Tahun ini, tepatnya pada 21 Juli 2019 TU (Tarikh Umum) lalu, kita menyongsong setengah abad pendaratan manusia di Bulan dalam dunia yang sudah demikian berubah dan respon yang campur–aduk. Sebagian dari kita terkagum–kagum akan pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi tulang punggung misi antariksa beresiko tersebut, yang dalam beberapa hal terlalu primitif untuk ukuran masakini. Misalnya, sistem komputer masa itu bertumpu pada prosesor yang selambat siput apabila dibandingkan yang ditanam pada gawai–gawai pintar masakini. Pun kameranya, yang selain lebih lebih berat juga jauh lebih kompleks dibanding kamera berkeping elektronik modern.
Sebaliknya sebagian lainnya mencibir, mencoba denial dan menganggapnya sekedar konspirasi. Pun di Indonesia, negeri yang baru saja melewati tahap demi tahap pemilihan umum 2019, kegiatan elektoral tingkat nasional yang penuh dengan gelimang hoaks. Cacat fotografi di Bulan, besarnya radiasi di sabuk van–Allen hingga kenapa tiada lagi astronot yang mendarat di sana meski sudah berlalu setengah abad lamanya kembali diperbincangkan.
Jarang sekali di antara kita yang mencoba menarik benang merah antara program pendaratan manusia di Bulan dengan dinamika Perang Dingin. Padahal tanpa berkecamuknya Perang Dingin, peristiwa pendaratan manusia di Bulan boleh jadi takkan pernah terjadi hingga masakini. Setidaknya hingga berakhirnya abad ke-20 TU.
Perang Dingin merupakan peningkatan tensi geopolitik yang membentuk perang urat syaraf modern dan mengharu–biru umat manusia sejak usainya Perang Dunia 2 hingga empat dasawarsa kemudian kemudian. Tepatnya sejak 1947 TU hingga tercapainya perjanjian Malta di tahun 1991 TU. Itulah masa tatkala dunia seakan dipaksa memilih untuk berkubu pada salah satu dari dua kekuatan adikuasa. Yaitu blok kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat atau blok komunis yang digawangi Uni Soviet. Itulah pula rentang masa manakala aneka perseteruan bersenjata berlabel proxy war di antara kedua blok meletus. Mulai dari perang Korea, perang Arab Israel yang berbabak–babak, perang Vietnam, perang sipil Kamboja hingga transisi Orde Lama menuju Orde Baru yang berkuah darah di Indonesia.
Ketertinggalan
Perang dingin juga menjadi masa kala perlombaan senjata didorong jauh menjangkau titik paling ekstrim. Generasi kakek–nenek kita dan kedua orang tua kita menjadi saksi mata betapa kapal–kapal perang menjadi kian tambun yang berdaya gempur kian jauh, langit yang kian riuh oleh lesatan aneka pesawat tempur dan pengebom era jet dan pembangunan senjata–senjata mutakhir berkekuatan dahsyat menggentarkan seperti senjata nuklir. Dan perlombaan antariksa dimana pendaratan manusia di Bulan termasuk didalamnya, adalah turunan langsung dari perlombaan senjata.
Kala John F Kennedy menduduki tahta kepresidenan Amerika Serikat, adikuasa itu nyaris sepenuhnya tertinggal dalam penguasaan antariksa dibandingkan Uni Soviet. Negeri tirai besi, demikian julukan Uni Soviet kala itu, unggul dalam segala hal. Mereka lebih dulu meluncurkan satelit buatan pertama (Sputnik–1), meluncurkan makhluk hidup pertama (anjing bernama Laika), mengorbitkan manusia pertama ke langit (kosmonot Yuri Gagarin) dan bahkan menempatkan perempuan pertama ke orbit (kosmonot Valentina Tereshkova).
Kelak mereka pun unggul dalam melakukan perjalanan antariksa pertama (kosmonot Alexei Leonov), mengirimkan wantariksa (wahana antariksa) pendarat pertama ke Bulan dengan selamat (Luna–9) dan mengirim wantariksa pengorbit Bulan pertama yang bekerja baik (Luna–10). Sebaliknya Amerika Serikat terseok–seok dan hanya unggul dalam hal fotografi Bumi pertama dari langit (Explorer 6) serta peluncuran teleskop landas–antariksa pertama (Orbital Solar Observatory).
Kennedy juga melihat Amerika Serikat tertinggal dalam kancah penguasaan rudal balistik antarbenua (ICBM/inter continental ballistic missile), jenis senjata roket baru berhulu ledak nuklir yang berkekuatan menggentarkan. Baik di Amerika Serikat maupun Uni Soviet, pengembangan rudal balistik antarbenua merupakan turunan senjata V-2/A-4 yang dibangun Jerman di masa Perang Dunia 2. Namun Uni Soviet melangkah lebih maju meski mereka tak memboyong insinyur-insinyur top Jerman pascaperang sebagaimana yang dilakukan Amerika Serikat. Analisis badan–badan intelejen menunjukkan hingga tahun 1963 TU Uni Soviet akan memiliki 1.500 butir ICBM, jauh melampaui Amerika Serikat yang diperkirakan baru akan sanggup membangun 130 ICBM saja.
Uni Soviet telah mendemonstrasikan kemampuannya dalam membangun R-7 Semyorka (SS-6 Sapwood), rudal balistik antarbenua operasional pertama di dunia. Awalnya R-7 mampu menghantam sasaran sejauh 6.000 km saat uji terbang di bulan Agustus 1957. Setahun kemudian Soviet bahkan mampu meningkatkan kemampuannya sehingga bisa menjangkau jarak 13.000 km. Soviet pun bereksperimen lebih lanjut dengan memodifikasi R-7 sebagai kuda beban pendorong Sputnik–1 dan wantariksa berikutnya ke orbit. Turunan teknologi rudal balistik R-7 inilah yang tetap dipergunakan hingga saat ini sebagai keluarga roket Soyuz yang mencetak rekor sebagai roket yang paling banyak diluncurkan, yakni lebih dari 1.840 peluncuran sejak 1966 TU. Roket Soyuz sekaligus merupakan roket yang paling andal dan termurah, khususnya sebelum tibanya era roket Falcon 9 dari SpaceX.
Keunggulan dalam hal penguasaan teknologi dan jumlah rudal balistik antarbenua tak sekedar mendemonstrasikan superioritas Soviet. Itu juga menciptakan kekhawatiran ketidakseimbangan kekuatan militer, yang secara langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya. Perasaan inferior itu tak hanya menjangkiti pucuk pimpinan Amerika Serikat, namun juga meluas hingga ke lapisan–lapisan masyarakat. Dan Kennedy ingin membalikkan situasi itu.
Pertimbangan geopolitik dan strategis militer itulah yang menjadi landasan Kennedy menetapkan program pendaratan manusia di Bulan sebagai salah satu tujuan nasional Amerika Serikat yang baru. Orang Amerika Serikat harus mendarat di Bulan dan kembali lagi ke Bumi dengan selamat sebelum dekade 1960–an Tarikh Umum berakhir. Begitu tekatnya, berapapun biayanya. Program penerbangan antariksa Amerika Serikat pun bertransformasi dari sekedar upaya ala kadarnya berbumbu persaingan antar angkatan dalam tubuh militer menjadi sebuah usaha tersistematis dan massif di bawah administrasi sipil baru bernama NASA dengan tujuan sangat jelas : Bulan.
Program Apollo
Tembakan senapan runduk menutup usia Kennedy secara tragis di jalanan kota Dallas, Texas, pada 22 November 1963 TU. Namun bangunan dasar penerbangan antariksa Amerika Serikat tak berubah meski presidennya silih berganti. Lewat Program Ranger(1961–1965) yang setengah babak–belur, Amerika Serikat mendapatkan pelajaran berharga dalam mengorganisasi pengiriman wantariksa tak berawak ke Bulan. Program Surveyor (1966–1968) menumbuhkan dan melipatgandakan rasa percaya diri, dimana wantariksa tak hanya sekedar memotret namun juga memetakan sebagian wajah Bulan secara sistematis. Baik Program Ranger maupun Program Surveyor meletakkan anak–anak tangga yang dibutuhkan bagi Program Apollo, payung bagi pendaratan manusia Amerika Serikat di Bulan.
Neil Armstrong dan Edwin Aldrin memang menjadi dua orang pertama yang menapakkan kaki di Bulan. Akan tetapi tak hanya mereka saja yang pernah berkeliaran di wajah sang candra. Secara keseluruhan terdapat dua belas orang yang pernah mendarat dan mengeksplorasi Bulan. Empat diantaranya masih hidup hingga saat ini. Sebaliknya juga ada dua belas orang pula yang pernah meninggalkan orbit Bumi guna mengorbit sang candra, dengan empat diantaranya telah berpulang.
Di balik langkah–langkah ke–24 orang tersebut, terhampar upaya pengerahan sumber daya manusia dan finansial dalam skala raksasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan belum pernah terulang lagi hingga masakini.
Fisika pendaratan manusia di Bulan dapat disederhanakan sebagai upaya memacu kecepatan sampai hampir melepaskan diri dari pengaruh gravitasi Bumi sembari mengarah ke kedudukan Bulan. Upaya tersebut akan mewujud dalam sebentuk orbit sangat lonjong (ellips) dengan titik terjauh dalam pengaruh kuat gravitasi Bulan. Selanjutnya giliran memperlambat kecepatan hingga bisa memasuki orbit Bulan dan lantas mendarat di paras Bulan dengan lembut.
Dalam praktiknya fisika pendaratan manusia di Bulan menyediakan tiga metode, yakni metode pendaratan langsung, metode perakitan di orbit Bumi dan metode perakitan di orbit Bulan. Metode pendaratan langsung bisa mengirimkan wantariksa berawak tiga astronot langsung ke permukaan Bulan dengan roket berkekuatan tinggi. Namun roket yang dibutuhkan bakal sangat besar. NASA pernah menyiapkan konsep roket Nova, yang diproyeksikan mampu mengangkut 74 ton muatan ke permukaan Bulan. Akan tetapi dengan bobot diperhtungkan hampir 4.500 ton saat peluncuran, Nova dipandang tidak layak secara teknis dan ongkos pembangunannya bakal sangat mahal.
Metode perakitan di orbit Bumi (EOR/earth orbit rendezvous) dipandang lebih murah, tetapi juga lebih kompleks. Pada dasarnya metode ini merupakan variasi dari metode pendaratan langsung, dimana komponen-komponen wantariksanya diluncurkan satu persatu ke orbit rendah Bumi untuk kemudian digandengkan satu dengan yang lain. Peluncuran tambahan harus dilakukan pula guna mengisi bahan bakar roket transfer yang bakal mendorong wantariksa yang sudah tergabung itu ke orbit Bulan. NASA memperhitungkan dibutuhkan 10 hingga 15 peluncuran dengan menggunakan roket Saturnus 1 yang sedang dibangun dan memiliki kapasitas angkut 9 ton ke orbit rendah.
Metode ini tidak menjadi pilihan, selain karena dipandang terlalu kompleks, juga ada kekhawatiran akan penguasaan teknologi penggandengan di langit (orbital rendezvous). Meski kekhawatiran terakhir itu terbukti tak beralasan setelah NASA mengujicobanya lewat misi antariksa berawak di bawah tajuk Program Gemini dengan hasil memuaskan.
Pada akhirnya metode ketiga-lah, yakni perakitan di orbit Bulan (LOR/lunar orbit rendezvous) yang dipilih. Selain yang termurah, metode ini juga hanya membutuhkan satu kali peluncuran roket sehingga jauh lebih efisien. Dengan metode ini pula diperhitungkan impian Kennedy dapat dilaksanakan sebelum dasawarsa 1960-an Tarikh Umum berakhir dengan tenggat waktu yang lebih rasional.
Lewat metode ini maka wantariksa Bulan terbagi atas modul komando, modul layanan dan modul pendarat. Modul pendaratnya dapat dibuat lebih kecil dan dirancang hanya beroperasi di lingkungan bergravitasi rendah seperti Bulan. Ketiganya diluncurkan secara bersama-sama dalam satu roket. Kala tahap transfer ke Bulan dimulai, ketiga modul itu pun digandengkan membuat ketiga astronot memiliki ruang gerak lebih leluasa selama 3 hari mengarungi langit saat berangkat ke Bulan.
Baru setibanya di orbit Bulan, modul pendarat memisahkan diri dan melaksanakan tugas pendaratan di Bulan dengan dua astronot. Usai bertugas, sebagian modul ini (khususnya bagian atas) akan mengangkasa kembali untuk bergandengan dengan modul komando. Begitu kedua astronot dan sampel-sampel batuan/tanah Bulan telah dipindahkan ke modul komando, sisa modul pendarat pun dilepaskan di orbit Bulan. Hanya modul komando inilah yang akhirnya kembali ke Bumi sementara modul layanan dilepaskan di orbit Bumi.
Sangat Mahal
Pilihan terhadap metode perakitan di orbit Bulan membuat NASA memutuskan membangun roket raksasa Saturnus 5, roket terbesar dan terkuat yang pernah dibuat manusia hingga masa kini. Sebagai roket bertingkat tiga yang menjulang setinggi 111 meter dan bobot 2.900 ton, Saturnus 5 memiliki kapasitas angkut 140 ton ke orbit rendah Bumi (ketinggian 170 km). Kapasitas tersebut mencukupi guna mendorong gabungan modul pendarat Bulan, modul layanan dan modul komando berbobot 30 ton ditambah roket transfer yang bobotnya 90 ton.
Daya dorong akumulatif 3.600 ton timbul kala kelima mesin roket jumbo di tingkat pertamanya dinyalakan. Gabungan kelima mesin itu sungguh rakus, menyedot tak kurang dari 12,5 ton campuran kerosen dan pengoksid dalam tiap detiknya. Daya dorong yang luar biasa itu membuat sensor–sensor pengukur gempa bumi yang berada di segenap daratan Amerika Serikat riuh bergetar manakala roket raksasa ini mulai mengangkasa dari landasan nomor 39A di kompleks peluncuran Tanjung Canaveral, Florida.
Meski telah memilih metode yang paling murah dan paling efisien, begitupun Program Apollo membuat Amerika Serikat harus merogoh koceknya dalam-dalam. Sempat terbelalak menatap usulan anggaran hampir US $ 90 milyar (berdasarkan nilai mata uang 2018) diajukan ke meja kerjanya di Gedung Putih, Kennedy lalu menandatanganinya tanpa banyak cingcong. Kelak anggaran program pendaratan manusia di Bulan membengkak hingga US $ 158 milyar. Itu belum terhitung anggaran Program Ranger (US $ 1 milyar) dan Program Surveyor (US $ 3 milyar). Bayangkan saja, untuk setiap peluncuran roket raksasa Saturnus 5 dibutuhkan dana US $ 1,16 milyar. Sementara Program Apollo meluncurkan 13 roket Saturnus 5 sepanjang periode 1967 hingga 1975 TU.
Jika kita rupiahkan, anggaran Program Apollo setara dengan Rp 2.200 trilyun (berdasarkan kurs 2018). Sehingga ongkos tiket setiap astronot yang terbang ke Bulan saat itu mencapai Rp 91 trilyun.
Selain dana luar biasa besar, Amerika Serikat juga mengerahkan sumber daya manusia terbaiknya dalam skala yang belum pernah ada. Pada puncaknya Program Apollo mempekerjakan 400.000 orang yang melibatkan 20.000 firma industri dan universitas di segenap penjuru. Di bawah pimpinan Wernher von Braun, pionir peroketan kelahiran Jerman yang bermigrasi ke Amerika Serikat di akhir era Perang Dunia 2, semua itu ditujukan membangun roket raksasa Saturnus 5 dengan modul pendarat, modul layanan dan modul komandonya beserta sistem komunikasi jarak jauh Bumi dan Bulan.
Mobil Bulan
Peluncuran Apollo 11 menyedot perhatian yang sangat besar. Lebih dari sejuta orang berjejalan di tepi pantai dan tepi jalan raya pada jarak yang aman dari landasan nomor 39A. Tokoh-tokoh penting sipil dan militer, termasuk para menteri, gubernur negara bagian, beberapa walikota, duta-dutabesar negara tetangga dan anggota Kongres hadir di panggung kehormatan menyaksikan peluncuran tersebut. Sekitar 25 juta warga Amerika Serikat menyaksikannya lewat siaran langsung stasiun-stasiun televisi. Dunia kian memperhatikannya manakala Armstrong menapakkan kaki di Bulan, disusul Edwin Aldrin. Meski hanya 21,5 jam di paras Bulan dengan hanya 2,5 jam diantaranya yang benar-benar digunakan untuk mengekplorasi wajah sang candra.
I've been watching the Apollo in Real-Time project and saw this gorgeous shot during Apollo 11's launch. Check out the shockwaves and shadow as the Saturn V rises through the clouds.
This clip is taken from @NBCNews' broadcast.https://t.co/YOnbT6lATH pic.twitter.com/WyYfb5riGI
— Brady Kenniston (@TheFavoritist) July 15, 2019
Penerbangan Apollo berikutnya tak pernah meraih perhatian sebesar yang diterima Apollo 11. Histeria massa tak terlihat dalam penerbangan Apollo 12 (14 – 24 November 1969 TU), meskipun peluncurannya jauh lebih dramatis (dihempas angin kencang 152 knot dan 2 kali disambar petir) serta mencatat prestasi baru sebagai pendaratan presisi pertama. Penerbangan Apollo 13 (11-17 April 1970 TU) sempat hendak bernasib serupa, sebelum tragedi meledaknya tanki Oksigen yang melumpuhkan total modul layanan menyedot perhatian besar. Misi antariksa berawak ke Bulan pun berubah menjadi misi penyelamatan para astronot. Dan pilihan metode perakitan di orbit Bulan menjadi salah satu kunci penyelamat. Modul pendarat yang nganggur memungkinkan para astronot memodifikasinya sebagai sekoci penyelamat sepanjang sisa misi antariksa yang nyaris berubah bencana itu.
Misi Apollo 14 dan misi-misi antariksa berawak ke Bulan berikutnya (hingga yang terakhir Apollo 17) dipandang sebagai rutinitas NASA belaka. Apollo 14 (31 Januari – 9 Februari 1971 TU) masih melanjutkan eksplorasi Bulan dengan berjalan kaki. Mulai misi Apollo 15 (26 Juli – 7 Agustus 1971 TU), NASA memanfaatkan mobil Bulan sebagai bagian eksplorasi. Mobil Bulan memungkinkan astronot menjelajah lebih jauh ketimbang berjalan kaki. Pada misi Apollo 15, mobil Bulan menempuh jarak hinga 27,8 km. Pada misi Apollo 16 (16-27 April 1972 TU), mobil Bulan menempuh jarak sedikit lebih pendek yakni 27,1 km. Dan pada misi yang terakhir yakni Apollo 17 (7 – 19 Desember 1972 TU), mobil Bulan menempuh jarak yang terjauh hingga 35,74 km. Apollo 17 sekaligus menjadi satu-satunya misi pendaratan manusia di Bulan yang membawa seorang astronot sipil. Yaitu ahli kebumian bernama Harrison Schmitt.
Mengalahkan Soviet
Dipandang dari perspektif politik dan strategi militer, program pendaratan manusia di Bulan pada dasarnya telah mencapai kulminasinya pada misi Apollo 11. Imajinasi bahwa Amerika Serikat telah menang dalam balapan manusia menuju ke Bulan menguasai dunia masa itu. Selepas itu perhatian mulai menyurut dan penerbangan antariksa berawak ke Bulan dipandang mulai menjadi rutinitas, terkecuali pada misi Apollo 13. NASA sendiri telah merencanakan 10 misi pendaratan manusia di Bulan, namun mereka pun mengantisipasi kemungkinan pemotongan anggaran.
Dan benarlah demikian. Di masa kepresidenan Nixon-lah nasib Program Apollo berakhir. Selain dihadapkan pada intensitas Perang Vietnam yang kian meningkat, kian mahal dan makin tak populer di dalam negeri, secara personal Nixon tak menyukai gemuruh penerbangan antariksa yang gemanya terlalu membahana layaknya Program Apollo. Nixon memang menyaksikan para astronot Amerika Serikat satu persatu mendarat di Bulan. Namun ia juga yang mengayunkan kapak pemotong anggaran NASA. Sehingga Program Apollo pun harus berakhir di Apollo 17 dengan Apollo 18 hingga Apollo 20 harus dibatalkan. Seolah meramalkan masa depan, Nixon berujar takkan lagi ada manusia yang mendarat di Bulan hingga abad ke-20 TU berakhir. Ia memang benar.
Nixon memang mengakhiri sebuah era yang dibiayai anggaran berskala raksasa dan ditenagai oleh sumber daya manusia yang tak kalah luar biasa. Sebuah era yang menjadi penanda bahwa Amerika Serikat telah mengungguli Uni Soviet dalam kancah eksplorasi manusia di Bulan. Tanpa tanding.
Di Uni Soviet, walaupun menampakkan kesan enggan berkompetisi sesungguhnya mereka diam–diam juga berupaya mendaratkan manusia di Bulan. Lewat dekrit Nikita Khruschev pada 1964 TU, negeri beruang merah itu memasang tahun 1967 TU sebagai tenggat waktu pendaratan kosmonotnya di Bulan. Tenggat itu lalu direvisi mundur setahun menjadi 1968. Namun dana yang terbatas, desain bangunan roket yang sangat kompleks, berpulangnya sang maestro Sergei Korolev (yang secakap von Braun) secara mendadak pada awal tahun 1966 dan gagalnya ujicoba penerbangan roket Bulannya secara berturut–turut membuat kosmonot Soviet tetap berkutat di titik nol. Tak pernah berhasil pergi ke Bulan.
Salah satu kegagalan yang menyesakkan terjadi hanya dua minggu jelang penerbangan Apollo 11. Roket N–1, sang raksasa bertingkat 5 dengan tinggi 105 meter dan bobot 2.750 ton yang dirancang bakal menjadi kuda beban Soviet ke Bulan, gagal terbang. Hanya 10 detik pasca lepas landas, manakala baru mencapai ketinggian 100 meter, mendadak 29 mesin roket tingkat pertamanya mati. Hanya tersisa sebuah mesin saja yang berfungsi normal. Akibatnya roket terberat kedua sedunia dengan daya dorong terbesar (4.600 ton) itu pun kembali mencium Bumi, meledak dan terbakar hebat selama berjam–jam kemudian hingga menghancurkan landasannya.
Bencana ini menandai satu dari empat kegagalan ujicoba terbang roket N–1 selama kurun 1969 hingga 1972 TU. Setelah menyaksikan 12 astronot Amerika Serikat sukses mengeksplorasi Bulan, akhirnya Leonid Brezhnev sang supremo Soviet pasca Nikita memutuskan lempar handuk. Pada tahun 1974 TU ia menghentikan segenap upaya negara beruang merah itu untuk mengirim kosmonotnya ke Bulan. Dunia baru mengetahui semua cerita ini berbelas tahun kemudian, manakala Perang Dingin sudah berakhir dan Uni Soviet tepat di pintu keruntuhan.
Diterbitkan kembali dari artikel sama yang ditulis penulis di Ekliptika .
Tulis Komentar