Pada pergantian tahun 2007-2008, antara 28 Des 2007-1 Jan 2008, beberapa praktisi dunia astronomi yang tergabung dalam UNAWE (Universe Awareness) Indonesia, melakukan ekspedisi perdana, untuk memperkenalkan astronomi pada anak-anak sekolah tingkat dasar di beberapa daerah di pulau Jawa.
UNAWE diarahkan supaya generasi mengenal alam (semesta dan lingkungan). Ekspedisi ini diberi nama Trans-Java Star Party 2007-2008. Praktisi yang terlibat meliputi berbagai kalangan, dari profesional, seperti dosen di Dept. Astronomi ITB, LAPAN, BMG, Planetarium, Langitselatan, mahasiswa-mahasiswa astronomi. guru SD, astronom amatir dari HAAJ (Himpunan Astronomi Amatir Jakarta) serta wartawan Kompas. Sedangkan metode pengenalan yang diberikan berupa penyuluhan, permainan, pemutaran film serta peragaan alat yang berkaitan dengan astronomi, disesuaikan dengan jenjang umur anak-anak yang terlibat, serta daerah yang di kunjungi.
Ekspedisi dimulai pada 28 Desember 2007, berangkat dari Bandung, menempuh 12 jam perjalanan ke Jogjakarta. Setelah beristirahat, perjalanan dilanjutkan ke tujuan pertama, SDN Wungu, Madiun.
Ironi, pada saat yang bersamaan, di lokasi sekitar tujuan kegiatan terjadi bencana banjir dan tanah longsor, tetapi hal tersebut tidaklah menghalangi kegiatan ekspedisi bahkan mungkin bisa menjadi pelipur bagi anak-anak di sekitar lokasi bencana.
Oleh karena itu perjalanan dari Jogjakarta Madiun harus dimulai pagi hari pada 29 Desember 2007, dilakukan dengan perjalanan memutar melalui daerah yang lebih aman, meskipun lebih jauh, dengan resiko tanah longsor membayangi, tetapi itu terbayar dengan kesempatan untuk beristirahat di pantai Pacitan yang Indah. Dan perjalanan berlangsung aman, kendati sempat tertahan oleh tanah longsor. Madiun adalah sebuah kota dekat perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur, tidak terlalu jauh dari gunung Lawu.
Kejutan ketika tim mencapai tujuan pertama di Madiun, ternyata antusias masyarakat akan pengenalan ilmu astronomi sangat luar biasa. Dari sekitar 200-an siswa yang direncanakan hadir, ternyata membludak sampai 500-an siswa, dan tidak hanya SD, tetapi juga SMP ikut serta dalam kegiatan!
Karena keterlambatan akibat perjalanan yang panjang, acara yang seharusnya dimulai pada setelah Sholat Isya, jadi terlambat. Tetapi itu tidak menyurutkan minat anak-anak (dan juga guru-guru) yang penasaran dengan astronomi.
Kegiatan terbagi-bagi menjadi beberapa segmen, untuk anak-anak terdapat kelas kreatif yang berisi permainan dan prakarya yang berkaitan dengan ke-antariksa-an. Sedangkan untuk anak-anak yang lebih besar, ada pemutaran film serta kuis, peluncuran roket air, peragaan planetarium dan pengenalan teleskop.
Acara berlangsung sekitar dua jam, kendati masih banyak anak-anak yang belum terpuaskan keingin-tahuannya, tetapi karena sudah terlalu larut, maka acara harus dihentikan, karena keesokan harinya tim harus melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Selanjutnya tim beristirahat di kota Madiun.
Keesokan harinya, 30 Desember 2007, perjalanan dilanjutkan ke arah Timur, yaitu ke Porong, Sidoarjo, tempat pengungsi korban lumpur Lapindo. Tempat pengungsi Lapindo berada di suatu wilayah yang rencananya digunakan untuk pasar, tetapi karena bencana yang terjadi, maka pasar tersebut terpaksa beralih fungsi menjadi tempat tinggal. Suasana yang cukup mengharukan, karena sarana yang serba minim, ditambah dengan beban psikologis masyarakat yang tidak mempunyai kejelasan nasib, menyebabkan tim hanya mampir untuk sekedar bermain dengan anak-anak pengungsi, menghibur dan memberikan sedikit kelegaan ditengah suasana yang carut-marut.
