fbpx
langitselatan
Beranda » Exoplanet Neapolitan, Exoplanet Dalam Tiga Rasa Berbeda

Exoplanet Neapolitan, Exoplanet Dalam Tiga Rasa Berbeda

Percaya tidak kalau Tata Surya itu punya filosofi eh salah, punya rasa es krim? Pernah makan es krim kan? Es krim itu punya setidaknya 3 rasa yang “utama aka mendasar” yakni, coklat, vanila dan stroberi.

Ilustrasi planet katai gas. Kredit: J. Jauch
Ilustrasi planet katai gas. Kredit: J. Jauch

Pasti ada dong yang suka mencampurkan rasa di es krimnya aka membeli es krim dua rasa. Saya sangat menyukai perpaduan coklat dan vanila. Nah, kira-kira seperti itulah Tata Surya. Ada dua rasa mendasar yang menyusun sistem keplanetan kita. Yang pertama adalah planet kecil batuan aka planet kebumian dan planet gas raksasa seperti Neptunus dan Jupiter.

Sayangnya tak ada rasa stroberi di Tata Surya. Padahal pasti ada kan yang suka es krim neapolitan yang punya 3 rasa tersebut.  Bagaimana dengan planet-planet yang sudah ditemukan. Apakah ada planet rasa stroberi?

Planet rasa stroberi secara astronomis harusnya berupa planet dengan ukuran 1-4 kali ukuran Bumi. Meskipun planet seperti ini tidak ada di Tata Surya, Wahana Kepler justru menemukan kalau planet-planet tersebut umum ditemukan di bintang-bintang lain. Dari hasil pengamatan Wahana Kepler, exoplanet yang lebih kecil dari 4 kali ukuran Bumi menempati 3/4 planet yang ditemukan Kepler. Dan exoplanet berukuran kurang dari 4 kali ukuran bumi pada umumnya merupakan planet batuan yang juga menjadi target pencarian planet yang berpotensi mendukung kehidupan.

Dari semua exoplanet yang sudah ditemukan, para astronom membaginya dalam 3 kelompok berdasarkan komposisi yang membentuknya, yakni planet kebumian, planet gas raksasa dan planet dengan ukuran menengah yang disebut planet gas katai.

Bagaimana para astronom melakukan klasifikasi?
Seperti yang kita ketahui, Wahana Kepler merupakan mata para astronom untuk mencari exoplanet di bintang lain. Ia melakukan pencarian dengan melihat kedipan bintang saat ada sebuah planet melintas di depan bintang tersebut. Ketika bintang berkedip sesaat, terjadilah peredupan cahaya bintang meksipun sangat kecil. Peredupan inilah yang menjadi tanda kehadiran obyek yang mengelilingi bintang tersebut.

Dari pengamatan dengan metode transit tersebut, para astronom bisa menentukan ukuran planet dari banyaknya cahaya bintang yang terhalangi oleh planet. Tapi, untuk bisa mengetahui komposisi planet, perlu diketahui massa planet sehingga kerapatannya bisa dihitung. Kerapatan planet batuan lebih tinggi dibanding planet gas. Sayangnya, semakin kecil planet maka akan semakin sulit untuk mengukur massa planetnya. Apalagi jika bintang induknya merupakan bintang jauh yang redup.

Untuk itu, Lars A. Buchhave dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA), yang memimpin penelitian ini melakukan pendekatan berbeda. Yang diukur adalah jumlah elemen berat. Untuk dunia astronomi, elemen berat merupakan elemen selain hidrogen dan helium, atau yang disebut logam. Bintang dan planet terbentuk dari piringan materi yang sama. Karena itu kandungan logam di bintang akan mencerminkan komposisi dari piringan protoplanet.

Dalam penelitian ini, Buchhave dan timnya melakukan analisa spektrum lebih dari 400 bintang yang menjadi rumah bagi 600 exoplanet. Hasil analisa kemudian digunakan untuk mengelompokkan planet-planet tersebut ke dalam kelompok alami dan juga berdasarkan kandungan logamnya.

Piringan gas dan debu yang membentuk sistem keplanetan. Kredit: David A. Aguilar (CfA)
Piringan gas dan debu yang membentuk sistem keplanetan. Kredit: David A. Aguilar (CfA)

Komposisi dan Klasifikasi Exoplanet
Hasilnya ada dua pemisah utama yakni planet yang lebih besar dari 1,7 ukuran Bumi dan planet yag 3,9 kali lebih besar dari Bumi. Batas ini bukan saja menjadi batasan ukuran tapi juga penanda dari perubahan komposisi. Planet yang ukurannya kurang dari 1,7 Bumi merupakan planet batuan sedangkan planet yang lebih besar dari 3,9 kali Bumi merupakan planet gas.

Nah, planet dengan ukuran 1,7 – 3,9 kali Bumi akan menempati kelas baru yakni planet katai gas, karena planet-planet ini memiliki  atmosfer hidrogen dan helium yang tebal. Selain itu, inti dari planet katai gas merupakan inti batuan yang terbentuk terlebih dahulu sebelum kemudian mengakresi atau menangkap gas untuk bergabung. Dalam pembentukannya, exoplanet kelas ini tidak bertumbuh sebesar planet gas raksasa seperti Jupiter.

Tak hanya itu, Buchhave dan rekan-rekannya juga menemukan kalau ukuran terbesar dari planet batuan belumlah bisa dipastikan. Apalagi dengan ditemukannya planet batuan Kepler-10c yang ukurannya 17 kali Bumi. Tapi, semakin jauh sebuah planet dari bintang, maka semakin besar ia bisa bertumbuh sebelum mengumpulkan atau mengakresi atmosfer tebal dan kemudian mengubah dirinya menjadi planet katai gas. Diperkirakan, beberapa planet Bumi Super akan dapat bertumbuh dan kemudian bertransformasi menjadi planet katai gas tersebut.

Tim peneliti juga menemukan kalau bintang yang memiliki planet kebumian yang kecil, cenderung memiliki komposisi logam yang mirip Matahari. Untuk bintang yang menjadi rumah bagi planet katai gas akan sedikit lebih kaya logam. Tapi untuk bintang yang menjadi rumah bagi planet gas raksasa, maka bintangnya akan memiliki logam paling banyak, sekitar 50% lebih banyak dari Matahari.

Jadi untuk bisa menemukan planet batuan yang serupa Bumi, carilah pada bintang yang serupa Matahari.  Dan carilah bintang dengan kandungan logam yang tinggi untuk membangun planet gas raksasa.

Akan tetapi, kandungan logam bukan merupakan satu-satunya faktor penentu bagi komposisi planet yang akan terbentuk. Apalagi penelitian yang dilakukan Buchhave.masih terbatas pada planet-planet dekat yang memang lebih mudah untuk dikenali oleh Kepler. Untuk itu dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut pada pada planet yang memiliki orbit lebih lebar dan jauh dari bintang induknya.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini