncak gerhana, namun juga menyerap sinar Matahari yang hendak menuju permukaan Bumi. Penyerapan ini menjadikan intensitas penyinaran Matahari di permukaan Bumi menjadi menurun dibanding normalnya. Konsekuensinya suhu rata-rata permukaan Bumi pun turut menurun, fenomena yang dikenal sebagai pendinginan global. Besarnya penurunan suhu berbanding lurus dengan nilai AOD, dimana setiap kenaikan nilai AOD sebesar 0,1 akan berimplikasi pada penurunan suhu (pendinginan global) sebesar 0,4 derajat Celcius. Dengan rumusan ini maka dapat diketahui bahwa Letusan Krakatau 1883 berdampak pada penurunan suhu 0,5 derajat Celcius. Sedangkan Letusan Agung 1963 berdampak pada penurunan suhu 0,4 derajat Celcius.
Pendinginan global akibat letusan besar/dahsyat gunung berapi memang dapat menyebabkan malapetaka berskala luas, seperti terlihat dalam Letusan Tambora 1815. Namun bagi Bumi yang sudah mulai memanas semenjak revolusi industri seiring eksploitasi bahan bakar fosil secara massif beserta dengan emisi gas-gas rumah kaca dalam jumlah besar, pendinginan global itu adalah rahmat tersembunyi yang ditunggu-tunggu. Karena pendinginan global mampu mengurangi kuantitas pemanasan global meski hanya untuk sejenak. Dengan kata lain, letusan besar/dahsyat gunung berapi merupakan faktor yang turut mengerem laju kenaikan suhu rata-rata permukaan Bumi akibat aktivitas manusia, tanpa harus disertai intervensi apapun.
Fakta tersebut dapat dilihat pada pengukuran menerus semenjak 1979 hingga kini. Pada periode 1979 hingga 1995, Bumi direjam oleh serangkaian letusan besar gunung berapi, misalnya Letusan St Helena 1980, Letusan el-Chichon 1982 dan puncaknya adalah Letusan Pinatubo 1991. Letusan St Helena 1980 bersumber dari Gunung St Helena di negara bagian Washington (AS), yang melepaskan 1 kilometer kubik material vulkanik (skala 5 VEI). Sementara Letusan el-Chichon 1985 bersumber dari Gunung el-Chichon (Meksiko) yang melepaskan 2 kilometer kubik material vulkanik (skala 5 VEI). Dan Letusan Pinatubo 1991 bersumber dari Gunung Pinatubo (Filipina) yang melepaskan 10 kilometer kubik material vulkanik (skala 6 VEI). Di antara letusan-letusan besar tersebut patut disebut juga letusan yang sedikit lebih kecil seperti Letusan Galunggung 1982-1983 yang bersumber dari Gunung Galunggung (Indonesia) dengan volume material vulkanik sekitar 0,4 kilometer kubik (skala 4 VEI).
Letusan-letusan tersebut menyebabkan atmosfer Bumi relatif “kotor” seperti terlihat pada nilai AOD rata-rata yang sebesar 0,035. Pasca Pinatubo, tak ada lagi letusan besar/dahsyat gunung berapi hingga saat ini kecuali sejumlah letusan berskala 4 VEI seperti misalnya Letusan Eyjafjallajokull 2010 dan Letusan Merapi 2010. Maka pada periode 1996 hingga 2012, atmosfer Bumi relatif lebih bersih seperti terlihat pada nilai AOD rata-rata sebesar 0,002. Dengan demikian terjadi perubahan nilai sebesar minus 0,033 yang berkorelasi dengan peningkatan suhu 0,13 derajat Celcius. Pada saat yang sama terjadi pula penambahan kuantitas gas-gas rumah kaca yang berkontribusi pada peningkatan suhu 0,11 derajat Celcius. Dari gas-gas rumah kaca tersebut, gas karbondioksida (CO2) saja berkontribusi pada peningkatan suhu 0,08 derajat Celcius. Maka terhitung pada tahun 2012 telah terjadi peningkatan suhu total sebesar 0,27 derajat Celcius dibanding situasi tahun 1995. Separuh diantaranya akibat kian bersihnya atmosfer seiring nihilnya letusan besar/dahsyat gunung berapi.
Kelud
Bagaimana dengan Gerhana Bulan Total 15 April 2014 ?
Tepat dua bulan sebelumnya terjadi Letusan Kelud 2014 yang bersumber di Gunung Kelud, Jawa Timur (Indonesia). Sedikitnya 0,12 kilometer kubik (120 juta meter kubik) material vulkanik dimuntahkan Gunung Kelud dalam letusan bertipe Plinian dan disemburkan hingga setinggi 26 km dari paras laut (dpl). Di atas kertas letusan ini memproduksi 1,4 juta ton aerosol, yang akan berkorelasi dengan nilai AOD maksimum sebesar 0,009. Nilai tersebut sedikit lebih besar dibanding nilai AOD rata-rata periode 1996-2012 yang sebesar 0,002.
Dengan AOD maksimum 0,009 maka perubahan magnitudo semu Bulan pada saat puncak gerhananya secara teoritis sebesar 0,4. Kecuali menggunakan fotometer, perubahan magnitudo semu ini sangat sulit diidentifikasi secara kasat mata. Karena itu citra-citra Bulan pada saat puncak gerhana yang tersaji pada saat ini selalu memperlihatkan Bulan berwarna kemerah-merahan dan relatif terang. Dan bila nilai AOD maksimum dibandingkan dengan nilai AOD rata-rata periode 1996-2012, nyatalah bahwa di atas kertas terjadi perubahan sebesar 0,007. Secara teoritis perubahan tersebut bakal berkorelasi dengan penurunan suhu 0,03 derajat Celcius. Penurunan suhu ini cukup kecil sehingga mungkin tak signifikan dalam berhadapan dengan laju pemanasan global. Namun itu semua masih perlu diselidiki lebih lanjut.
Terlepas apapun hasilnya, cukup mengagumkan bahwa peristiwa Gerhana Bulan Total tak hanya sekedar peristiwa langit yang mengesankan. Namun ia juga sarat manfaat. Kini manfaatnya bertambah satu, dimana Gerhana Bulan Total memungkinkan kita untuk mengukur kualitas atmosfer Bumi dalam hubungannya dengan perubahan iklim dalam rupa pemanasan maupun pendinginan global.
Referensi:
1. Keen. 2013. Earth (and Lunar) Based Observations of Volcanic Emmissions to the Stratosphere, an Update through 2011. NOAA Earth System Research Laboratory, Global Monitoring Annual Conference, May 21-22, 2013.
2. Hofmann dkk. 2003. Surface-based Observations of Volcanic Emission to the Stratosphere. Volcanism & the Earth’s Atmosphere, Geophysical Monograph 139, American Geophysical Union.
Tulis Komentar