fbpx
langitselatan
Beranda » Sejarah Planetarium dan Observatorium Jakarta

Sejarah Planetarium dan Observatorium Jakarta

“Kita sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus dengan cepat sekali, cepat, chek up mengejar kebelakangan kita ini, mengejar disegala lapangan. Lapangan politik kita kejar, lapangan ekonomi kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, agar supaya kita benar-benar didalam waktu yang singkat bisa bernama Bangsa Indonesia yang besar, yang pantas menjadi mercusuar daripada umat manusia di dunia” (Soekarno, 1964, saat pemancangan tiang pertama Planetarium Jakarta).

Planetarium & Observatorium Jakarta. Kredit : Pramesti
Planetarium & Observatorium Jakarta. Kredit : Pramesti

Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, amat berminat membangun sebuah Planetarium dan Observatorium di Indonesia, walaupun waktu itu sudah berdiri Observatorium Bosscha di Lembang. Pendirian planetarium ini dimaksudkan agar masyarakat Indonesia tak lagi percaya pada tahayul, khususnya yang berhubungan dengan benda-benda langit seperti gerhana dan munculnya komet yang sering dikaitkan dengan malapetaka, bencana alam, atau perginya seorang pembesar, dan sebagainya yang sifatnya merugikan.

Adapun maksud pendirian observatorium yang tergabung dengan planetarium adalah sebagai pelengkap agar rakyat juga dapat meneropong benda-benda langit untuk mendapat gambaran yang sebenarnya setelah diberi pengetahuan tentang astronomi melalui pertunjukan planetarium. Darsa Soekartadiredja, mantan Direktur kedua Planetarium & Observatorium Jakarta, sewaktu diwawancara tahun 2005 silam di Planetarium Jakarta menceritakan bahwa Bung Karno ingin menerapkan pikiran yang lebih maju pada rakyatnya agar menjadi orang-orang yang terpelajar agar kemudian segera timbul perubahan yang baik pada masyarakatnya.

Menara salah satu teropong bintang di POJ. Kredit : Pramesti
Menara salah satu teropong bintang di POJ. Kredit : Pramesti

Tidak diketahui sebenarnya darimana Bung Karno memperoleh gagasan mendirikan planetarium di Indonesia. Mungkin ketika beliau berkunjung ke luar negeri dan mendapati planetarium yang apik, tergerak hatinya untuk membangun sebuah di Indonesia. Tetapi jika kita ingat lagi bahwa masa pendirian Planetarium Jakarta adalah masa perlombaan luar angkasa –space race– antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, bisa jadi gagasan Bung Karno mendirikan planetarium dipengaruhi oleh keadaan dunia internasional waktu itu. Ketika itu manusia telah berhasil meluncurkan satelit pertama –Sputnik- mengorbit ke luar angkasa dan sedang bersiap-siap untuk pergi ke Bulan. Bung Karno, walau keadaan negara sedang sulit saat itu, menginginkan agar bangsanya tidak jauh tertinggal dengan negara lain. Ini diketahui dari pidatonya pada saat pemancangan tiang pertama planetarium pada 9 September 1964, “ Kita sebagai bangsa yang baru lahir kembali, kita harus dengan cepat sekali, cepat, chek up mengejar kebelakangan kita ini, mengejar disegala lapangan. Lapangan politik kita kejar, lapangan ekonomi kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, agar supaya kita benar-benar didalam waktu yang singkat bisa bernama Bangsa Indonesia yang besar, yang pantas menjadi mercusuar daripada umat manusia di dunia ”.

Meskipun kala itu masih banyak yang belum bisa membedakan planetarium dengan observatorium dan bahkan belum mempunyai gambaran tentang planetariumnya itu sendiri, manusia Indonesia mana yang tidak tergerak hatinya mendengar seruan bapak bangsa itu? Bangsa yang baru 19 tahun mengecap kemerdekaan itu sungguh-sungguh berniat mengejawantahkan program-program nation building-nya.

Hal lain yang turut menambah rasa bangga orang-orang pada masa itu ialah karena pendirian Planetarium Jakarta ini nantinya akan menjadi planetarium yang terbesar di dunia. Dalam pidatonya lagi Bung Karno berujar, “Planetarium akan kita dirikan di Jakarta ini, di tempat ini, adalah planetarium yang terbesar di seluruh dunia … sehingga di bawah kubah itu bisa duduk orang. Lima ratus orang. Di lain-lain tempat cuma tiga ratusan saudara-saudara ini Indonesia bukan main.”. Selain itu, Planetarium Jakarta merupakan yang pertama di kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengungguli negara-negara tetangganya.

Adapun pemilihan lokasi pendirian di Jakarta, tepatnya di bekas kebon bintang Raden Saleh yang dianggap sudah tidak cocok lagi berada di tengah kota, mungkin dilandasi pemikiran bahwa Jakarta adalah ibukota negara. Ibukota suatu negara sudah pasti menjadi cerminan karakter sebuah bangsa. Disebutkan Bung Karno bahwa planetarium dan observatorium ini merupakan hadiah bagi kota Jakarta. Dengan demikian, planetarium di Jakarta diharapkan dapat menjadi cerminan masyarakat Indonesia yang maju atau ingin maju.

Walaupun dilandasi oleh cita-cita yang luhur, pembangunan sebuah planetarium bukanlah pembangunan dengan biaya sedikit. Terutama bagi bangsa yang baru lahir, tentu banyaklah agenda pembangunan di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunan gedungnya saja akan menghabiskan uang milyaran rupiah. Belum lagi perkakas planetariumnya yang (atas rekomendasi tenaga-tenaga ahli dari Observatorium Bosscha) harus dipesan khusus dari Jena, Jerman Timur kala itu, tentu akan menghabiskan sekian juta dollar Amerika. Oleh sebab itu, agar tidak membebani negara, Presiden Soekarno meminta partisipasi utama pihak swasta dalam proyek Planetarium Jakarta. Darsa mengatakan lagi, bahwa pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak swasta yang banyak uangnya untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsanya (dalam hal ini pendidikan), merupakan contoh yang baik dan seharusnya ditiru dalam konteks kekinian.

Perusahaan-perusahaan swasta yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) bersedia membiayai pembangunan gedung Planetarium Jakarta. Berdasarkan sebuah catatan GKBI menyediakan dana sebesar Rp 1.670.000.000 ,-. Dana ini akan diturunkan secara berangsur tiga kali untuk membiayai pembangunan gedung planetarium tahun 1964, 1965, dan 1966. Biaya untuk pembelian mesin proyektor planetarium dan teropong bintang dari perusahaan Carl Zeiss-Jerman sebesar US$ 1.500.000,00 ditanggung sebuah yayasan yang sengaja dibentuk Bung Karno untuk menghimpun dana-dana komisi – yang biasanya didapat dari pembelian suatu barang ke luar negeri- untuk mendanai berbagai keperluan pembangunan. Pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan Proyek Planetarium Jakarta diatur dalam surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 155 tahun 1963 yang ditandatangani Presiden pada 26 Juli 1963.

Baca juga:  Mari Mengenal Planetarium
 Kubah Langit dan teropong di tengah kota. Kredit : Pramesti
Kubah Langit dan teropong di tengah kota. Kredit : Pramesti

Pelaksanaan pembangunan Proyek Planetarium Jakarta dengan demikian diserahkan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan gubernurnya waktu itu Bapak Henk Ngantung. Kemudian Pemda DKI Jakarta menunjuk PN Hutama Karya dan PN Nindya Karya untuk melaksanakan pembangunan gedung planetarium. Bertindak sebagai pimpinan sekaligus Ketua Tim Pengawas Pembangunan Proyek Planetarium Jakarta adalah Prof. Ir. Rooseno, ditunjuk langsung oleh Gubernur DKI Jakarta.

Akhir tahun 1964 pembangunan gedung planetarium mulai dilaksanakan. Gedung Planetarium Jakarta dirancang empat lantai, seperti tergambar pada maket awal. Satu kubah planetarium di tengahnya tergabung dengan bangunan silinder di bawahnya (ruang pameran kini) dan dikelilingi oleh bangunan luas. Ada ruang untuk observatorium, ada ruang teater untuk pendidikan dan ada pula lapangan parkir yang luas. Pada awal pendirian Planetarium Jakarta, belum berdiri pusat kesenian Taman Ismail Marzuki.
Dalam pembangunannya, pembangunan Planetarium Jakarta sempat terhenti karena suasana politik negara yang kacau, terutama ketika pecah pemberontakan G30S/PKI. Dana dari GKBI tidak lagi lancar mengalir. GKBI hanya mengeluarkan sebagian saja dari yang telah dianggarkannya. Untunglah kemudian pada akhir 1967 pembangunan Planetarium Jakarta kembali dilanjutkan sedikit demi sedikit, dibantu dengan dana dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Dalam kelanjutan pembangunannya itu menyusul pendirian Pusat Kesenian Jakarta, berlokasi di lahan pembangunan Planetarium Jakarta yang semula hendak digunakan seluruhnya untuk Planetarium Jakarta dan pendukungnya sebagai pusat sains. Pendirian Pusat Kesenian Jakarta dilatarbelakangi oleh usul dari seniman-seniman Jakarta yang ketika itu belum memiliki wadah perkumpulan seniman Jakarta. Dibentuklah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang sekarang bertempat bersama-sama dengan Planetarium Jakarta di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini. Walaupun demikian, secara organisasi Planetarium dan DKJ tetap terpisah.

Akhirnya setelah gedung planetarium dan pemasangan proyektor serta perlengkapan lainnya berhasil diselesaikan, pada tanggal 20 November 1968 diresmikanlah Planetarium dan Observatorium Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin, bersamaan dengan diresmikannya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki. Seluruh aset milik proyek diserahterimakan oleh Prof. Ir. Rooseno selaku pimpinan dan pengawas proyek kepada Gubernur Kepala DKI Jakarta. Ketika penyerahterimaan tersebut, keadaan planetarium Jakarta belum sempurna dan masih sangat sederhana. Sejak tanggal 20 November 1968 itu pula pengelolaan Proyek Planetarium dan Observatorium Jakarta diserahkan kepada Bapak Santoso Nitisastro dari Observatorium Bosscha – Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, yang juga ditunjuk langsung oleh Bung Karno. Sebelumnya sempat ditawari kepada Prof. The Pik Sin dari Observatorium Bosscha untuk menjadi direktur Planetarium, namun karena harus pindah ke Belanda ia menolak halus tawaran tersebut.

Bapak Santoso sebagai direktur planetarium kemudian membentuk organisasi kerja yang sebagian besar tenaganya berasal dari tenaga proyek pembangunan gedung dan tenaga berpendidikan astronomi yang pernah belajar pada Jurusan Astronomi ITB. Pernah pula ditawarkan beasiswa planetarium pada masa pendirian Planetarium Jakarta. Beasiswa tersebut ditujukan pada mahasiswa Jurusan Astronomi ITB agar setelah lulusnya nanti mereka dapat menjadi tenaga ahli bidang astronomi di Planetarium Jakarta. Beberapa orang mahasiswa mengambil beasiswa tersebut.

Selang beberapa bulan sejak peresmiannya, Planetarium Jakarta menggelar pertunjukan perdananya, tepatnya pada tanggal 1 Maret 1969 -tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal jadinya. Keadaan fisik Planetarium Jakarta waktu itu masih jauh dari yang diharapkan. Walaupun demikian sederhana, Planetarium Jakarta tetap berhasil memukau penontonnya. Pada tahun-tahun pertamanya hanya ada bangunan silinder beratap kubah, tempat untuk pertunjukan teater bintang dengan proyektor yang dibeli dari Jerman dan 500 buah kursi di dalamnya, serta beberapa ruang-ruang kecil lainnya. Tugas utama Planetarium Jakarta sejak pertunjukan perdananya saat itu adalah menyelenggarakan pertunjukan (star show) secara teratur menurut jadwal waktu yang telah ditetapkan. Selama enam hari dalam satu minggu Planetarium Jakarta dibuka untuk umum.

Proyektor Universarium Model VIII (TD) buatan Carl Zeiss. Kredit : Pramesti
Proyektor Universarium Model VIII (TD) buatan Carl Zeiss. Kredit : Pramesti

Selain proyektor utama dari Jerman, di ruang pertunjukan terpasang 89 buah proyektor efek khusus, satu unit pengontrol elektronik, satu perangkat audio visual (video, laser disc, kaset audio dan pengeras suara). Sebuah generator listrik tersedia agar kegiatan tetap berlangsung sekalipun aliran listrik PLN terputus. Penyejuk udara belum ada. Teropong bintang belum terpasang. Pun ruang kerja para karyawannya belum ada. Ruang kantor selama beberapa tahun sempat bertempat di bedeng-bedeng bekas rumah tinggal pekerja-pekerja yang mendirikan Planetarium Jakarta. Sampai beberapa tahun lamanya, pengunjung yang hendak melihat pertunjukan bintang harus rela mengantri berpanas-panasan atau kehujanan di anak tangga menuju ruang teater bintang. Tangga menuju ruang teater bintang saat itu memang sangat terbuka. Belum ada atap yang melindungi pengunjung yang mengantri, apalagi ruang tunggu yang nyaman.

Baca juga:  Urgensi Planetarium Jawa Timur

Selanjutnya dari tahun ke tahun Planetarium Jakarta terus ditingkatkan. Penambahan fasilitas dan sarana pendukung dilaksanakan secara bertahap, menyesuaikan dengan bantuan dana yang didapat Pemda DKI Jakarta. Sebagian dana tersebut pada tahun-tahun pertama digunakan untuk pengadaan dan penambahan segala peralatan yang dapat menunjang tugas utama Planetarium Jakarta dan perlengkapan alat kerja.

Pada tahun 1975 teleskop Coude, yang sebenarnya telah dimiliki sejak awal sekitar tahun 1964-an, dipasang pada sebuah bangunan berlantai dua, di luar gedung Planetarium tetapi tidak jauh darinya. Teleskop tersebut digunakan untuk pengamatan dan pemotretan Matahari. Pengunjung boleh juga mengamat dengan teleskop tersebut. Tetapi, pada tahun 1982, teleskop Coude terpaksa harus dipindah tempatnya karena lahan yang digunakan untuk bangunan teleskop tersebut sejak 1975 ternyata bukan milik Planetarium Jakarta dan diminta pemiliknya. Teleskop Coude dibongkar kemudian ditempatkan pada bangunan sekitar gedung planetarium.
Sejak tahun 1979 sebagian dana dari Pemda DKI Jakarta digunakan untuk mencetak booklet. Selain booklet, dicetak juga brosur acara, folder maupun poster. Sebenarnya bentuk kegiatan publikasi Planetarium Jakarta sudah dimulai sebelum itu. Pada sepuluh tahun pertama, Planetarium Jakarta terpublikasikan melalui tayangan acara ilmu pengetahuan di TVRI, kerjasama dengan LIPI dan TVRI. Brosur dan leaflet juga telah dibuat, tapi dalam bentuk yang sangat sederhana.

Pada sekitar tahun 1977 – 1979 Planetarium Jakarta sempat mengajukan pendirian perpustakaan. Namun, usul ini tidak langsung dikabulkan. Pemerintah Daerah DKI Jakarta waktu itu lebih menyetujui pendirian sebuah gedung arsip, bersebelahan dengan Planetarium Jakarta karena ketika itu tidak ada tempat penyimpanan arsip. Walaupun ruang perpustakaan belum dapat segera terwujud, pengumpulan dan penyimpanan materi atau bahan-bahan perpustakaan tetap giat dilakukan. Akhirnya pada tahun 1982 ruang perpustakaan mulai diwujudkan, bersama-sama dengan studio sound system, gedung permanen untuk ruang kerja, dll.

Sekitar tahun 1982 Bapak Darsa Soekartadiredja mengusulkan pembelian teleskop portable kecil kepada Pemda DKI Jakarta. Teleskop ini akan dipergunakan untuk pengamatan di luar kota Jakarta dalam peristiwa Gerhana Matahari Total, yang sebelumnya telah diperkirakan akan terjadi pada bulan Juni tahun 1983. Teleskop yang dapat berpindah ini tentunya sangat berguna terutama untuk peristiwa astronomis yang jarang terjadi dan hanya dapat diamati di daerah tertentu. Seperti halnya Gerhana Matahari Total yang hanya dapat diamati pada sebagian daerah. Pemda DKI Jakarta mengabulkannya.

Pada tahun 1984 status Planetarium Jakarta berubah menjadi Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium DKI Jakarta. Perubahan status ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pada pengelolaan Planetarium dan Observatorium Jakarta. Badan Pengelola adalah aparat Pelaksana Pemerintah di Daerah dalam bidang planetarium dan observatorium. Kepala Badan Pengelola bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Kepala Daerah.

Sabar menanti untuk memasuki teater bintang. Kredit : Pramesti
Sabar menanti untuk memasuki teater bintang. Kredit : Pramesti

Penambahan sarana pendukung gedung Planetarium Jakarta tetap dilakukan guna meningkatkan efektifitas Planetarium Jakarta dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tahun 1991 gedung Planetarium Jakarta diperluas untuk memenuhi kebutuhan ruang kerja, ruang rapat, ruang kelas, ruang studio audio visual dan ruang pameran. Dana perawatan dan rehabilitasi gedung-gedung yang ada diambil dari dana anggaran pembangunan yang dianggarkan untuk Planetarium Jakarta. Pada tahun 1994 Pemda DKI Jakarta akhirnya menyetujui pembelian teropong bintang bergaris tengah 31cm. Teropong bintang ini digunakan untuk mengganti teropong yang kecil dan sudah tua. Dengan adanya teropong baru ini diharapkan dapat menunjang kegiatan peneropongan untuk umum dengan lebih baik.

Pada tahun 1996 Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta melakukan pemutakhiran peralatan pertunjukan. Proyektor pertama Planetarium Jakarta yang telah bekerja selama 27 tahun itu digantikan dengan proyektor Planetarium generasi terbaru dari Pabrik Carl Zeiss. Pemutakhiran tersebut berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Tidak hanya pemutakhiran peralatan pertunjukan saja sebenarnya, tapi juga renovasi gedung bangunan Planetarium yang dilakukan tahun 2002 dengan dukungan dana Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Ruang tunggu diperluas untuk memenuhi syarat pelayanan yang baik untuk publik, sesuai dengan peningkatan jumlah pengunjung tiap tahunnya. Ruang tunggu yang telah direnovasi kini menjadi lebih nyaman bagi pengunjung Planetarium Jakarta.

Hingga kini Planetarium Jakarta masih setia bertahan untuk melakukan tugas mulianya, mendidik bangsanya menjadi bangsa yang melek ilmu, sesuai dengan cita-cita para Bapak Bangsanya dahulu. Pembenahan dan peningkatan senantiasa dilakukan. Teater bintang masih memainkan adegan pergerakan langit semu yang sesuai setiap waktunya, dengan monolog menarik yang tak lupa memberi cuplikan kisah-kisah tentang langit. Dari kisah Joko Belek yang sakit mata di Tanah Jawa hingga Orion si Pemburu dari Yunani. Tak perlu malu-malu lagi berkenalan dengan langit, mari berkunjung ke planetarium.

Avatar photo

Dewi Pramesti

Alumni astronomi ITB yang saat ini bergerak dalam bidang pendidikan di ibukota Jakarta. Cabang astronomi yang diminatinya adalah terutama pada bidang impact cratering dan etno/arkeoastronomi. Mencintai seni, terutama musik dan sastra. Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang pendidik, ia masih giat berbagi tentang astronomi di langitselatan. Selain itu, bersama teman-teman langitselatan, ia juga masih tertarik untuk membudayakan kembali kisah-kisah langit (skylore) yang ada di nusantara.

27 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini