Pesan singkat itu mengagetkan komunitas astronomi di Indonesia. Suhardja D. Wiramihardja, astronom Indonesia yang pada masa purnabaktinya aktif meneliti etnoastronomi Sunda, meninggal pada tanggal 9 Agustus 2017.
Dosen yang rendah hati dan penuh humor itu telah pergi. Kepergiannya yang mendadak mengagetkan seluruh komunitas astronomi di Indonesia. Bagi mereka yang mengenalnya, Prof. Suhardja D. Wiramihardja terkenal ramah dan kocak. Bahkan di dalam bus menuju pemakamannya, riuh rendah cerita rekan-rekannya tidak lepas dari berbagai cerita humor yang pernah ia sampaikan.
Prof. Suhardja D. Wiramihardja atau yang akrab dipanggil Pak Hardja merupakan salah satu astronom senior di Indonesia, dan salah satu Guru Besar di Astronomi ITB. Ia memulai karirnya sebagai dosen Astronomi ITB pada tahun 1976 dan pembawaannya yang riang dan ramah membuat Pak Hardja mudah akrab dengan siapa saja termasuk anak-anak didiknya.
Tidak ada mahasiswa yang tidak mengenal Pak Hardja. Apalagi mahasiswa baru Astronomi ITB. Selama hampir dua dekade, Pak Hardja merupakan dosen wali bagi mahasiswa baru di Astronomi ITB, termasuk saya. Dari Pak Hardja-lah, seluruh mahasiswa astronomi bisa mengenal seperti apa bidang ilmu yang akan digelutinya selama 4 tahun mendatang atau bahkan lebih.
Bagi mahasiswa Atsronomi ITB pada era saya, dan sebelumnya, pertemuan dengan Pak Hardja minimal terjadi 2 tahun sekali saat kami harus memilih mata kuliah di semester yang akan berlangsung. Sebagai dosen wali, Pak Hardja punya peran penting dalam memperhatikan mahasiswa-mahasiswanya. Kuliah apa saja yang belum selesai dan apa yang akan diambil, jadi bahan diskusi meski dengan cara yang kadang penuh canda.
Dengan gayanya yang khas, Pak Hardja memperkenalkan astronomi pada mahasiswa baru dalam kuliah Pengantar Astronomi. Sekilas tentang kelas bintang yang diberi mnemonic Oh, Be A Fine Girl, Kiss Me, kami pelajari dalam kuliah ini. Cerita lengkap tentang kelas-kelas bintang ini baru ditelaah lebih lanjut saat kuliah Astrofisika bersama (alm) Djoni Dawanas, yang juga rekan semasa kuliah dan pengajar di ITB.
Bagi Pak Hardja, “Astronomi bukan hanya sains tentang dirinya sendiri, melainkan ilmu yang juga menginspirasi perkembangan sains lainnya. Astronomi juga bisa merangsang manusia untuk memperluas wawasan dan mengembangkan imajinasi.”
Di astronomi, kita tidak bisa memegang benda-benda yang dipelajari. Alam semesta itu sendiri laboratorium maharaksasa yang hanya bisa kita amati dan pelajari dari jauh. Dengan apa? Cahaya yang diterima!
Setelah pengantar astronomi, para mahasiswa akan bertemu Pak Hardja di kuliah yang juga jadi keahliannya. Fisika Galaksi dan Laboratorium Astronomi.
Cacah bintang dan fotometri UBV jadi salah satu bahan presentasi yang seringkali menghantui penulis. Pak Hardja memang senang bercanda. Tapi, kalau sudah berurusan dengan diagram sistem UBV, saya bisa menghabiskan seluruh waktu kuliah selama hampir dua jam hanya untuk bolak balik menjelaskan dan selalu saja masih dianggap ada yang kurang!
Orion Itu… punya saya!
Lahir di Tasikmalaya, 10 Juni 1945, Pak Hardja memulai kiprahnya di astronomi saat ia kuliah di Astronomi ITB pada tahun 1967, setelah sebelumnya menghabiskan 2 tahun kuliah di Universitas Padjajaran.
“Alasannya masuk astronomi juga sangat sederhana. Astronomi itu romantis! Melihat langit dengan bintang-bintang itu sangat romantis”, kata Taufiq Hidayat, Guru Besar Astronomi ITB yang juga mantan Direktur Observatorium Bosscha.
Keromantisan inilah yang kemudian membawa Pak Hardja menjadi orang sunda pertama yang namanya muncul dalam jurnal Astronomi internasional. Ini terjadi pada tahun 1978 saat makalah pertama Pak Hardja sebagai penulis kedua yang dikerjakan bersama pembimbingnya, Bambang Hidayat, diterbitkan di jurnal Astronomy & Astrophysics.
Makalah ini memaparkan pengamatan Nova Sgr 1977 yang dilakukan dengan teleskop Schmidt di Observatorium Bosscha. Pengamatan yang dilakukan bersama pembimbingnya, Bambang Hidayat, memperlihatkan kehadiran Nova Sgr 1977 dalam fotometri NGC 6638 yang mereka lakukan dari bulan Mei – Juni 1977. Hasilnya, kecerlangan absolut Nova Sgr 1977 berhasil diketahui yakni -6,5 magnitudo dan nova ini tergolong nova yang lambat karena butuh waktu lama sampai peristiwa ini berakhir.
Selama berkiprah di astronomi, Pak Hardja terkenal karena menekuni Struktur Galaksi. Salah satu teleskop yang jadi teman bermainnya di Observatorium Bosscha adalah teleskop Schmidt. Dengan teleskop ini Pak Hardja mempelajari keberadaan loose group, salah satu kelas dalam asosiasi bintang yang anggotanya lebih sedikit dibanding gugus terbuka. Cirinya, bintang-bintang yang diduga sebagai anggota loose group ini akan tampak ‘bergerombol’ dari survei teleskop Schmidt.
Dalam penelitiannya, Pak Hardja mencari tahu apakah loose group atau gugus yang tidak terlalu terkonsentrasi distribusinya ini memang ada. Ini dilakukan untuk telaah kelengkungan Bima Sakti dilihat dari distribusi bintang di dalam galaksi. Menurut Pak Hardja, stellar loose group memiliki distribusi yang mirip gugus bola dan penting untuk struktur galaksi. Butuh waktu panjang untuk meneliti keberadaan loose group dan di dunia tidak banyak yang meneliti karena tidak seeksotis gugus lainnya. Apalagi penelitian ini dilakukan pada masa plat fotografi. Tidak mudah untuk bisa mengenali stellar loose group.
Kiprah Pak Hardja untuk teleskop Schmidt di Observatorium Bosscha juga penting. Beberapa modernisasi Teleskop Schmidt dilakukan oleh Pak Hardja. Diantaranya, plat hipersensitivitas untuk meningkatkan sensitivitas plat fotografi sehingga limiting magnitudo atau batas kecerlangan yang bisa dipotret jadi lebih tinggi dan mengatasi masalah polusi cahaya. Dengan adanya plat hipersensitivitas, plat jadi kurang sensitif pada daerah polusi cahaya tapi justru lebih sensitif pada distribusi energi terntentu di langit. Plat hipersensitivitas yang dibawa Pak Hardja dari Jepang ini dipasang di Teleskop Schmidt di Bosscha dan terus dipakai sampai era plat fotografi berakhir ketika Kodak berhenti memproduksi plat.
“Saat dilakukan hipersensitivitas di Schmidt, profil Pak Hardja itu paling hightech. Observatorium Bosscha tidak pernah mengoperasikan gas dalam tabung besar, dan Pak Hardja jadi orang pertama yang operasikan itu untuk menyediakan nitrogen cair ke plat. Ini butuh standar keselamatan yang tinggi. Ilmu ini baru saya pelajari di era CCD, dan Pak Hardja sudah paham bahkan mengajarkan ini ke karyawan Bosscha jauh sebelum itu”, kata Hakim L. Malasan, dosen Astronomi ITB dan mantan Wakil Presiden Divisi C Education, Outreach and Heritage untuk IAU.
Salah satu pekerjaan Pak Hardja yang banyak dirujuk (lebih dari 250 sitasi) adalah penelitian kompleks pembentukan bintang di Nebula Orion. Penelitian ini dilakukan bersama pembimbingnya saat studi S2 dan S3, Tomokazu Kogure dari Universitas Kyoto. Pak Hardja melakukan penelitian di kompleks Orion, yang merupakan salah satu daerah pembentukan bintang baru yang mengandung banyak sekali obyek muda.
Idenya, pada saat itu, para astronom fokus untuk menelaah pusat kompleks Orion dimana terkonsentrasi awan gelap dan tanda-tanda pembentukan bintang baru lainnya. Dengan pemikiran yang “out of the box”, Pak Hardja dan rekan-rekannya di Universitas Kyoto justru menelaah area yang jauh dari pusat. Idenya, keberadaan asosiasi bintang OB yang panas bisa memicu pembentukan bintang baru tidak hanya di pusat, tapi juga di area lainnya. Maka dicarilah bintang-bintang kelas T-Tauri di kompleks Orion dengan luas medan pengamatan 300 derajat persegi. Pada umumnya, para astronom ahanya menelaah 30 derajat persegi di area pusat Orion.
Hasilnya, dari 1220 bintang emisi, dari tipe T-Tauri yang dideteksi, 804 diantaranya merupakan penemuan baru dari hasil pengamatan Pak Hardja dan rekan-rekannya!
Dengan rujukan (sitasi makalah) yang lumayan ini, saya merasa kompleks Orion itu “milik” saya. Begitu bangganya, kalau saya melihat artikel baru yang membahas kompleks Orion, yang saya lihat pertama adalah judul, kemudian penulis, dan referensinya. Kalau dalam referensi ada nama saya, artikel tersebut saya baca. Kalau tidak ada, lewat! – Suhardja D. Wiramihardja dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar pada tahun 2010.
Olahraga untuk kesehatan!
Kontribusi penting Pak Hardja tidak hanya untuk astronomi di Indonesia. Ia juga punya kontribusi lain yang tidak kalah penting di ITB.
Selain astronom, Pak Hardja juga Koordinator Mata Kuliah Olahraga di ITB selama 8 tahun! Jangan salah, astronom dan mahasiswa pun harus selalu sehat, meskipun tidak ada kamera yang bisa digunakan untuk selfie dan sosial media untuk dibagi.
Ketika ITB memutuskan untuk mewajibkan mahasiswa Tahap Persiapan Bersama untuk mengkuti kuliah olahraga, Pak Hardja merupakan salah seorang dosen yang menjadi perintis pelaksanaan kuliah tersebut. Pak Hardja-lah yang turut berperan untuk mencari dosen olahraga di berbagai bidang dan menyewa lapangan yang bisa dipakai untuk kuliah tersebut, sebelum Sasana Olahraga Ganesha atau SARAGA ITB dibangun.
Mahasiswa ITB perlu berolahraga untuk menjaga kesehatan. Ini yang jadi alasan mengapa kuliah olahraga diselenggarakan di ITB dan wajib diikut oleh mahasiswa tahun pertama. Kala itu, Pak Hardja diangkat sebagai koordinator mata kuliah Olahraga ITB dari tahun 1990 – 1998 dan pada akhirnya menjabat sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Olahraga dari tahun 1991 – 1999.
Selama itu pulalah, Pak Hardja lebih mudah ditemui di UPT Olahraga ITB atau kadang hadir di pinggir lapangan saat kuliah olahraga sedang berlangsung.
Populerisasi Astronomi
Kecintaan Pak Hardja pada astronomi tidak hanya tampak dalam penelitiannya. Sebagai bagian dari populerisasi astronomi, Pak Hardja juga terlibat dalam meberi ceramah dan pengajaran astronomi untuk publik. Ia juga aktif mengajar dan membina siswa-siswi pelatnas olimpiade astronomi yang disiapkan untuk berlomba pada tingkat internasional.
“Pembawaannya yang asik dan kocak menjadi trademark tersendiri dalam mengajar dan itu jadi alasan lain kelas bisa lebih santai dan materi jadi mudah dipahami. Pak Hardja adalah salah satu dosen yang tak terlupakan”, kata Gianluigi Maliyar, salah seorang siswa di Pelatnas Olimpiade Astronomi.
Pada tahun 2016, saat Gerhana Matahari Total, Pak Hardja juga ambil bagian dalam populerisasi astronomi dalam Ekspedisi Maritim Gerhana Matahari Total 2016 yang diselenggarakan oleh Kemenko Kemaritiman untuk menyaksikan terjadinya gerhana matahari di atas kapal KM. Kelud di Tanjung Pandan, Belitung,
Astronomi dalam Budaya Sunda
Salah satu impian Pak Hardja itu untuk mengangkat masyarakat Sunda lewat astronomi. Dan inilah yang Ia lakukan selama masa purnabakti-nya. Ia aktif meneliti keterkaitan situs – situs arkeologi yang terkait dengan astronomi seperti situs Gunung Padang, Candi Batujaya dan candi Muara Jambi. Selain itu, Pak Hardja juga meneliti etnoastronomi Sunda, untuk melihat keterkaitan budaya Sunda dan astronomi dalam kehidupan masyarakat.
Keterkaitan itu bisa dilihat dari cara masyarakat sunda menandai waktu dalam satu hari. Masyarakat sunda rupanya menggunakan posisi Matahari yang dipadu dengan fenomena yang tampak atau bisa dirasakan untuk menandai waktu. Misalnya, kapan harus tidur dan bangun pagi, waktu sore dan pagi, dll.
Tidak hanya itu! Budaya sunda juga memperlihatkan ketergantungan mereka pada benda-benda langit dalam kehidupan pertanian maupun untuk melaut. Dalam pranatamangsa masyarakat sunda, Pleiades (Bentang Kerti) dan Orion (Waluku / Bentang Kidang) memegang peran penting sebagai penanda musim untuk bercocok tanam sedangkan kehadiran Crux atau Bentang Langlayangan menjadi patokan bagi para nelayan.
Pak Hardja bekerjasama dengan Kala Sunda, aktif melakukan penelitian terkait penggunaan benda-benda langit dalam kehidupan masyarakat Sunda kuno. Selain itu, ia juga mempelajari sistem kalender Sunda yang dibuat berbasis gerak Matahari (Kala Surya), pergerakan Bulan (Kala Candra), dan pergerakan bintang-bintang (Kala Sukra).
Tahun 2016, Pak Hardja pernah berkunjung ke Kasepuhan Ciptagelar bersama tim Common Room untuk mengafirmasi praktik pranatamangsa di Ciptagelar. Semangatnya untuk mempelajari keterkaitan akar budayanya dan astronomi membawa Pak Hardja untuk menembus belantara Pegunungan Halimun, yang memiliki jalan terjal dan berkelok.
Perjalanan dengan rute cukup berat itu tidak sia-sia. Diskusi yang dilakukan bersama warga dan sesepuh adat memperlihatkan kalau siklus musim tanam di Ciptagelar dengan patokan bintang kidang dan bintang kerti masih digunakan sampai saat ini. Artinya sistem pranatamangsa yang digunakan bisa memprediksi dan mengantisipasi perubahan iklim. Inilah yang masih harus diteliti lebih lanjut lewat pengamatan.
Kecintaannya pada budaya sunda dan astronomi sempat membawa Pak Hardja ke Jepang untuk mengajar arkeoastronomi dan etnoastronomi di Kyoto. Pertemuan terakhir penulis dengan Pak Hardja dalam forum internasional terjadi pada tahun 2015 saat menghadiri Southeast Asia Astronomy Network (SEAAN). Ada sesi khusus tentang etnoastronomi dan Pak Hardja memaparkan etnoastronomi Sunda dengan penuh semangat diantara para peneliti muda yang juga turut hadir untuk berbagi cerita penelitian mereka.
Pada akhirnya, catatan perjalanan Pak Hardja harus diakhiri. Pemilik Orion itu akhirnya kembali diantara bintang-bintang pada usia 72 tahun. Kuliah yang diisi dengan canda dan cerita tentang Desi Ratnasari ataupun Nia Daniati, favorit beliau, pada akhirnya menjadi cerita dan kenangan indah bagi alumni Astronomi ITB.
Mengutip Iman Santosa, alumni Astronomi ITB, “Pak Hardja adalah dosen waliku yang sangat baik dan sabar. Pribadinya tidak membuat kita merasa berjarak sebagai dosen dan mahasiswa. Dan beliau adalah orang yang selalu membuat suasana menjadi cair, hangat dan riuh rendah. Beliau adalah orang yang sangat rendah hati dan pendekatannya yang ramah, riang dan jenaka membuat kita selalu merasa nyaman dan bisa terbuka bila menghadapi masalah dalam kuliah. Menurutku itulah kehebatan beliau dan dari situ pulalah tumbuh rasa hormat yang tulus dari para mahasiswa.”
Tulis Komentar