fbpx
langitselatan
Beranda » Mencari Kerabat Sistim Tata Surya Kita

Mencari Kerabat Sistim Tata Surya Kita

Sepanjang peradaban sejarah, manusia telah melakukan pengamatan benda-benda langit selama kurang lebih 5000 sampai 6000 tahun. Hal ini menandakan ketertarikan manusia dengan ilmu astronomi dan keingintahuan untuk mencari jawaban dari berbagai pertanyaan terutama yang berkaitan dengan kehidupan di tempat tinggal mereka, yaitu planet Bumi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar sekitar kehidupan di planet Bumi yang sampai saat ini belum bisa terjawab keseluruhan secara ilmiah diantaranya adalah:

  1. Bagaimanakah proses terbentuknya sistim Tata Surya, yang meliputi Matahari sebagai bintang induk dan planet-planet yang mengelilinginya.
  2. Syarat apakah supaya Bumi dan planet-planet lainnya bisa terbentuk? Apakah proses pembentukannya sama untuk planet yang besar (planet gas raksasa) dan planet yang kecil (planet batuan).
  3. Apakah ada sistim Tata Surya lain yang mirip dengan Tata Surya kita? Apakah ada planet lain yang serupa dengan Bumi kita?
  4. Apakah yang akan terjadi dengan Bumi dan planet-planetnya setelah sang bintang induk memasuki proses evolusi lanjutan sebelum kehidupannya berakhir.
Ilustrasi ekstra solar planet. Kredit : MPIA

Dari pertanyaan-pertanyaan inilah kemungkinan besar penelitian planet ekstra solar (planet di luar sistim Tata Surya kita) itu lahir. Planet ekstra solar sering disingkat dengan Exoplanet. Walaupun berbagai usaha untuk memberikan jawaban telah dimulai lebih dari 2000 tahun yang lalu oleh beberapa ahli filosofi dunia (misalnya bangsa Yunani kuno), baru sekitar awal 1990 dunia ilmu pengetahuan mendapatkan titik cerah untuk menyingkap rahasia kecil alam semesta kita, yaitu ditemukannya planet-planet lain selain di Tata Surya kita.

Sangatlah menarik melihat sejarah perkembangan planet ekstra solar, dimana penemuan-penemuan planet-planet tersebut bermula dari bintang yang sudah berakhir riwayatnya atau sudah hampir di taraf akhir proses evolusinya.  Baru kemudian ditemukan planet di bintang-bintang yang masih muda, atau bahkan baru bintang-bintang yang baru lahir. Penemuan planet ekstra solar yang pertama adalah di tahun 1992 di sekitar bintang neutron (disebut pulsar), yang merupakan sisa-sisa bintang setelah proses evolusinya berakhir. Kemudian diikuti penemuan planet ekstra solar di sebuah raksasa merah Gamma Cephei, walaupun temuan ini baru dikonfirmasikan 10 tahun kemudian. Baru pada tahun 1995 dimulai ditemukannya planet-planet ekstrasolar di sekitar bintang-bintang yang serupa dengan Matahari. Mulai pada tahun 2007 ditemukan planet-planet di sekitar bintang yang masih muda. Jadi ada kesan sedikit, bahwa proses penemuan-penemuan planet agak terbalik dengan kronologi taraf evolusi bintang itu sendiri. Hal ini tidak lain disebabkan oleh tingkat kesulitan metode yang digunakan dan instrumen-instrumen yang tersedia.

Lalu bagaimanakah kita bisa menemukan planet ekstrasolar?

Pada dasarnya, metode penemuan planet ekstrasolar bisa dibagi menjadi dua, yaitu metode pendeteksian tidak langsung dan pendeteksian secara langsung. Teknik pendeteksian secara tidak langsung yang saat ini sering digunakan adalah:

  • Pengukuran kecepatan radial. (www.seram-project.net)
  • Pengukuran astrometri (mengukur posisi bintang dengan ketepatan tinggi). (www.espri-planet.com)
  • Proses gerhana oleh planet yang lewat di depan muka bintang (planetary transit).
  • Pengukuran mikrolensing
Baca juga:  Saudara Kembar Bumi Bisa Sangat Berbeda!

Sedangkan proses pendeteksian langsung yaitu dengan pengambilan gambar (citra) planet, yang disebut dengan direct imaging method.

Metode-metode yang ada tersebut telah mengalami pengembangan yang pesat di dua dekade terakhir ini, sehingga semua teknik tersebut mulai membuahkan hasil-hasil positif, yaitu penemuan planet ekstra solar itu sendiri. Sebelum tahun 2003 hanya metode pengukuran kecepatan radial and planetary transit yang dapat digunakan. Saat ini direct imaging sudah dapat mendeteksi planet-planet tertentu, dimana jarak bintang induk dan planetnya agak jauh, yaitu sekitar 50 AU (satuan astronomi, yaitu 50 kali jarak Matahari ke Bumi, atau 10 kali jarak Matahari ke planet Yupiter).
Sedangkan metode klasik pengukuran kecepatan radial dan planetary transit lebih efisien untuk menemukan planet-planet yang jaraknya sangat dekat dengan bintang induknya, yaitu hanya sekitar 1 hingga 10 persen dari jarak Bumi ke Matahari (1 satuan astronomi – 1 AU).

Uniknya, untuk planet-planet yang berjarak medium, dimana metode astrometri adalah yang paling tepat, teknologi yang dibutuhkan yaitu microsecond astrometry, belum terwujud seluruhnya dan baru kemungkinan akan diterapkan beberapa tahun mendatang. Oleh sebab itu, planet-planet dengan jarak 5-50 unit astronomi masih belum atau sangat jarang ditemukan.

Diharapkan dalam waktu dekat, kita akan dapat mendeteksi planet-planet dengan berbagai jarak ke bintang induknya (dekat, sedang dan jauh) secara keseluruhan. Hal ini diperlukan untuk melakukan sejenis sensus sistim Tata Surya dimana akan dihitung secara statistik, seperti apakah sistim Tata Surya yang paling sering terbentuk di alam semesta. Dan juga bisa dicari, sistim Tata Surya mana yang mirip dengan sistim Tata Surya kita. Seandainya ada yang mirip dengan sistem Tata Surya Matahari, maka bisa diperkirakan adanya kemungkinan planet-planet yang serupa dengan Bumi di sistim tersebut.

Sampai sekarang sudah ditemukan lebih dari 400 planet ekstrasolar. Diperkirakan sampai dengan akhir tahun 2010 angka 500 akan ditembus dengan penemuan-penemuan baru yang dicapai oleh teleskop-teleskop ruang angkasa KEPLER, COROT dsb. Dengan demikian bidang penelitian planet ekstra solar akan memasuki tahap boom berikutnya.

Agaklah mengejutkan bahwa sebagian besar dari penemuan planet-planet ekstrasolar  adalah planet yang disebut sebagai  hot Jupiter, yang artinya, planet-planet raksasa berjarak sangat dekat dengan bintang induknya. Hal ini tentunya merupakan tantangan yang besar bagi para ilmuwan untuk menelaah kembali teori proses pembentukan Tata Surya. Para ilmuwan sebelumnya tidak mengira bahwa planet-planet raksasa bisa berada dalam jarak yang sangat dekat dengan sang bintang induk, dan mengira planet-planet tersebut hanya berada dalam jarak yang jauh, seperti halnya planet Yupiter di Tata Surya kita. Hanya sedikit sistim planet ekstra solar yang memiliki planet raksasa dengan jarak yang mirip dengan Yupiter kita.

Berbagai teori kemudian dikembangkan agar dapat menjelaskan hasil pengamatan yang ada. Namun tampaknya teori-teori tersebut baru berhasil mengungkap sebagian kecil proses pembentukan planet, dan masih terbatas pada bintang yang serupa dengan Matahari. Misalnya, teori pembentukan melalui proses pengendapan benda-benda kecil (core accretion model) masih membutuhkan pengembangan tertentu untuk mendapatkan jangka waktu yang tepat untuk membentuk planet. Sedangkan teori pembentukan melalui proses instabilitas gravitasi / graviational disk instability (artinya planet terbentuk dari kolaps materi disekitarnya seperti halnya proses pembentukan bintang), masih membutuhkan pengembangan tertentu untuk mendapatkan suhu yang cocok untuk proses membentuknya planet.

Baca juga:  Menjejak Peremajaan Planet di Bintang Mati

Tentu saja, teori-teori ini membutuhkan konfirmasi dari hasil nyata pengamatan. Oleh sebab itu akhir-akhir ini, para ilmuwan mulai mencari planet-planet di sekitar bintang-bintang yang masih muda.  Namun tampaknya hasil pengamatan dan pendeteksian planet di bintang-bintang muda ini belum bisa mengkonfirmasikan atau menjatuhkan teori yang satu maupun juga yang lainnya. Adalah sangat penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin sistim Tata Surya berusia muda untuk memahami proses pembentukan planet, sehingga kelak kita juga dapat menjelaskan proses pembentukan Tata Surya Matahari.

Selain daripada itu para ilmuwan juga mencari planet-planet ekstra solar di sekitar bintang-bintang yang tidak serupa dengan Matahari. Tujuannya adalah untuk mempelajari proses evolusi Tata Surya supaya kita mendapatkan gambaran apa yang akan terjadi dengan Matahari dan planet-planetnya di tingkat evolusi berikutnya. Tentulah sangat menarik untuk mengetahui apakah Tata Surya kita (termasuk Bumi) merupakan hasil recycling generasi sebelumnya. Jika benar, apakah yang terjadi dengan bumi-bumi sebelumnya? Walaupun hal ini kedengarannya sangat spekulatif, namun dari hasil penelitian adalah sangatlah mungkin kalau bumi-bumi dapat terbentuk kembali setelah bintang induknya sedang dalam tahap evolusi akhir. Kita bisa melihat contohnya dari planet-planet di sekitar pulsar, yang telah disebutkan di atas.

Penelitian planet ekstra solar akan segera memasuki tahap exoplanet boom dengan tersedianya alat-alat pendeteksian yang semakin maju, baik dengan teleskop dari BumiBumi maupun dari ruang angkasa. Dengan demikian, sensus planet ekstrasolar akan mencakup lebih banyak lagi sistim-sistim Tata Surya. Mempelajari keberadaan dan jenis-jenis sistim Tata Surya lainya akan membuka jalan untuk menemukan Tata Surya yang dapat menyerupai sistim Tata Surya kita sendiri. Selain itu, kita juga mendapatkan gambaran, bagaimana planet-planet seperti Bumi kita terbentuk. Jawaban atas dua pertanyaan ini suatu saat sangat berguna untuk menjawab sebuah pertanyaan lama yang belum terpecahkan: apakah kita sendirian di alam semesta?

Avatar photo

Johny Setiawan

astronom yang bekerja di Departemen Planet dan Formasi Bintang Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Heidelberg, Jerman yang berasal dari Indonesia. Bidang penelitian yang ditekuninya adalah sistim planet ekstrasolar, fenomena atmosfer bintang, bintang katai putih dan Wolf-Rayet. (www.mpia.de/~setiawan)

2 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Sebagai orang awam yang tidak memiliki otorisasi dalam sains khususnya kosmologi, astrofisika saya kesulitan untuk menyampaikan ide-ide tentang pembentukan kosmos. Senyatanya bagi orang awam yang tidak memiliki akses pada penelitian, pengamatan dan analisis tentang benda-benda langit, cenderung meyakini pada kosmologi antropik dan pemikiran atau renungan ala filsof. Untuk lebih memudahkan mencari kembaran tatasurya kita ada baiknya membuat hipotesa baru dalam teori pembentukan alam semesta. Masih ada probabilitas lainnya yang dapat mengimbangi teori Bigbang, yang sama-sama bertolak pada fakta bahwa alam semesta ini mengembang. Kemungkinan baru ini bertentangan dengan teori Bigbang yang merupakan perwujudan egosentris manusia modern, namun hipotesa baru menganut prinsip penghamburan materi bintang dan planet yang ditangkap oleh gugus galaksi yang sudah diciptakan terlebih dulu. Walau sebagai orang awam saat ini sedang berusaha mempublikasikan ide tersebut untuk diterbitkan dalam sebuah buku. Syukur-syukur kalau ada kosmologi, astronom Indonesia yang bisa membantu.

    Mudjiono.

  • Teori big bang perlu dikaji ulang karena tidak ada penjelasan yang masuk akal tentang dari mana asal materi yang meledak tersebut dan sebelum ada big bang apakah sudah ada ruang dan waktu. jadi teori tersebut menimbulkan suatu tanda tanya besar ???????????