Kegiatan di Porong tidak berlangsung lama, karena tim hanya sekedar bermain dan bernyanyi bersama anak-anak. Setelah kegiatan dirasakan cukup, perjalanan dilanjutkan ke arah gunung Bromo, sekedar berlibur, setelah dua hari yang melelahkan.
Setelah beristirahat satu malam, pada 31 Desember 2007, tim melanjutkan ke kota Malang, mengunjungi SD Dinoyo 2. Kembali tim dikejutkan oleh jumlah peserta yang meledak, dari 200 orang menjadi 700 orang! Kegiatan yang dilakukan hampir serupa seperti di Madiun, tetapi karena jumlah anak-anak yang lebih banyak, maka alokasi waktu yang dipergunakan juga lebih panjang dari rencana awal. Karena di Malang pada saat itu hujan, maka teleskop tidak dipergunakan, dan kegiatan dipusatkan di dalam kelas-kelas. Karena keinginan untuk memandangi langit adalah menu utama, tetapi di luar hujan, maka kegiatan yang paling menarik perhatian adalah planetarium. Mengenai planetarium, dapat dibaca pada tulisan yang lain.
Kegiatan berakhir lebih lama dari yang direncanakan, sehingga ketika kembali ke tempat menginap, semua anggota tim langsung tertidur kelelahan dan melewatkan malam tahun baru dalam mimpi.Memasuki tahun 2008, maka perjalanan selanjutnya adalah kembali ke barat, untuk pulang. Melalui beberapa jalur alternatif, perjalanan berlangsung lancar, kembali ke Jogjakarta untuk beristirahat satu malam, sekedar beristirahat sambil bermain di Malioboro, mampir ke Kraton Jogjakarta, dan akhirnya kembali ke Bandung.
Perjalanan yang melelahkan, tetapi menyenangkan, berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai daerah, untuk menghibur, bermain sambil berbagi pengetahuan tentang astronomi. Masih banyak anak-anak di daerah lain di Indonesia yang mempunyai keingintahuan yang besar tentang langit, tetapi belum mendapatkan informasi yang memadahi, dengan demikian, proyek UNAWE Indonesia di masa mendatang, bisa membantu lebih berbagi pengetahuan tentang langit untuk semakin banyak anak-anak Indonesia.
Artikel terkait : The Pilot Project of UNAWE Indonesia
slm kenal :
mas saya anak arsitektur ums ingin membuat planetarium, saya mau tanya syarat lokasi yang spesifik mengenai bangunan untuk observatorim itu apa aja? dan dinas apa aja yang mengurusi bidang ini ?
salam kenal juga…
kebetulan dulu sempat juga ada temen Arsitektur dari Makassar yang TA nya tentang planetarium dan banyak berdiskusi dengan saya. Ada satu hal yang mesti diluruskan dahulu yaitu ada perbedaan antara planetarium dan observatorium. Observatorium didunakan untuk mengamati objek-objek langit secara langsung. Kalau zaman dahulu ada beberapa situs kuno yang digunakan untuk pengamatan seperti matahari, bulan, dan objek langit lainnya. Bangunan ini dapat ditemukan di India, Amerika Selatan, China, maupun negeri di Timur Tengah. Observatorium modern merupakan bangunan tempat teleskop disimpan dan digunakan. Observatorium dilengkapi dengan atap yang bisa dibuka/tutup. Ada yang bertipe sliding roof, ataupun bentuk kubah dengan celah yang bisa dibuka dan ditutup. Sedangkan planetarium merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyimulasikan gerak langit dalam bentuk proyeksi gambar. Jadi planetarium lebih bersifat tidak melihat secara langsung objeknya. Planetarium modern menggunakan proyektor yang terhubung dengan komputer untuk menyimulasikan gerak langit. Nah, pada artikel portabel planetarium yang ada di langit selatan, planetarium yang digunakan menggunakan proyeksi dari lampu dengan tenaga baterai. Nah, yang ingin diketahui mas Tabah apakah tentang planetarium atau observatorium?
Untuk memilih lokasi untuk observatorium, syarat seperti apa yah pak? Dengar-dengar Bosscha sudah semakin sulit untuk mengamati bintang yang relatif redup akibat polusi cahaya. Apakah ada jarak minimal letak observatorium dari kota? Soalnya di beberapa forum diskusi ada juga yang menyuarakan perlunya observatorium yang letaknya dekat dengan lembaga penelitian (seperti ITB misalnya).