fbpx
langitselatan
Beranda » Beberapa Faktor Astronomis-Meteorologis dalam Tenggelamnya Titanic

Beberapa Faktor Astronomis-Meteorologis dalam Tenggelamnya Titanic

Inilah kapal yang menyandang hampir semua rekor pada masanya: terbesar (panjang 270 meter, lebar 30 meter dan tinggi 54 meter terhitung dari lunas hingga puncak cerobong asapnya ), terberat (44.000 ton) dan termewah (dibangun dengan bahan-bahan bermutu tinggi sehingga menelan biaya US $ 400 juta berdasarkan kurs 1997). Inilah RMS Titanic, yang digadang-gadang bakal menjadi pilihan utama dalam pelayaran trans-atlantik pada masa ketika dunia penerbangan baru menapaki bulan-bulan pertama kelahirannya.

RMS Titanic sekaligus menjadi puncak prestasi manusia dalam rekayasa teknik. Ia mengonsumsi 600 ton batubara per hari yang dibakar dalam 159 tungku guna mendidihkan air dalam 29 ketel menjadi uap bertekanan tinggi. Uap tersebut selanjutnya diinjeksikan ke dalam dua mesin uap empat silinder dan sebuah turbin uap tambahan dengan total daya 34,3 Megawatt termal atau setara dengan kebutuhan energi sebuah kota kecil masa kini. Ini membuatnya mampu melejit pada kecepatan puncak 41 km/jam. Uap yang telah terpakai masih bisa digunakan untuk menggerakkan generator yang memasok listrik ke segenap penjuru. Sehingga RMS Titanic bisa diterangi lampu listrik dan dilengkapi sistem komunikasi radio nirkabel Marconi, kemewahan lain yang tak dimiliki kapal-kapal pada masa itu. Yang lebih hebat lagi, kapal ini terdiri dari 16 kompartemen terpisah yang setiap kompartemennya dapat diisolasi dengan pintu kedap air. Sehingga andaikata terjadi situasi terburuk, yakni tabrakan antar kapal atau kapal menghantam sesuatu, RMS Titanic bakal tetap terapung meski empat kompartemennya telah dibanjiri air laut. Inilah yang memunculkan keyakinan RMS Titanic tak bakal bisa tenggelam.

RMS Titanic saat bersinggungan dengan gunung es, menurut simulasi James cameron dkk berdasarkan data Woods Hole Oceanographic Institute dan RMS Titanic Inc. Sumber : National Geographic, 2012.
RMS Titanic saat bersinggungan dengan gunung es, menurut simulasi James Cameron dkk berdasarkan data Woods Hole Oceanographic Institute dan RMS Titanic Inc. Sumber : National Geographic, 2012.

Namun faktanya RMS Titanic justru tenggelam dalam waktu cepat pada dinihari 15 April 1912 (waktu Inggris) saat sedang dalam pelayaran perdananya dari Southampton (Inggris) menuju New York (AS). RMS Titanic terbenam tak lebih dari tiga jam setelah ia bersenggolan dengan gunung es besar di Samudera Atlantik bagian utara. Kisruhnya proses evakuasi menyebabkan 1.517 orang tewas dari total 2.227 orang yang ada di dalam. Dari jumlah tersebut pun hanya 700-an jenazah yang berhasil ditemukan terapung-apung di permukaan samudera Atlantik yang membekukan. Sisanya turut terseret bersama bangkai kapal ke kedalaman 3,7 km.

Mengapa RMS Titanic bisa bersinggungan dengan gunung es? Analisis terkini memperlihatkan ada sejumlah kombinasi faktor astronomis dan meteorologis yang kemungkinan memberikan kontribusi bagi terjadinya tragedi ini.

Faktor pertama, RMS Titanic berlayar pada waktu yang kurang tepat. Sudah menjadi pengetahuan umum masa itu bahwasanya alur pelayaran yang bakal dilintasi RMS Titanic berpotongan dengan pergerakan gunung-gunung es dari utara. Gunung-gunung es tersebut berasal dari lembaran-lembaran gletser Greenland yang terpecah-belah saat memasuki laut dan selanjutnya dihanyutkan ke selatan oleh arus Labrador yang dingin. 90 % gunung-gunung es ini meleleh saat masih berada di sekitar Greenland. Namun sisanya, khususnya yang berukuran besar mampu bertahan hingga terhanyut ke Samudera Atlantik, dalam jumlah 150 hingga 300 buah gunung es per tahun. Yang tidak disadari kapten Edward Smith dan petugas-petugas RMS Titanic lainnya, tahun 1912 adalah tahun tak biasa. Sehingga sepanjang bulan April 1912 saja jumlah gunung es yang terhanyut ke sisi selatan garis lintang 48 LU mencapai 395 buah. Populasi ini nyaris empat kali lipat lebih tinggi dibanding jumlah rata-rata gunung es di bulan April sepanjang kurun waktu 1901-1910. Sehingga Samudera Atlantik bagian utara lebih penuh dengan es dibanding kondisi normalnya. Rekor jumlah gunung es April 1912 tak tertandingi hingga enam dekade kemudian, tepatnya pada April 1970, saat jumlah gunung es mencapai angka 501 buah.

Kawasan Atlantik Utara dalam proyeksi Mercator. Gunung-gunung es dari gletser Greenland Barat dihanyutkan arus Labrador (panah hitam) menuju perairan Atlantik utara. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan peta dari Google Maps.
Kawasan Atlantik Utara dalam proyeksi Mercator. Gunung-gunung es dari gletser Greenland Barat dihanyutkan arus Labrador (panah hitam) menuju perairan Atlantik utara. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan peta dari Google Maps.

Faktor kedua, RMS Titanic berlayar tanpa penerangan Bulan. Konjungsi Bulan-Matahari terjadi pada 17 April 1912 pukul 11:40 UT atau hanya dua hari berselang setelah tragedi Titanic. Maka sepanjang pelayarannya RMS Titanic tidak diterangi sinar Bulan di malam harinya. Meskipun RMS Titanic memiliki lampu-lampu listrik terbaru, namun tidak cukup kuat untuk menerangi alur laut yang dilintasinya hingga jarak jauh. Kondisi ini cukup riskan, terlebih dalam situasi berlebihnya populasi gunung es di Samudera Atlantik, sementara di sisi lain kapal dipacu hingga hampir mencapai kecepatan puncaknya.

Faktor ketiga, saat memasuki perairan Grand Banks, RMS Titanic tanpa disadari mulai memasuki kawasan padang barometrik bertekanan tinggi Arktika. Udara dalam kawasan ini lebih dingin dibanding sekitarnya. Penurunan suhu udara yang cukup cepat pun terjadi. Hal ini juga disadari oleh sebagian kecil awak kapal, yang mencatat anjloknya suhu hingga 4 derajat Celcius lebih rendah hanya dalam waktu setengah jam. Padang barometrik ini sepintas menguntungkan, karena menjadikan laut tampak tenang tanpa sentakan gelombang sementara langit pun cerah tanpa awan. Namun di sisi lain situasi ini mengurangi kemampuan pemantauan lingkungan laut di sekitar RMS Titanic dan disepanjang alur pelayarannya. Sebab dalam kondisi langit amat cerah, bintang-bintang nampak dengan amat jelas. Permukaan laut yang tenang pun memantulkan cahaya bintang-bintang ini. Sehingga kemanapun petugas pemantau gunung es RMS Titanic memandang, ia hanya melihat tebaran bintik-bintik cahaya sehingga amat sulit baginya untuk mengidentifikasi obyek selain bintang. Apalagi di langit bagian barat bertebaran sejumlah bintang terang dan planet Venus.

Simulasi langit malam di titik tragedi titanic pada saat persinggungan dengan gunung es terjadi. Sumber: Sudibyo, 2012 dengan basis Sky View Cafe.
Simulasi langit malam di titik tragedi titanic pada saat persinggungan dengan gunung es terjadi. Sumber: Sudibyo, 2012 dengan basis Sky View Cafe.

Dan Faktor keempat adalah fatamorgana. Kombinasi padang barometrik bertekanan tinggi dan kumpulan gunung-gunung es pada area datar yang luas menjadikan lapisan udara di dekat permukaan laut lebih dingin dibanding lapisan udara diatasnya. Fenomena ini disebut inversi suhu. Dalam kondisi normal suhu udara di dekat permukaan laut lebih tinggi dibanding lapisan-lapisan diatasnya. Inversi suhu menyebabkan berkas cahaya dari jauh dibiaskan demikian rupa sehingga terpantulkan saat berada di lapisan inversi dan menghasilkan bayangan semu dari obyek yang memancarkan cahaya tersebut. Fatamorgana menyebabkan horizon tak teramati dan demikian pula eksistensi obyek-obyek di horizon. Tanpa diketahui oleh kapten Smith saat itu, kawasan yang berdekatan dengan lingkar kutub lebih kerap mengalami fatamorgana dibandingkan kawasan subtropik maupun tropik. Dan fatamorgana di kawasan dekat lingkar kutub selalu terjadi pada saat udara dingin.

Faktor-faktor inilah, beserta sejumlah faktor non astronomis dan meteorologis lainnya, yang menuntun RMS Titanic berhadapan dengan takdir sejarah. Tatkala kapal-kapal lainnya yang sealur sibuk melaporkan keberadaan gunung-gunung es dan melintas perlahan-lahan (misalnya kapal Caronia, Athinai, Amerika, Mesaba) dan bahkan harus terhenti (seperti kapal California) karena berhadapan langsung dengan gunung es besar, RMS Titanic tetap ngebut dengan kecepatan tinggi. Maka New York tak dapat dicapai, malangpun tak bisa ditolak. Tanpa disadari siapapun yang berada di dalam RMS Titanic, sebuah gunung es besar dengan tinggi sekitar 30 meter telah menghadang. Dengan 87 % tubuhnya terbenam di bawah air laut, gunung es ini menyembunyikan ukurannya yang raksasa, yang jauh lebih besar dibanding RMS Titanic. Dalam kondisi pencahayaan mencukupi, dengan resolusi mata manusia sebesar 1-2 menit busur, gunung es tersebut seharusnya sudah terdeteksi pada jarak 25 hingga 50 km. Namun takdir menentukan petugas pengintai Frederick Fleet baru melihatnya pada 14 April 1912 pukul 23:39 GMT, dalam jarak hanya 280 meter. Meski jurumudi RMS Titanic membanting ketir ke kiri sekuatnya sementara juru mesin mencoba membalik arah putaran mesin uapnya dengan harapan kecepatan bisa direm, RMS Titanic tetap bersinggungan dengan gunung es dalam 28 detik kemudian. Dan tragedi pun dimulai.

Referensi :

Finton dkk. 2009. The Story of Titanic. Titanic Science http://www.titanicscience.com

Wikipedia, http://en.wikipedia.org

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

5 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini