fbpx
langitselatan
Beranda » Mengenal Sistem Kalender dalam Kearifan Lokal

Mengenal Sistem Kalender dalam Kearifan Lokal

Apa itu kalender? Dalam KBBI, kalender adalah daftar hari dan bulan dl setahun; penanggalan; almanak; takwim. Yang artinya bahwa kalender dipergunakan sebagai alat yang menjadi penanda perubahan yang sehari-hari kita kenal sebagai waktu.Sedangkan waktu itu sendiri adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Sehingga apabila kita perhatikan serangkaian keadaan tersebut, kita memerlukan adanya patokan-patokan, sehingga kita bisa memahaminya. Oleh karena itu kita mengenal ada penanda waktu seperti hari, tanggal, jam menit, detik dan sebagainya. Akan tetapi, bagaimana penanda waktu tersebut bisa terbentuk? Sistem waktu yang dipergunakan saat ini merupakan hasil dari studi astronomi yang telah dilakukan semenjak adanya peradaban manusia di muka Bumi ini, dan oleh karena itu, astronomi berperanan penting dalam menyusun Sistem Kalender, demikian inti diskusi dalam pembicaraan yang disampaikan di Planetarium & Observatorium Jakarta, bertepatan pada saat Winter Solstice 2013 yang baru lalu.

langit malam yang dihiasi rasi Orion bisa memberi interpretasi berbeda di tiap negara. Kredit : Nggieng
langit malam yang dihiasi rasi Orion bisa memberi interpretasi berbeda di tiap negara. Kredit : Nggieng

Sistem Kalender Menurut Astronomi
Secara umum, kalender yang paling banyak dipergunakan saat ini didasarkan pada peran penting dua benda langit, yaitu Matahari serta Bulan, sehingga dikenal adanya sistem kalender Matahari, yang kita kenal sebagai sistem kalender Masehi, yang tentunya kita pergunakan sehari-hari. Sistem yang lain, adalah sistem Kalender Bulan, dipergunakan oleh Umat Islam dalam tata pelaksanaan ibadah. Selain itu, beberapa kebudayaan mempergunakan kombinasi Solar-Lunar sebagai patokan sistem kalendernya, seperti yang dipergunakan bangsa China serta Yahudi.

Tidak saja berdasar pada Bulan dan Matahari, bahkan dalam tradisi nenek moyang Indonesia, utamanya yang berprofesi sebagai petani, seperti petani di Jawa, mempergunakan patokan beberapa benda langit yang lain, seperti Pleiades serta rasi Orion, disamping juga menyesuaikan dengan siklus musim serta bagaimana juga siklus hidup lainnya, dan sistem kalender yang cukup pelik tersebut dikenal sebagai Pranatamangsa , atau dalam bahasa sekarang dapat disadur sebagai Pengelola/Penata Waktu.

Kalender Masehi
Kalender modern yang kita gunakan saat ini disebut sebagai kalender masehi, dan deret waktu tahunannya, (tahun 1), diasumsikan dari tahun kelahiran Yesus Kristus. Berdasarkan pembagian tersebut, sebelum tahun 1 disebut sebagai SM (Sebelum Masehi), BC (Before Christ), atau BCE (Before Common Era), dan sesudahnya sebagai M (Masehi), AD (Anno Dominii), atau CE (Common Era). Setiap tahun terbagi menjadi bagian-bagian yang disebut sebagai bulan, sejumlah dua belas bulan dalam satu tahun, dan tiap bulan terbagi antara 28-31 hari.

Berdasarkan ilmu astronomi, sistem kalender masehi ditetapkan dari peredaran Bumi mengelilingi Matahari, (sistem kalender solar). Jika matahari berada dari ufuk terbit, sampai terbenamnya disebut sebagai satu siang hari, dan kebalikannya dari terbenam sampai terbitnya lagi disebut sebagai satu malam hari.

Sistem kalender solar berjumlah 365 hari dalam satu tahun dan 366 hari untuk tahun kabisat. Dalam satu tahun terbagi menjadi 12 bulan, yang dinamai dari Januari, sampai Desember, dan tiap bulannya berjumlah antara 30-31 hari, kecuali Februari berjumlah 28 hari dan 29 hari untuk tahun kabisat. Penentuan tahun kabisat ini muncul karena pada kenyataannya Bumi mengelilingi Matahari dalam satu kali revolusinya (satu putaran penuh), selama 365,242199 hari (365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik), sehingga untuk mengatasi permasalahan kelebihan hari tersebut, ditetapkan adanya tahun kabisat setiap empat tahun, yaitu pada tanggal 29 Februari, untuk tahun kelipatan empat (pada tahun biasa, seperti 1992, 1996, 2000), dan harus kelipatan 400 untuk tahun abad (contohnya tahun 2000, tetapi 1900 dan 2100 bukan, karena bukan kelipatan 400).

Kalender masehi telah digunakan semenjak jaman Romawi, dan mulai menerapkan sistem yang hampir serupa dengan sistem masehi, yang juga berdasarkan astronomi, semenjak Julius Caesar. Pada saat itu berdasarkan pengamatan astronomi, jarak satu tahun diterapkan sebesar 365,25 hari, lalu dibagi menjadi 12 bulan, dan sistem ini disebut sebagai kalender Julian, berdasarkan nama Julius Caesar. Tetapi karena perhitungan yang belum terlalu teliti, efek kumulatif kesalahan perhitungan menyebabkan sampai sekitar tahun 1500-an, kalender telah mengalami pergeseran sampai 10 hari.

Untuk mengatasi permasalahn tersebut, pada tahun 1582 AD Paus Gregorius XIII, mengatur lagi penanggalan dengan mengubah dari tanggal 4 Oktober 1582 AD, keesokan harinya menjadi 15 Oktober 1582 AD, serta melengkapi perhitungan dengan menyatakan adanya sistem kabisat, untuk tahun kelipatan empat, dan harus kelipatan 400 untuk tahun abad. Meskipun sistem ini pada awalnya diterapkan pada negara-negara yang menganut agama Katholik, dan sistem kalendernya disebut sebagai kalender Gregorian, tetapi karena sistem ini cukup bagus dalam penentuan waktu, seiring perkembangan dunia, mulai tersebar dan diterapkan di seluruh dunia.

Kalender Bulan
Sistem kalender Bulan pada saat ini dipergunakan dalam sistem penanggalan Umat Islam. Pada penanggalan Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang dapat diamati dengan mata telanjang. Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang murni berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar), yaitu siklus dua fase bulan yang sama secara berurutan.

Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan rata-rata siklus fase sinodis Bulan 29,53 hari. Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik. Itulah sebabnya kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan kalender masehi dan kalender lainnya yang berdasarkan pada pergerakan semu tahunan matahari (solar calendar). Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada musim yang sama.

Perbedaan antara penanggalan hijriah dengan penanggalan masehi yang kita gunakan sehari-hari tidak berhenti disitu saja. Terdapat pula perbedaan pada pergantian harinya.

Dalam penanggalan Hijriah hari baru berawal setelah Matahari terbenam dan berlangsung sampai saat terbenamnya Matahari keesokan harinya. Misalnya, hari pertama dimulai sejak matahari terbenam hari sabtu dan berakhir sampai matahari terbenam pada hari minggu.

Kalender Pranatamangsa
Selain kalender yang didasarkan pada pengamatan astronomi saja, masyarakat agrarian di nusantara, seperti di Pulau Jawa , memanfaatkan pengetahuan baik astronomi, ekologi serta biologi dalam penyusunan kalendernya, dikenal sebagai sistem kalender Pranotomongso, atau Pranatamangsa.

Pembagi tahunan dalam periode berdasar pola musim & siklus alam (seperti kalender Masehi pada suatu tingkatan tertentu) bagi masyarakat agraris di Pulau Jawa (dan mungkin petani-petani di Nusantara?). Satuan waktu terkecil adalah hari: Matahari terbit-terbenam. Bulan/Mangsa bervariasi antara 23 ñ 43 hari, dikarenakan posisi Jawa  yang sekitar 7 derajat Selatan. Siklus tahun terbagi menjadi empat Mangsa Utama (Ketiga, Labuh, Rendheng, & MarËng) yang panjangnya berbeda-beda, dengan pola 6 bulan serta 6 bulan berpola kebalikannya.

Awal Mangsa 1, biasanya dekat dengan Solstice Juni, ditandai dengan Pleiades/Wuluh/Kartika dan Orion/Waluku di Heliacal Rising. Tengah tahun Mangsa 6 dekat dengan Solstice Desember, kebalikannya yang terjadi. Sistem kalender Pranatamangsa dalam prakteknya cukuplah rumit, karena tidak hanya mempergunakan panduan benda langit, akan tetapi juga dengan fenomena alam yang menyertainya, meteorologi, ekologi, serta ungkapan sastra yang memperkayanya.

Sebagai contoh, awal mangsa, disebut sebagai Kasa  (Kartika), yang merupakan mangsa utama Ketiga ñ Terang, pada rentang waktu di sekitar 22 Juni  – 1 Agustus (41 hari), memiliki Chandra: Sesotya murc ing embanan  (Permata berguguran). Biasanya ditandai dengan fenomena alam: Daun-daun berguguran, kayu-kayu mengering, belalang membuat liang & bertelur. Bagi petani merupakan panduan untuk waktunya membakar batang padi/jerami/dami; dan mulai bercocok tanam Palawija. Biasanya pada masa tersebut akan memasuki musim Kemarau, curah hujan 67,2 mm, lengas udara 60,1%, suhu 27,4?C, sinar Matahari 76%. Dinaungi oleh Zodiak: Mesa & Dewa Wisnu, berbintang: Sapigumarah (sumber: Pranatamangsa, Seri Lawasan), dan secara astronomi: Wuluh/Pleiades di Heliacal Rising, Matahari terbit ke Utara terjauh.

Praktek penggunaan kalender ini telah dilakukan semenjak sejarah Indonesia belum tercatat. Patokannya tidak hanya benda langit, tapi juga fenomena yang terjadi di alam: Musim tanaman, perilaku binatang, arah angin, kelembapan, curah hujan; dan kalender ini dipergunakan sebagai pedoman bertani, berdagang, merantau, berperang & pemerintahan. Baru di abad ke-19, kalender ini dibakukan sebagai sistem kalender oleh Sri Susuhunan Pakubuwono ke-VII , 22 Juni 1856, juga dengan memasukkan tahun Kabisat.

Orion sang pemburu. kredit: Nggieng
Orion sang pemburu. kredit: Nggieng
Orion atau rasi Wlauku. kredit: Nggieng
Orion atau rasi Wlauku. kredit: Nggieng

Kalender Pranatamangsa dapat juga dipandang sebagai Kalender Orionik, karena kehadiran Orion yang menurut masyarakat agraris dipandang sebagai (Wa)luku/bajak lebih memegang peranan bagi masyarakat. Bagi petani di masa lampau, dengan memegang beras pada telapak tangan terbuka, kemudian mengarahkan tangan pada Luku pada rembang petang, maka ketika bulir-bulir beras jatuh dari tangan, itulah saat untuk memulai bercocok tanam.

Sistem kalender Pratamangsa tidak hanya sebagai penjaga waktu tapi juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat agraris pada masa lampau, akan tetapi seiring dengan perubahan jaman, sistem kalender ini mulai terpinggirkan, akankah kearifan lokal relevan?.

Sebagaimana digambarkan pada Mangsa 1: Sesotya murc ing embanan  (Permata berguguran), yaitu ketika bulir air jatuh dari kapuk randu. Kondisi lingkungan menyebabkan embun tidak lagi mudah terbentuk, atau pohon kapuk sudah sulit ditemukan.

Masihkah ada kearifan lokal?

Artikel tentang kearifan lokal di Kompas. Kredit: kompas
Artikel tentang kearifan lokal di Kompas. Kredit: kompas
Avatar photo

Emanuel Sungging

jebolan magister astronomi ITB, astronom yang nyambi jadi jurnalis & penulis. Punya hobi dari fotografi sampe bikin komik, pokoknya semua yang berhubungan dengan warna, sampai-sampai pekerjaan utamanya adalah seperti dokter bedah forensik, tapi alih-alih ngevisum korban, yang di visum adalah cahaya, seperti juga cahaya matahari bisa diurai jadi warna cahaya pelangi. Maka oleh nggieng, cahaya bintang (termasuk matahari), bisa dibeleh2 dan dipelajari isinya.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini