fbpx
langitselatan
Beranda » Sirius Dalam Mitologi Mesir Kuno

Sirius Dalam Mitologi Mesir Kuno

Bangsa Mesir kuno adalah bangsa yang memiliki banyak catatan dan capaian dalam sejarah peradaban manusia. Segenap catatan dan capaian itu menunjukkan tingginya peradaban Mesir kala itu.

Sirius bintang terang di langit malam yang merupakan bagian dari rasi Canis Major. Kredit: Ganko
Sirius bintang terang di langit malam yang merupakan bagian dari rasi Canis Major. 

Peradaban Mesir tumbuh dan berkembang dalam kultur masyarakat yang sangat dominan dengan unsur paganisme dimana sangat banyak Dewa yang dipuja dan disembah. Capaian Mesir kuno ini juga merupakan perwujudan dan pemikiran terdalam terhadap inovasi, estetika dan kepercayaan.

Dalam bidang langit, Mesir kuno memiliki tradisi dan telaah terhadap satu bintang populer di langit bernama ‘Sirius’. Sirius adalah bintang paling terang di langit malam yang dapat dilihat tanpa menggunakan teleskop. Bintang ini terletak pada rasi Canis Mayor dan merupakan sistem bintang ganda. Sirius berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘seirios’ yang bermakna menyala atau sangat panas. Dalam bahasa Latin disebut ‘Canicula’, sedangkan dalam bahasa Arab disebut ‘asy-syi’ra’ atau ‘an-najm asy-syi’ra’. Sedemikian melegendanya bintang ini, di dalam al-Qur’an ia diabadikan yaitu dalam QS. An-Najm ayat 49.

Bintang Sirius memainkan peranan penting dalam kehidupan religius dan sosial masyarakat Mesir silam. Dalam mitologinya, Sirius adalah bintang paling istimewa dan diyakini sebagai cahaya dari langit. Pengaruh bintang Sirius bukan semata dalam aspek religius dan mitos, namun juga terkait aspek sosial masyarakat sehari-hari.

Bintang Sirius juga dikenal dan disebutkan dalam banyak kebudayaan-kebudayaan silam dalam rentang waktu berabad-abad. Bintang ini terlihat hampir di seluruh planet Bumi. Peradaban-peradaban lampau telah mengenal baik Sirius, khususnya terkait musim dan navigasi. Jika Mesir kuno menjadikan kemunculan pertama Sirius di langit Timur (sebelum Matahari terbit) sebagai awal tahun, Yunani kuno mengenal Sirius sebagai pertanda datangnya musim panas. Sementara itu bangsa-bangsa di pasifik mengenal Sirius sebagai alat navigasi di laut. Demikian lagi bangsa-bangsa (peradaban-peradaban) lainnya memiliki tradisi dan mitos yang berbeda-beda sesuai kearifan sosio-religiusnya.

Dalam tradisi Mesir kuno, Sirius dipersonifikasi sebagai seorang dewa. Ya, fenomena-fenomena alam sebagai terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam kepercayaan masyarakat Mesir kuno memang sangat terkait dengan praktik sesembahan (pagan). Penyembahan dan pemujaan ini memang didasarkan pada mitologi-mitologi tertentu yang sudah mengakar, namun patut dicatat ia tak lepas dari pemaknaan sosial.

Dewi Isis representasi Sirius dalam budaya Mesir
Dewi Isis representasi Sirius dalam budaya Mesir

Dalam sudut pandang mitos dan religius, Sirius bagi bangsa Mesir kuno diyakini sebagai Dewi Isis (istri Osiris) yang dianggap sebagai Dewi kesuburan. Banjir sungai Nil sendiri sebagai terjadi setiap tahunnya diyakini oleh karena Isis menangisi kematian Osiris. Dalam konteks sosial, Sirius digunakan masyarakat Mesir kuno menjadi petunjuk perjalanan musim dingin dan musim panas, baik di siang hari maupun di malam hari. Fenomena inipun telah populer dalam literasi Arab sebagai terlihat dalam gubahan syair-syairnya.

Melalui Sirius juga Mesir kuno menghasilkan suatu sistem kalender yang terbilang akurat dan canggih di zamannya yaitu Kalender Matahari. Seperti diketahui, Sirius yang merupakan penanda tibanya musim panas mulai tampak di langit Mesir sejak bulan Juli sampai Agustus. Pada saat Sirius muncul, secara bersamaan ditandai dengan datangnya banjir sungai Nil yang menggenangi tanah-tanah di Mesir.

Kenyataannya, fenomena Sirius dan banjir sungai Nil ini terjadi secara periodik setiap tahun yaitu persis yaitu dalam rentang 365 hari. Oleh karena periodisasi nan periodik ini, masyarakat Mesir secara alami menjadikan dan menggunakan fenomena ini sebagai sistem penjadwal waktu atau yang dikenal dengan kalender. Selanjutnya, pasca banjir ini menyebabkan tanah-tanah yang digenangi air menjadi subur. Hal ini pada kenyataannya menjadi berkah bagi masyarakat Mesir, dengannya mereka memanfaatkan untuk bercocok tanam dan dapat menghasilkan panen yang memuaskan. Namun di era modern banjir sungai Nil ini tidak terjadi lagi sejak di bangunnya bendungan di Aswan (Mesir bagian Selatan) di era Gamal Abdul Nasser.

Tanpa disadari, fenomena Sirius (dan banjir sungai Nil) sesungguhnya telah membentuk peradaban Mesir yang spektakuler. Mesir kuno telah berhasil melahirkan satu produk ‘sains’ bernama kalender yang secara substansial berbeda dengan kalender-kalender yang pernah ada sebelumnya, khususnya kalender dikalangan bangsa Babilonia. Fenomena Sirius (dengan Nilnya) ini juga menunjukkan bahwa sebuah peradaban terlahir dengan adanya interaksi sosial-religius dengan fenomena alam, dan ia dihasilkan dengan proses yang sangat panjang dan berjalan secara natural. Fluktuasi keadaan geografis seperti suhu udara, iklim, curah hujan, dan kebutuhan rohani menjadi faktor terbentuknya sebuah peradaban. Dan interaksi harian dan tahunan Masyarakat Mesir terhadap bintang Sirius dan sungai Nil ini meniscayakan lahirnya inovasi dan akselerasi.

Avatar photo

Arwin Butar-Butar

Doktor di bidang Filologi-Astronomi dari Institute of Arab Research and Studies, Cairo (Mesir). Saat ini adalah staf pengajar di UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara) dan UISU (Universitas Islam Sumatra Utara) dengan mata kuliah utama Ilmu Falak. Selain itu juga mengepalai sebuah observatorium pendidikan di lingkungan kampus UMSU yang disebut OIF (Observatorium Ilmu Falak) UMSU.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini