fbpx
langitselatan
Beranda » Kelimpahan Bintang Masif Di Galaksi Starburst

Kelimpahan Bintang Masif Di Galaksi Starburst

Untuk memahami pembentukan galaksi dan evolusinya para astronom melakukan pengamatan galaksi starburst yang terbentuk saat alam semesta masih muda dan pembentukan bintang di Nebula Tarantula.

Ilustrasi Galaksi Starbyrst yang memiliki laju kelahiran bintang yang sangat tinggi. Kredit: ESO/M. Kornmesser
Ilustrasi Galaksi Starburst yang memiliki laju kelahiran bintang yang sangat tinggi. Kredit: ESO/M. Kornmesser

Pengamatan dilakukan pada empat galaksi jauh yang masih muda dan informasi yang diterima datang dari masa ketika alam semesta masih muda. Keempat galaksi tersebut merupakan galaksi starburst dengan laju kelahiran bintang ratusan sampai ribuan kali lebih tinggi dibanding galaksi lain pada umumnya. Diharapkan dari pengamatan ini para astronom bisa memperoleh informasi terkait pembentukan bintang maupun laju kelahiran mereka di sebuah galaksi.

Galaksi starburst yang diamati merupakan galaksi awal yang terbentuk ketika ketika alam semesta masih sangat muda. Dengan demikian, bintang yang diamati juga bintang generasi awal yang terbentuk dari sisa pembentukan bintang sebelumnya. Itu artinya, tidak banyak babak pembentukan bintang yang sudah dilalui.  Jika tidak, senyawa kimia pembentuk bintang akan lebih kompleks dibanding bintang generasi awal.

Tujuannya pengamatan ini untuk mengetahui perbandingan bintang masif yang ada di keempat galaksi tersebut dibanding galaksi lainnya. Dengan mengetahui perbandingan bintang dengan massa berbeda pada sebuah galaksi, kita bisa mengetahui pembentukan dan evolusi galaksi.

Menelusuri Karbon Monoksida di Galaksi Starburst

Empat Galaksi Starburst jauh yang diamati ALMA. Kredit: ALMA (ESO/NAOJ/NRAO), Zhang et al.
Empat Galaksi Starburst jauh yang diamati ALMA. Kredit: ALMA (ESO/NAOJ/NRAO), Zhang et al.

Untuk mengetahui distribusi massa pada galaksi starburst yang diselimuti debu tentu tidak mudah. Cahaya dalam panjang gelombang ultraungu, optik maupun inframerah terhalang debu. Karena itu pengamatan dilakukan dengan teleskop radio ALMA (Atacama Large Millimeter/submillimeter Array).

Yang dicari pada pengamatan ini adalah karbon monoksida (CO) dengan isotop berbeda. Tujuannyan untuk membandingkan kelimpahan tipe karbon monoksida yang berbeda tersebut. Dengan cara ini kita bisa mengetahui distribusi massa bintang pada galaksi.

Sebuah teknik baru yang mirip penanggalan radiokarbon dikembangkan oleh Zhi-Yu Zhang dari Universita Edinburgh untuk mengukur kelimpahan berbagai tipe karbon monoksida yang ada di empat galaksi jauh yang diselimuti debu tersebut. Teknik penanggalan radiokarbon merupakan metode penanggalan radiometrik yang menggunakan isotop karbon-14 (14C) untuk menentukan usia material bahan organik.

Dalam pegamatan ini, yang diteliti adalah isotop 13C dan 18O. Kedua isotop ini termasuk stabil dan  kelimpahannya terus meningkat selama masa hidup galaksi, sebagai akibat proses sintesa oleh reaksi fusi nuklir di dalam bintang.

Mengapa karbon monoksida?

Molekul gas CO ini terbentuk saat nukleosintesis ketika unsur-unsur kimia terbentuk di alam semesta. Tapi, isotop karbon dan oksigen memiliki asal muasal yang berbeda.

Isotop 18O lebih banyak diproduksi pada bintang masif sedangkan 13C justru dihasilkan oleh bintang massa rendah dan menengah. Dengan teknik baru ini para astronom berhasil menembus blokade debu dan mengetahui massa bintang yang ada di galaksi starburst.

Massa bintang merupakan komponen penting untuk menentukan jejak evolusi bintang. Bintang yang masif akan bersinar sangat terang tapi kala hidupnya juga pendek. Pada umumnya bintang-bintang ini berakhir dalam ledakan supernova. Untuk bintang massa menengah seperti Matahari, kecerlangannya lebih redup dibanding bintang masif tapi masa hidupnya jauh lebih panjang sampai miliaran tahun. Apalagi bintang bermassa rendah. Meskipun cahayanya jauh lebih redup, tapi masa hidupnya luar biasa panjang.

Baca juga:  Dulu Panas Bak Bintang, Sekarang Dingin Bak Planet!

Dari distribusi massa bintang pada sebuah galaksi, bisa diketahui elemen kimia yang tersedia untuk pembentukan bintang dan planet baru. Selain itu, jumlah lubang hitam yang akan berkoalisi membentuk lubang hitam supermasif pada pusat galaksi bisa diketahui.

Pengamatan ALMA memberikan informasi menarik. Perbandingan kelimpahan isotop 13CO terhadap  C18O sepuluh kali lebih tinggi pada galaksi starburst muda dibanding rasio isotop yang sama pada galaksi lain seperti Bimasakti.

Hasil ini memperlihatkan kalau bintang masif yang sangat panas, terang dan memiliki kala hidup pendek jauh lebih banyak di galaksi starburst. Usia bintang yang pendek membuat bintang-bintang ini mengakhiri hidupnya dengan cepat dalam ledakan supernova. Materi yang terlontar inilah yang jadi cikal bakal bintang generasi berikutnya.

Bintang Masif di Nebula Tarantula

Palung kelahiran bintang raksasa, Nebula Tarantula. Kredit: ESO
Palung kelahiran bintang raksasa, Nebula Tarantula. Kredit: ESO

Penelitian serupa juga dilakukan oleh tim astronom yang dipimpin Fabian Schneider dari Universitas Oxford, UK. Yang diamati bukan galaksi jauh tapi sebuah palung kelahiran bintang pada galaksi tetangga.

30 Doradus a.k.a Nebula Tarantula yang berada di Awan Magellan Besar ini diisi oleh banyak sekali gugus bintang. Setidaknya ada 800000 bintang dan protobintang di palung kelahiran bintang tersebut.

Untuk mengetahui distribusi massa dan umur bintang di Nebula Tarantula, pengamatan dilakukan dengan Very Large Telescope (VLT) di Observatorium Paranal, Chile. Yang diamati 800 bintang dan 247 di antaranya memiliki massa lebih dari 15 massa Matahari.

Hasil pengamatan di Nebula Tarantula memperlihatkan kesesuaian dengan hasil pengamatan 4 galaksi starburst yang cahayanya datang dari alam semesta dini. Para astronom menemukan 30% bintang di Nebula Tarantula memiliki massa lebih dari 30 massa Matahari. Yang lebih mengejutkan 70% sisanya memiliki massa 60 massa Matahari!

Pembentukan bintang-bintang masif di Nebula Tarantula dimulai 8 juta tahun lalu dan dalam satu juta tahun terakhir laju pembentukan bintang justru turun.

Dari seluruh bintang yang diamati, 15 – 40% bintang memperoleh massanya dari hasil transfer massa bintang pasangan. Transfer massa pad abintang ganda memang merupakan salah satu cara untuk menghasilkan bintang masif dan membuat bintang-bintang tersebut tampak lebih muda dari usia sebenarnya.

Hal menarik lainnya, bintang termasif yang ditemukan di Nebula Tarantula adalah VFTS 1025 (atau R136c). Massanya 203 massa Matahari. Hasil analisis memperlihatkan kalau sebuah bintang bisa terbentuk dengan massa maksimal 300 massa Matahari. Batasan ini melampaui prediksi sebelumnya yakni 150 massa Matahari.

Dari penelitian ini muncul juga pertanyaan apakah pembentukan bintang di 30 Doradus memiliki proses berbeda. Akan tetapi penemuan ini justru menjadi tantangan tersendiri untuk teori evolusi galaksi yang ada saat ini, sekaligus mengubah pemahaman kita akan sejarah pembentukan bintang dan elemen kimia di alam semesta. Seperti apa sejarah kosmos jadi pertanyaan yang perlu dijawab.

Baca juga:  Serigala Penghembus Angin Badai
Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini