fbpx
langitselatan
Beranda » Sebuah Pilot Project UNAWE-Indonesia for Children: Pesta Bintang Keliling Wilayah Tengah dan Timur Pulau Jawa

Sebuah Pilot Project UNAWE-Indonesia for Children: Pesta Bintang Keliling Wilayah Tengah dan Timur Pulau Jawa

Hari Pertama dan Kedua

Sore itu cuaca cukup bersahabat. Kota Bandung yang biasanya hujan di sore hari, kali ini tidak. Walaupun Matahari tidak bersinar dengan kilau sempurna karena terhalang awan mendung, persiapan akhir keliling wilayah tengah dan timur Pulau Jawa serta packing-packing barang ke dalam mobil dapat dilakukan tanpa hambatan yang berarti. Kotak-kotak besar maupun kecil serta tas-tas ransel berukuran besar termuat di dalam mobil-mobil.

Program UNAWE (Universe Awareness)-Indonesia untuk anak-anak yang dikomandani oleh salah seorang staf pengajar Astronomi, Ibu Premana W. Premadi berhasil mengumpulkan beberapa sukarelawan yang berasal dari berbagai institusi. Tercatat 19 orang (termasuk 2 supir) yang berasal dari LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional), Program Studi (Prodi) Astronomi ITB, Prodi Matematika ITB, HAAJ (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta), Planetarium Jakarta, Himastron (Himpunan Mahasiswa Astronomi) ITB, wartawan KOMPAS, dan seorang pengajar Sekolah Alam Bandung turut dalam misi sukarela ini. Kru langitselatan pun ikut dalam perjalanan panjang ini yang dimulai sejak tanggal 28 Desember 2007 sampai 2 Januari 2008. Sayangnya, salah seorang kru langitselatan yang bertindak sebagai admin langitselatan.com tidak jadi ikut serta dalam tur karena sakit.

Beberapa anggota rombongan UNAWE-Indonesia nampak serius memperhatikan rute di peta yang nantinya akan dilalui.

Perjalanan tur Jawa ini merupakan sebuah proyek awal UNAWE-Indonesia dengan melakukan serangkaian kegiatan astronomi untuk anak-anak khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Salah satunya tentunya pengamatan benda-benda langit.

Sekitar pukul 16.15 WIB, rombongan yang terdiri dari tiga mobil berwarna perak, hijau, dan abu-abu pun berangkat menuju Yogyakarta. Daerah yang dulu pernah terkena gempa ini menjadi tempat transit kami sebelum melanjutkan perjalanan menuju SMP I Wungu, Dungus yang berlokasi di Madiun-Jawa Timur. Di Madiun, kami berencana tiba sore hari pada tanggal 29 Desember untuk berkenalan dengan guru-guru terlebih dahulu dan saat malam harinya, giliran siswa-siswi SD yang kami suguhkan dengan berbagai pengetahuan astronomi dasar baik melalui film, presentasi, maupun permainan yang diselipi unsur astronomi seperti rubik, ular tangga, maupun origami. Menurut Pak Maman, salah seorang supir yang turut dalam perjalanan ini, waktu tempuh yang diperlukan ke Yogyakarta sekitar delapan jam. Saya semobil dengan Pak Maman bersama lima rekan lainnya: Ainil, Ratna, Andang, Yatni, dan Hepi. Mobil yang kami kendarai berwarna perak. Alat komunikasi berupa HT kami gunakan untuk berkomunikasi dengan mobil abu-abu. Komunikasi dilakukan melalui sms saat komunikasi dengan HT (Handy Talky) sudah tidak berada dalam radius jangkauan HT. Bu Nana—panggilan akrab Ibu Premana W. Premadi—berada di mobil hijau bersama beberapa kru, peralatan astronomi, permainan astronomi serta poster yang nantinya akan dibagikan. Peralatan astronomi yang dibawa antara lain teleskop portable, binokular, peta langit, serta planetarium mini lengkap dengan kubah payung kreasi dalam negeri. Mengingat perjalanan kami baru dilakukan sore hari, perjalanan ke Yogyakarta merupakan perjalanan malam hari yang dilakukan nonstop tanpa tidur. Istirahat hanya dilakukan di pom bensin saat mengisi bahan bakar dan saat makan malam.

Kami tiba di Yogyakarta sekitar pukul 04.15 WIB. Setelah berputar-putar sejenak di kota Yogyakarta karena bingung mencari alamat rumah yang dijadikan tempat istirahat, kami pun akhirnya menemukan alamat tersebut. Kawasan Tugu adalah patokan kami untuk mencarinya. Kami disambut oleh hujan yang cukup deras. Rupanya perkiraan waktu tempuh ke Yogyakarta yang diprediksi oleh Pak Maman lumayan meleset 4 jam. Di beberapa tempat kami menepi sebentar untuk memberikan waktu istirahat bagi Pak Maman selain juga untuk menunggu dua mobil yang lain. Maklumlah, dari ketiga mobil, hanya mobil berwarna peraklah yang tidak ada supir pengganti. Konvoi beriringan dalam jarak yang rapat tidak kami lakukan. Seringkali mobil berwarna perak yang saya tumpangi melaju jauh di depan sekaligus untuk “membuka” jalan dan mencocokkan rute pada peta. Seringkali peta yang diletakkan di baris tengah mobil yang di pegang oleh Ratna dan Ainil dibuka untuk mengecek rute perjalanan.

Di Yogyakarta, kami tidak beristirahat lama. Sekitar pukul 9.00 pagi, semua barang sudah disusun kembali di dalam mobil. Sarapan dilakukan di rumah tempat kami menginap. Bersih-bersih badan tidak bisa dilakukan dengan berlama-lama karena harus mengantri. Cukup beruntung kamar mandi yang tersedia ada dua. Bayangkan kalau hanya satu, tentunya cukup menyita waktu kami yang sore harinya harus sudah berada di Madiun. Beberapa di antara kru menyempatkan melihat berita terbaru di televisi. Tentu saja berita banjir yang menjadi topik perhatian kami. Rute perjalanan akhirnya ditetapkan melewati jalur selatan yaitu melewati daerah Pacitan, daerah tempat lahirnya presiden Republik Indonesia saat ini. Kami menghindari daerah-daerah yang dilintasi aliran sungai Bengawan Solo yang saat itu sedang meluap. Perjalanan ke Madiun pun menjadi lebih lama. Namun hal ini mendapat “bayaran” yang sepadan. Pemandangan jalur selatan sangat indah dan memukau khususnya bagi kami yang sudah lama hanya berada di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Bukit-bukit batu nan hijau banyak menjulang di kanan-kiri jalan. Beberapa dari kami pun mengaitkannya dengan daerah-daerah yang ada dalam film The Lord of The Rings.

Bukit-bukit batu di Gunung Sewu nampak sejuk ditutupi hijaunya pohon dan rerumputan

Jalanan yang mulus, sepi, berkelok, dan tidak terlalu lebar menjadi tantangan tersendiri bagi para pengendara mobil dan para kru lain yang bertindak sebagai navigator dadakan. Jalanan yang naik turun membuat kami serasa berada di atas roller coaster. Tak jarang terdapat beberapa tanjakan di mana kami tidak dapat melihat turunan di depannya. Kami tidak tahu apakah dibalik tanjakan itu ada mobil yang akan melintas atau tidak. Kalaupun ada mobil di depan tanjakan kemunculannya cukup unik karena seperti muncul perlahan dari dalam Bumi. Bagaian atas mobil dulu disusul bagian badan mobil dan akhirnya roda mobil. Cuaca siang itu pun sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan terik mengiringi perjalanan kami. Kami berharap, cuaca yang bersahabat ini dapat bertahan hingga kami tiba di Madiun sehingga pengamatan dengan teleskop dapat dilakukan.

Jalan menuju Pacitan yang mulus, penuh dengan kelokan dan tanjakan

Dalam perjalanan menuju Pacitan, di beberapa tempat kami mendapati beberapa kelompok siswa-siswi berpakaian Pramuka beserta guru-gurunya berjajar di kanan-kiri jalan. Mereka menggenggam bendera merah putih.

Ada apakah gerangan? Apakah siswa-siswi ini menyambut kami? Di kejauhan kami melihat ada spanduk yang terpasang di pinggir jalan. Rupanya Presiden SBY beserta Ibu Negara sedang mengadakan kunjungan ke Pacitan pada hari yang sama saat kami melewati daerah ini. Beberapa dari kami yang memang usianya masih muda-muda mencoba iseng menyapa siswa-siswi di pinggir jalan tersebut. Berbekal plat D dan B yang terpasang di mobil, jendela kami buka dan kami melambaikan tangan ke arah para siswa. Siswa-siswi pun berteriak histeris sambil melambaikan bendera. Mereka menyangka kami merupakan rombongan Bapak Presiden yang sudah lama mereka tunggu-tunggu. Beberapa siswa ada yang menyadari kekeliruan mereka dan segera tertawa bersamaan sambil menyoraki kami. Kami pun dengan tersenyum-senyum cukup berbangga karena mendapat sambutan meriah siswa-siswi sekolah yang salah alamat ini.

Perjalanan melewati bukit dan lembah berakhir di pantai. Kami tiba di kota Pacitan siang hari untuk beristirahat dan makan siang. Kami memilih pantai sebagai lokasi peristirahatan karena memang kami yang rata-rata tinggal di Bandung sudah lama tidak bersentuhan dengan udara pantai dan air laut. Kami merindukannya….

Pantai di Pacitan yang terlihat di belakang pohon menuju tujuan kami melepas lelah sambil makan siang

Selepas beristirahat, makan siang, dan shalat bagi yang muslim, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Madiun. Kali ini mobil dipacu lebih cepat untuk mengejar jadwal acara di Madiun sore hari. Tentunya dengan tetap memperhatikan faktor-faktor keselamatan. Jalan yang kami lalui masih berkelak-kelok dan sesekali terlihat bekas-bekas banjir di rumah penduduk. Batas air yang beberapa hari lalu sempat naik terlukis jelas di dinding-dinding rumah penduduk yang kami lewati. Tak jarang kami melewati jembatan yang roboh. Posisi sungai berada di sebelah kanan jalan. Di tengah perjalanan, kami terhenti beberapa lama. Rupanya jalan tertutup longsoran batu-batu besar. Beberapa kru pun mengabadikan dengan kamera mereka.

Jika perbuatan manusia sudah tidak seimbang dengan alam, alam akan menunjukkan keseimbangannya yang dalam sudut pandang manusia adalah bencana. Bencana ini sesungguhnya karena kekurangarifan manusia dalam mengelola alam. Alam hanya menyeimbangkannya saja. Salah satu misi dari UNAWE adalah agar manusia mencintai Bumi dengan merawatnya sehingga bisa diwariskan untuk generasi mendatang. Bumi jika dilihat dari luar angkasa terlihat sebagai sebuah bola pepat berwarna biru yang satu tanpa batas-batas yang memisahkan. Mengenalkan perdamaian melalui astronomi sejak dini pada usia-usia sekolah dasar menjadi bagian dari program besar UNAWE untuk anak-anak. Tujuannya adalah kesadaran dini tentang arti manusia dalam posisinya di alam semesta dan Bumi sebagai tempat ia tinggal. Kita adalah bagian dari alam semesta.

Bu Nana yang memakai sweater merah tampak di kejauhan sedang mengabadikan longsoran batu-batu yang menutupi jalan

Setelah beberapa lama mesin pengeruk bekerja, jalan akhirnya terbuka. Mobil-mobil pun secara beriringan melaju dengan pelan melewati longsoran. Tidak semua batu dipindahkan. Hanya batu-batuan yang menutupi jalan saja yang dipindahkan. Untuk memindahkannya tentunya membutuhkan waktu lebih lama disamping juga dengan teknik-teknik tertentu agar tidak terjadi longsor lanjutan. Perjalanan selepas Pacitan cukup membuat mengantuk para pengendara mobil. Perbedaannya cukup kontras. Setelah melewati kelokan dan tanjakan di sana sini, perjalanan berikutnya laksana meniti penggaris panjang. Jalanan menuju Madiun yang melewati Ponorogo bisa dikatakan hampir lurus sempurna. Kami sangat beruntung karena banjir telah surut di kota ini. Bekas-bekas banjir masih tampak di kiri kanan jalan. Tak jarang kami melihat penduduk yang sedang menjemur pakaian maupun perabotan rumah tangganya yang beberapa hari sebelumnya terendam banjir.

Memasuki Madiun, hari sudah beranjak malam. Setelah bertanya pada penduduk setempat akhirnya kami menemukan lokasi sekolah yang dituju. Mobil perak tiba duluan di lokasi. Selang beberapa menit, mobil hijau, dan abu-abu pun tiba. Kami dibuat terperangah dengan jumlah siswa-siswi yang hadir. Sambutan kami di daerah Dungus Madiun ini sungguh sangat luar biasa. Lebih dari 500 siswa memadati halaman sekolah. Setelah bersalam-salaman dan berkenalan dengan para guru, plot acara yang seharusnya dimulai dengan perkenalan tentang apa itu UNAWE serta siapa saja yang rombongan yang turut dalam perjalanan kali ini batal dilaksanakan. Seluruh logistik yang dipersiapkan untuk SD Wungu dikeluarkan dari dalam mobil dan disimpan di ruang guru. Tak ketinggalan para supir—Pak Maman dan Pak Aji—turut membantu.

Beberapa kru UNAWE-Indonesia tampak sibuk menyiapkan perlengkapan. Dari kiri ke kanan: Ainil, Ira, Hepi

Setiap kru UNAWE-Indonesia bergegas menempati posisinya masing-masing sesuai dengan tugas yang telah dibagi saat briefing besar di Bandung. Saya bertindak sebagai operator planetarium mini. Planetarium mini ini akan diletakkan di dalam kubah buatan yang terbuat dari payung. Saat dinyalakan, konstelasi bintang akan terproyeksi pada dinding dan payung golf yang menjadi atapnya. Kota Madiun menjadi saksi pertama penggunaan kubah planetarium untuk publik hasil kreasi dalam negeri ini. Pertunjukan pertama memang belum begitu sempurna. Antara dinding dan payung belum menutup sempurna. Akibatnya, cahaya dari luar masuk ke dalam “kubah” pertunjukkan. Walaupun dinding yang terbuat dari kain parasut diberi rangka pipa besi kecil, dinding ini tetap harus dipegang oleh beberapa orang sehingga cukup merepotkan. Namun begitu, kami tetap bersemangat menurunkan ilmu “langit” ini kepada tunas-tunas muda harapan bangsa ini. Di dalam kubah planetarium, gambaran tentang gerak langit serta imajinasi bentuk-bentuk konstelasi bintang diperkenalkan melalui media proyeksi. Saya yang menjadi operator dalam beberapa kali mencoba menguji interaksi mereka terhadap alam. Saat ditanya tentang di mana Matahari terbit, tak jarang beberapa siswa nampak ragu-ragu dalam menjawab. Pengajaran sains memang tidak cukup hanya dengan teksbook saja. Siswa perlu diajak untuk mengamati langsung sehingga sikap-sikap ilmiah dapat ditumbuhkan dalam observasinya di alam termasuk dalam hal terbit dan terbenamnya matahari.

Bentuk-bentuk konstelasi akan terproyeksikan pada kubah dan dinding saat planetarium mini ini dinyalakan. Sangat berguna terutama saat cuaca berawan maupun hujan lebat

Tak jauh dari lokasi planetarium mini, teleskop dan binokular dipasang. Operator dalam pos ini adalah Mas Irfan dari Observatorium Bosscha. Sayangnya langit malam di Dungus kurang bersahabat. Objek-objek langit bersembunyi di balik awan. Beberapa diantaranya sempat terlihat namun segera tertutup awan kembali. Semakin malam, beberapa konstelasi menampakan dirinya. Orion terlihat di dekat zenit agak ke Timur. Zenit adalah titik khayal yang tepat berada di atas kepala pengamat. Dengan panduan peta langit, beberapa kru UNAWE-Indonesia membantu siswa-siswi untuk “membaca” langit mengenali rasi bintang.

Di halaman tengah sekolah tak kalah ramai. Pos ini adalah pos yang paling banyak siswa berkerumun. Daya tariknya adalah sebuah layar putih di mana beberapa film astronomi diputar. Sesi ini dipandu oleh Ira, mahasiswa S-2 Prodi Astronomi ITB. Beberapa kali layar terjatuh karena tertiup angin yang keras. Salah seorang kru, Denny dari Observatorium Bosscha berinisiatif menjadi penjaga layar dari terjangan angin. Seharusnya, posisinya sebagai operator teleskop. Sembilan belas orang terasa minim untuk meng-handle lebih dari 500 orang namun hal ini menjadi tantangan dan kebanggaan bagi kami karena mendapat sambutan yang sangat positif.

Beranjak ke halaman yang lebih terbuka, tampak Ronny dari HAAJ dan Pak Ameer dari Planetarium Jakarta sedang menyiapkan roket air. Karena belum sempat membeli botol bekas soda, roket yang disiapkan hanya satu. Pada beberapa ujicoba peluncuran awal, roket mampu meluncur dengan baik. Roket berbahan “bakar” air dan tekanan udara ini menjadi tontonan menarik para siswa dan guru. Bahkan ada salah seorang guru yang tertarik untuk mencoba membuatnya. Ronny pun tampak sibuk diwawancarai oleh guru tersebut. Peluncuran berikutnya menggunakan tekanan yang lebih tinggi. Roketpun meluncur dengan sempurna dan tak kembali ke tanah. Area jelajah roket air ini ternyata kurang luas sehingga gerak roket jadi terhalang. Akibatnya, roket menyangkut di pohon. Sesi roket air akhirnya dihentikan sambil menunggu roket kembali ke Bumi.

Anak-anak pra sekolah, TK, serta SD kelas I dan II pun tak ketinggalan mendapatkan bagian mengenal astronomi. Tentunya bukan materi yang melangit tetapi materi-materi di mana anak-anak diajak bermain dengan menggunakan berbagai media yang telah disediakan. Pos ini dipercayakan kepada beberapa mahasiswi yang juga anggota Himastron ITB, kru langitselatan, serta alumni S-1 dan S-2 Prodi Astronomi. Mereka antara lain Yatni, Ratna, Hepi, dan Irma. Sesi ini berlangsung di dalam kelas yang kira-kira terdiri atas 30 anak. Awalnya anak-anak agak pemalu ketika diminta untuk beraktivitas. Tak jarang kru mengalami kesulitan dalam hal komunikasi. Maklumlah, anak-anak di daerah ini lebih terbiasa menggunakan bahasa Jawa dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kru pun cukup tanggap untuk menghilangkan kekakuan. Sesi ice breaking segera digelar dengan menggunakan roket evervesent. Dengan berbekalkan tabung bekas film, ¼ evervesent, air, serta kertas untuk menghias, permainan yang menggunakan prinsip aksi-reaksi ini ternyata mampu mencairkan suasana. Sesi berikutnya yaitu membuat model mini planet Saturnus dengan menggunakan CD bekas dan bola diikuti anak-anak dengan antusias.

Di atas tampak Yatni dengan tekun memilah-milah poster yang akan dibagikan

Momen bersejarah yang merupakan bagian dari program UNAWE internasional ini tentunya tak lengkap bila tidak didokumentasikan. Kamera dipegang oleh Mas Sunggieng, mahasiswa S-2 Prodi Astronomi ITB dan Pak Yudi, salah seorang staf pengajar Prodi Matematika ITB. Mas Zaid alumnus Prodi Astronomi yang juga wartawan KOMPAS tampak mondar-mandir mencatat peristiwa dan sesekali mewawancarai orang-orang yang terlibat dalam acara ini. Bu Nana sendiri bertindak sebagai penghubung antara kru UNAWE-Indonesia dengan para guru dan kepala sekolah. Bu Nana menjelaskan kepada para guru tentang program UNAWE ini serta mengajak para guru bergabung dengan siswa-siswi di halaman tempat sesi paralael yang berisi pos-pos kegiatan berada.

Di akhir acara, pihak sekolah menyediakan kejutan bagi kami. Kru UNAWE-Indonesia yang memang belum makan malam mendapat suguhan makanan khas Madiun buatan siswi-siswi dari sekolah tersebut. Pecel Madiun dengan sambal kacangnya serta Rawon menjadi makanan favorit. Tak lupa wedang jahe penghangat badan pun disediakan untuk diminum hangat-hangat. Kami makan malam bersama guru-guru dan seluruh panitia di sekolah tersebut. Kami cukup takjub karena pihak sekolah mempersiapkan kedatangan kami dengan sangat serius. Beberapa polisi bahkan diundang untuk mengamankan lokasi. Sungguh berkesan kunjungan di Madiun ini.

Tampak pada gambar Bu Nana dan Andang yang berbaju kuning sedang menyusun kuisioner dan peta langit yang akan dibagikan kepada para guru SD Wungu

Sebelum meninggalkan lokasi “pesta bintang”, Bu Nana menyempatkan menyebarkan kuisioner kepada para guru. Kuisioner ini penting sebagai masukan bagi program-program UNAWE-Indonesia berikutnya. Beberapa poster Astronomi, permainan anak-anak, peta langit, dan majalah kami bagikan ke sekolah sebagai kenang-kenangan dan bahan ajar bagi para guru. Tak lupa poster Tata Surya terbaru dibagikan. Vivi (ivie) yang merupakan administrator langitselatan.com dipercaya untuk mendesain poster-poster Astronomi versi Indonesia.

Setelah berpamitan dengan para guru, sekitar pukul 22.00 WIB, kami pun menuju ke kota Madiun untuk beristirahat di sebuah penginapan di pusat kota. Perjalanan dua hari yang melelahkan dapat terlewati dengan tanpa hambatan yang berarti. Kami bisa beristirahat lebih lama untuk melanjutkan perjalanan kembali keesokan harinya menuju lokasi pengungsian Lumpur Lapindo di daerah Sidoarjo. Selamat beristirahat!

Avatar photo

Aldino Adry Baskoro

Alumnus astronomi ITB yang saat ini berprofesi sebagai pendidik di sekolahalam Minangkabau dan penulis di langitselatan.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini