Benda-benda aneh mendadak berjatuhan dari langit di pulau Giligenting dan Giliraja pada Senin 26 September 2016 sekitar pukul 10:00 WIB. Kedua pulau kecil itu secara administratif terletak di Kabupaten Sumenep, propinsi Jawa Timur. Benda aneh terbesar berupa silinder yang kedua ujung membulat dengan panjang 150 cm dan garis tengah 60 cm. Di sekujur bagian luarnya terdapat rumbai-rumbai fiber mirip tali plastik tebal berwarna hitam yang tak mempan kala dicoba dibakar. Ada empat titik dimana benda-benda aneh tersebut ditemukan, dua di daratan dan dua di perairan laut. Salah satu titik tepat berada di kandang sapi warga setempat, yang membuat sebagian kandang itu pun hancur berantakan. Beruntung tak ada sapi yang menjadi korban, demikian pula manusia. Sesaat sebelum benda-benda aneh itu berjatuhan, suara dentuman lumayan keras di langit terdengar menggelegar dalam kawasan yang cukup luas di ujung timur pulau Madura.
Otoritas penerbangan Indonesia memastikan benda-benda aneh tersebut tidaklah berkaitan dengan komponen pesawat terbang. Sebab tak ada penerbangan sipil, baik berjadwal maupun tak berjadwal, yang melintas di atas ruang udara Sumenep pada saat itu. Demikian halnya penerbangan militer. Dengan melihat ciri-cirinya, benda-benda aneh tersebut mungkin berkaitan dengan penerbangan antariksa. Lebih tepatnya sampah antariksa. Sehingga peristiwa Sumenep, demikian kita sebut, bisa jadi merupakan kejadian benda jatuh antariksa (BJA) yang kesekian kalinya di Indonesia setelah yang terakhir terjadi pada 2003 silam.
Sampah antariksa secara sederhana dapat dikatakan sebagai benda-benda buatan manusia yang mengorbit/mengelilingi Bumi namun tidak berdaya pakai lagi. Sampah antariksa umumnya terdiri dari roket-roket bekas dan satelit-satelit rombeng. Roket bekas itu merupakan roket tingkat teratas (uperstage), yang bisa berupa roket tiga atau empat untuk generasi roket klasik maupun roket tingkat dua atau tiga untuk generasi roket kontemporer. Upperstage ini semula bertugas mendorong muatan ke orbit tujuan dari orbit parkir. Kala sebuah roket diluncurkan, awalnya ia mendorong muatannya ke orbit parkir di ketinggian rendah (150 hingga 300 km dari paras Bumi). Selanjutnya giliran upperstage mengambil alih tugasnya dengan mendoronngnya menuju orbit tujuan. Begitu tugasnya upperstage, yang juga sudah kehabisan bahan bakarnya, akan terlepas dan melayang-layang dalam orbitnya sendiri yang terus berubah sebelum jatuh kembali ke paras Bumi. Sementara satelit rombeng merupakan segala macam satelit buatan, baik yang menghuni orbit rendah, orbit menengah hingga orbit geostasioner/geosinkron, yang sudah kehabisan bahan bakarnya ataupun sudah rusak komponennya. Di luar roket bekas dan satelit rombeng, sampah antariksa dapat pula merupakan kepingan-kepingan roket/satelit maupun peralatan lain yang terlepas ke langit. Hingga kini tercatat tak kurang dari 16.000 keping sampah antariksa (dengan diameter lebih dari 10 cm) yang melayang-layang dalam orbitnya masing-masing. Total massa seluruhnya mencapai tak kurang dari 62.000 ton.
Falcon 9 FT
Kecurigaan bahwa peristiwa Sumenep disebabkan oleh sampah antariksa mengemuka setidaknya sejak dua jam pasca kejadian. Komunikasi dengan Joseph Remis, salah seorang pakar sampah antariksa yang senantiasa memublikasikan prediksinya secara rutin melalui media twitter, yang menyebutnya. Remis memprakirakan sampah antariksa bernomor 41730 dalam katalog NORAD (North American Aerospace Defence Command) dan atau 2016 050B dalam penomoran internasional akan jatuh kembali ke paras Bumi pada 26 September 2016 TU pukul 09:10 WIB plus minus 4 jam. Prakiraan titik kejatuhannya ada di tengah-tengah Samudera Indonesia lepas pantai timur pulau Madagaskar, namun dengan waktu jatuh terjadi kapan saja di antara pukul 05:10 WIB hingga pukul 13:10 WIB maka ia sejatinya bisa jatuh dimana saja sepanjang berada pada proyeksi orbitnya di paras Bumi.
Sampah antariksa bernomor 41730 itu beridentitas Falcon 9 R/B (rocket body), yakni upperstage roket Falcon 9 FT (Full Thrust) flight 28 yang mengirim satelit komunikasi JCSAT-16 (Jepang) ke orbit geostasioner pada 14 Agustus 2016 lalu. Upperstage itu, yang bergaris tengah 366 cm dengan panjang 1.430 cm, bertugas mendorong satelit dari ketinggian 184 km ke ketinggian orbit transfer 35.912 km pada inklinasi 20 o terhadap bidang khatulistiwa. Dari orbit transfer inilah satelit JCSAT-16 kemudian digeser secara perlahan ke orbit geostasioner (ketinggian 35.792 km, inklinasi 0o) pada garis bujur 162 BT. Usai menjalankan tugasnya, upperstage Falcon 9 FT flight 28 pun berubah menjadi sampah antariksa dengan orbit awal 74 km x 34.400 km (baca: orbit lonjong dengan perigee/titik terdekat ke paras Bumi 74 km dan apogee/titik terjauh ke paras Bumi 34.400 km).
Komunikasi yang lain dengan Thomas Djamaluddin (Kepala LAPAN) mengindikasikan bahwa sampah antariksa 41730 itu memang akan jatuh ke paras Bumi pada satu waktu di akhir September 2016. Dan pada Senin 26 September 2016 TU pukul 09:21 WIB sampah antariksa tersebut lewat di atas pulau Madura, secara teoritis. Dalam prediksi Remis pun sampah antariksa yang sama juga lewat di atas pulau Madura pada waktu yang hampir sama. Maka dugaan bahwa peristiwa Sumenep adalah jatuhnya sampah antariksa nomor 41730 pun kian menguat. Komunikasi lain dengan TS Kelso di NORAD menyajikan data menarik untuk dianalisis. Sampah antariksa 41730 itu mengalami perubahan orbit cukup radikal sepanjang lima hari terakhir sejak 20 September 2016. Pada 20 September 2016 itu orbitnya adalah 96 km x 6.448 km. Dan lima hari kemudian orbitnya berubah dramatis ke 105 km x 1.145 km. Analisis yang sama juga memperlihatkan titik perigee-nya berfluktuasi, namun titik apogee-nya secara konsisten terus menurun drastis. Konsekuensinya periode orbital sampah antariksa 41730 pun berkurang dari 163 menit pada 20 September 2016 TU menjadi tinggal 97 menit pada lima hari kemudian.
Saat foto-foto lebih detil dari benda aneh dalam peristiwa Sumenep beredar, terlihat bahwa benda tersebut sangat mirip dengan tabung COPV (composite overwrapped pressure vessel) seperti yang pernah dijumpai pula di Brazil (juga berasal dari upperstage roket Falcon 9). Tabung COPV umum dijumpai pada struktur roket kontemporer khususnya yang dibangun di Amerika Serikat dan Eropa. Eksistensi tabung COPV ditunjang dengan data elemen orbit sampah antariksa 41730 hingga 2,5 jam sebelum terjadinya peristiwa Sumenep memastikan benda aneh itu memang sisa-sisa upperstage roket Falcon 9 FT flight 28. Tabung itu adalah tabung penyimpanan gas bertekanan tinggi. SpaceX menggunakannya sebagai tempat gas Helium bertekanan tinggi. Gas mulia yang lembam (inert) ini ditujukan untuk membantu mendorong Oksigen cair memasuki mesin roket dengan kuantitas sesuai kebutuhan teknis mesin. Karena itu SpaceX menempatkan tabung-tabung COPV berisikan gas Helium di dalam tabung Oksigen cairnya. Meski terbuat dari komposit fiber dan resin, namun tabung COPV tak kalah kokoh dibanding tabung logam. Ia juga lebih ringan, faktor yang membuatnya lebih unggul dalam penerbangan antariksa. Tabung COPV didesain untuk sanggup menahan tekanan hingga sebesar 300 bar (300 kN/m2) atau setara dengan 296,2 atmosfer. Karenanya menjadi salah satu komponen roket yang bertahan selama perjalanan menembus lapisan-lapisan udara Bumi tatkala roket bekas itu jatuh. Karena dayatahannya pula ia pun menjadi bagian yang kerap mendarat di paras Bumi.
Rekonstruksi
Elemen orbit sampah antariksa 41730 juga dicatat oleh JSpOC (Joint Space Operation Center) hingga 2,5 jam sebelum peristiwa Sumenep terjadi. Pada saat itu orbitnya pun telah berubah dramatis menjadi 92 km x 788 km. Berbekal data ini dan temuan di lapangan, kita bisa merekonstruksi (secara kasar) bagaimana detik-detik terakhir sampah antariksa 41730 hingga jatuh tersungkur mencium pulau Madura.
Sebuah benda langit buatan yang mengorbit Bumi pada orbit rendah senantiasa menderita gangguan permanen dari atmosfer Bumi seiring pergesekannya dengan molekul-molekul udara. Pergesekan itu mengurangi kecepatan orbital benda langit tersebut, sehingga orbitnya berubah secara gradual. Perubahan itu terutama pada nilai titik apogee dan setengah sumbu orbit utamanya. Apogee kian menurun secara dramatis dan demikian halnya setengah sumbu utama orbit. Sedangkan perigeenya relatif tetap, sehingga orbit benda langit buatan itu pada dasarnya kian mendekati bentuk lingkaran sempurna. Proses jatuh ke Bumi umumnya diawali tatkala setengah sumbu utama orbit benda langit itu, telah menyentuh ketinggian 104 km dari paras Bumi atau lebih rendah lagi. Pada ketinggian ini lapisan udara Bumi mulai lebih padat. Akibatnya gesekannya dengan benda langit membuat intensitas pengurangan kecepatannya lebih besar. Konsekuensinya benda langit itu pun akan mulai turun menembus atmosfer Bumi. Titik dimana orbit benda langit itu tepat menyentuh ketinggian 104 km disebut titik X atau reentry interface.
Sampah antariksa 41730 mulai memasuki titik X pada suatu tempat di sebelah utara pulau Natal atau pulau Christmas (Australia) di tengah-tengah Samudera Indonesia. Titik ini terletak pada jarak horizontal 950 km di sebelah barat daya Sumenep. Pada umumnya jarak horizontal antara titik temuan sisa-sisa sampah antariksa dengan proyeksi titik X di paras Bumi berkisar antara 900 hingga 1.300 km. Pada titik X itu roket bekas bernomor 41730 masih melaju secepat 7,85 km/detik atau 28.200 km/jam. Dari titik X ini sampah antariksa 41730 mulai mengalami penurunan ketinggian secara drastis. Hingga akhirnya pada jarak 750 km sebelah barat daya Sumenep, ketinggiannya mulai menyentuh angka 80 km.
Disinilah peristiwa dramatis mulai terjadi. Lapisan udara yang kian padat membuat gaya geseknya berkembang ke titik yang menghancurkan. Sampah antariksa 41730 itu jadi sangat diperlambat, dengan puncak perlambatan bisa melampaui 20 kali percepatan gravitasi standar (20 G) yang jauh melampaui ambang batas dayatahan struktur roket. Roket mulai terpecah belah dan menghancur sejak ketinggian itu. Tekanan ram yang ditimbulkannya juga menciptakan suhu teramat tinggi yang membuat molekul-molekul udara didalamnya terionisasi. Terpancarlah cahaya khas, yang jika di malam hari akan mudah dilihat sebagai obyek mirip meteor. Suhu sangat tinggi juga membuat sebagian besar pecahan, khususnya yang terbuat dari logam, mulai meleleh dan menguap. Sehingga roket bekas itu kini tinggal kumpulan partikel-partikel dan kepingan-kepingan beraneka ukuran. Hanya bagian terkuatnya saja yang sanggup bertahan dari penghancuran dan suhu yang menggidikkan ini. Transisi dari kecepatan supertinggi menjadi lebih lambat menghasilkan gelombang kejut yang bisa terdengar di paras Bumi sebagai dentuman sonik.
Sisa-sisa sampah antariksa 41730 itu mulai memasuki ruang udara di atas daratan pulau Jawa pada pukul 09:23:05 WIB. Saat itu sisa-sisa sampah antariksa ini ada pada ketinggian sekitar 35 km di atas kompleks gunung berapi purba pantai Wediombo, di ujung tenggara Kabupaten Gunung Kidul (propinsi DI Yogyakarta). Tiga belas detik kemudian sisa-sisa roket bekas ini sudah melesat cepat memasuki propinsi Jawa Timur hingga tiba di atas kota Ponorogo pada ketinggian sekitar 28 km. Duapuluh satu detik kemudian ia sudah melesat dan tiba di atas kota Kediri bagian utara, dengan ketinggian berkurang menjadi sekitar 21 km. Dan tigapuluh tiga detik kemudian ia sudah ada di atas kota Sidoarjo, pada ketinggian hanya sekitar 4 km. Proyeksi lintasan sisa-sisa roket bekas tersebut sejatinya berujung di daratan utama pulau Madura, tepatnya di bagian pesisir Prenduan (Kabupaten Sumenep). Namun hembusan angin dari samping nampaknya meniup sisa-sisa roket ini lebih ke timur sehingga lintasannya mengarah ke Giliraja. Analisis JSpOC mengindikasikan dari pulau Giliraja ke arah timur laut (searah dengan proyeksi lintasan roket bekas bernomor 41730) hingga sejauh 250 km menjadi kawasan dimana sisa-sisa roket bekas bernomor 41730 berjatuhan. Dalam perspektif aerodinamika, fragmen terbesar dan terberat memang akan berjatuhan di pulau Giliraja. Namun fragmen-fragmen yang lebih kecil dan lebih ringan terdorong lebih jauh ke timur laut hingga sejauh 250 km.
Peristiwa Sumenep merupakan jatuhnya sampah antariksa yang semula adalah upperstage Falcon 9 FT flight 28. Roket Falcon 9 FT, atau resminya bernama Falcon 9 v1.2, merupakan kuda beban perusahaan SpaceX. Roket ini menggamit perhatian dunia penerbangan antariksa masakini seiring inovasinya. Yang paling menonjol adalah upaya penggunaan-berulang roket ini, setidaknya sebagian diantaranya. Penggunaan-berulang membuat ongkos penerbangan antariksa bisa ditekan cukup drastis, mengingat secara teknis pengguna tinggal mengganti biaya bahan bakar-pengoksid dan biaya-biaya ujicoba teknis. Berbeda dengan roket-roket klasik, dimana selain biaya tersebut pengguna masih dibebani ongkos pembangunan roket yang selangit mahalnya. Sebab roket-roket klasik hanyalah sekali pakai untuk kemudian dibuang tanpa bisa dipergunakan lagi.
Roket Falcon 9 FT merupakan roket bertingkat dua (dua tahap) setinggi 70 meter dan berdiameter 3,66 meter yang tidak menggunakan roket-bantu pendorong (booster). Berbobot 549 ton pada saat diluncurkan, Falcon 9 FT mampu mengantar muatan ke manapun dengan bobot maksimal 22,8 ton untuk orbit rendah dan 8,3 ton untuk orbit geostasioner. Tingkat pertama atau lowerstage Falcon 9 FT merupakan bagian yang dapat digunakan-berulang. Ia memiliki tinggi 41,2 meter dan bobot 409,5 ton dalam keadaan terisi penuh bahan bakar dan pengoksid. Bahan bakarnya adalah RP-1 atau kerosene (minyak tanah), sementara pengoksidnya berupa Oksigen cair. Di pantatnya terpasang 9 mesin roket Merlin pada konfigurasi oktaweb. Lowerstage Falcon 9 Full Thrust juga membawa gas Nitrogen dingin yang mencukupi untuk keperluan manuver di antariksa, 4 sirip berongga sebagai perlengkapan kendali permukaan dan sistem pendaratan berupa 4 kaki pendarat.
Saat lepas landas, roket Falcon 9 FT terbang dengan kecepatan penuh hingga ketinggian 80 km pada kecepatan 13.000 km/jam sebelum mengalami pemisahan (separasi) antara lowerstage dengan upperstage-nya. Lowerstage Falcon 9 FT lantas terbang hingga ketinggian 140 km sebelum kemudian mesinnya dimatikan. Selanjutnya ia bermanuver agar posisinya berubah ke arah titik pendaratan sembari memanfaatkan gerak balistik agar ketinggiannya terus menurun. Saat lowerstage Falcon 9 FT tiba di ketinggian 70 km, 3 dari 9 mesin roketnya kembali dinyalakan dengan peran sebagai roket retro untuk keperluan pengereman. Dengan demikian kecepatannya berkurang dari semula 4.700 km/jam menjadi 900 km/jam. Dari titik itu giliran 4 sirip berongga mengambil alih kendali sehingga meski ketinggian lowerstage Falcon 9 FT kian menurun, demikian halnya kecepatannya, ia tetaplah tetap stabil layaknya layang-layang raksasa selama perjalanan menuruni lapisan-lapisan udara lebih rendah dan padat. Barulah setelah mendekati titik pendaratannya, 1 dari 9 mesin roketnya kembali dinyalakan untuk mengerem. Beberapa detik kemudian 4 kaki pendaratnya direntangkan. Sehingga lowerstage Falcon 9 FT akan mendarat secara vertikal dengan kecepatan pendaratan hanya 7 km/jam. Seluruh proses ini terjadi tak lebih dari 10 menit pasca lepas landas.
Sebaliknya tingkat kedua atau upperstage Falcon 9 FT hanyalah sekali pakai, tidak bisa digunakan berulang. Ia ditenagai oleh bahan bakar dan pengoksid yang sama dengan lowerstage Falcon 9 FT namun hanya memiliki 1 mesin roket dipantatnya yang juga bisa dinyalakan ulang kala terbang. Beberapa detik setelah separasi, mesin roket ini dinyalakan sehingga upperstage Falcon 9 FT akan mendorong muatannya menuju ke orbit parkir dekat orbit tujuan. Begitu tugasnya selesai, maka muatan pun dilepas dan upperstage Falcon 9 FT berubah menjadi sampah antariksa. Bergantung kepada orbit parkir muatannya, sampah antariksa ini bisa bertahan berminggu-minggu hingga berbulan-bulan di langit sebelum kemudian masuk-kembali ke atmosfer dan jatuh ke Bumi. Praktik ini sejatinya umum dilakukan dalam industri penerbangan antariksa, jadi tidak terbatas hanya pada SpaceX saja.
[divider_line]Diadaptasi dari Roket Falcon 9 Full Thrust Penerbangan 28 Jatuh di Pulau Madura
Artikel yang sangat menarik, untuk menambah wawasan bisa dibaca di https://www.unair.ac.id/