fbpx
langitselatan
Beranda » Memahami Interior dan Atmosfer Bulan

Memahami Interior dan Atmosfer Bulan

Kala Presiden John F. Kennedy menggemakan seruan “We choose to go to the moon in this decade and do the other things. Not because they are easy, but because they are hard…” dalam pidatonya yang legendaris di Rice University, Houston, Texas (AS) tepat setengah abad silam, segera badan antariksa AS (NASA) yang baru berusia seumur jagung dibuat sibuk. Selain harus menyiapkan roket berat yang sanggup mendorong wahana antariksa khusus guna mendarat di Bulan dan membawa pulang kembali penumpangnya ke Bumi dengan selamat, mereka juga musti memikirkan mau berbuat apa di Bulan. Meski telah dikenal sejak awal mula peradaban manusia, hingga setengah abad silam Bulan adalah virgin territory, kawasan yang sama sekali tak dikenal karakteristiknya. Status Bulan pada saat itu sama dengan wilayah Antartika sebelum abad ke-20. Maka meski lebih berat sisi politisnya, misi pendaratan manusia di Bulan juga dibebani sisi ilmiah guna mengenali Bulan dalam perspektif geologi, meteorologi dan geofisika yang mewujud pada upaya pemetaan permukaan (topografi) hingga resolusi tertentu, memahami interior (bagian dalam) Bulan, memahami dinamika jarak Bumi-Bulan, mengenali karakteristik emisi gas dari permukaan Bulan, mengenali interaksi Bulan dengan radiasi angin Matahari dan magnetosfer Bumi serta aspek-aspek terkait lainnya.

Dengan tujuan demikian, misi pendaratan manusia di Bulan yang mewujud sebagai program Apollo bukanlah misi antariksa yang berdiri sendiri, melainkan sepaket dengan misi antariksa tak berawak seperti program Surveyor. Dengan begitu program Apollo tidak hanya mengangkut kamera saja, namun juga membawa serta beragam instrumen ilmiah yang bakal menghasilkan beragam data non-fotografis. Sebagian dari instrumen tersebut ditempatkan permanen di Bulan dengan data yang dihasilkan ditransmisikan secara teratur ke Bumi guna dianalisis. Data-data non-fotografis tersebut memang menyajikan impresi yang jauh berbeda dibanding foto-foto tiap misi Apollo, karena umumnya hanya berbentuk serangkaian kurva, grafik maupun peta dengan resolusi lebih rendah. Namun data-data ini dapat menyajikan informasi penting yang kerap tak tertangkap kamera maupun mata manusia, yang memungkinkan kita kita memahami Bulan secara komprehensif. Dalam kehidupan keseharian kita, kedudukan data fotografis dan non-fotografis ini bisa disejajarkan dengan selembar foto beserta data-data spesifik seperti rekam gigi, sidik jari, sidik iris (mata), rekam medis maupun genetis (DNA) yang dapat menyajikan identifikasi personal berketelitian tinggi dalam ranah hukum.

Gambar 1. Seismometer dan magnetometer sedang dipasang di permukaan Bulan, misi Apollo 11. Sumber : NASA, 1969.
Gambar 1.
Seismometer dan magnetometer sedang dipasang di permukaan Bulan, misi Apollo 11.
Sumber : NASA, 1969.

Program Apollo mewujud dalam enam misi pendaratan manusia di Bulan sejak Juli 1969 hingga Desember 1972, yakni dalam misi Apollo 11 hingga 17 kecuali Apollo 13 yang gagal mendarat karena masalah teknis amat serius. Setiap misi mendaratkan 2 astronot, sehingga secara keseluruhan terdapat 12 manusia yang pernah menapakkan kakinya di Bulan. Mereka bertugas mengumpulkan sejumlah sampel batu dan tanah Bulan, melaksanakan beragam eksperimen dan memasang instrumen ilmiah permanen.

Interior Bulan

Pengetahuan kita akan interior Bulan disumbangkan oleh sejumlah instrumen seperti seismometer, magnetometer, cermin retroreflektor dan pengukur aliran panas permukaan Bulan serta berbagai eksperimen khusus seperti eksperimen mekanika tanah Bulan, seismik aktif (seismik refleksi) dan uji konduktivitas listrik batuan Bulan.

Seismometer adalah perekam gelombang gempa (seismik), sementara magnetometer bertugas merekam medan magnet. Cermin retroreflektor adalah cermin khusus yang dirancang guna memantulkan kembali seberkas cahaya yang mengenainya ke posisi sumber cahayanya. Dan pengukur aliran panas permukaan Bulan adalah instrumen yang dilengkapi sejumlah termometer guna mengukur gradien suhu lapisan-lapisan tanah Bulan. Eksperimen mekanika tanah Bulan dilaksanakan dengan menggunakan bor tangan guna menguji kekerasan, ukuran hablur (butiran tanah) Bulan dan sifat fisisnya. Sementara eksperimen seismik aktif dilaksanakan dengan meledakkan sejumlah dinamit/bahan peledak pada titik-titik tertentu sehingga memproduksi gelombang seismik buatan yang merambat melalui lapisan-lapisan batuan Bulan untuk kemudian diterima serangkaian geofon. Dan uji konduktivitas listrik dilakukan dengan transmitter yang diletakkan berjarak terhadap receiver. Posisi transmitter dan receiver kemudian digeser secara periodik dengan menggunakan mobil Bulan (Lunar Rover). Kecuali cermin retroreflektor, penempatan dan pengoperasian semua instrumen itu serta pelaksanaan semua eksperimennya tidak bila dilakukan tanpa campur tangan langsung manusia.

Interior Bulan secara umum terbagi menjadi tiga lapisan: kerak, selubung (mantel) dan inti Bulan. Kerak Bulan cukup tebal, dengan ketebalan antara 60 hingga 70 km atau rata-rata 3 kali lipat lebih tebal dibanding kerak Bumi. Kerak Bulan didominasi batuan beku basaltik yang bersifat basa, dimana hingga kedalaman tertentu (1,4 km pada lokasi pendaratan Apollo 17) mengalami peretakan dan/atau terbreksiasi sangat intensif akibat hantaman komet/asteroid yang berulang-ulang sepanjang sejarah geologi Bulan. Hantaman yang sama juga membuat permukaan Bulan diliputi debu tebal (regolith) yang sangat halus (diameter < 0,1 mm), sangat kering dan bermuatan listrik statis sehingga mampu melekat kuat pada baju astronot atau peralatan lainnya. Hingga kedalaman 2 km batuan Bulan bersifat amat kering dan tidak mengandung air.

Gambar 2. Contoh rekaman seismogram gempa bulan (atas) dan perbandingannya dengan rekaman gempa bumi (bawah). Nampak perbedaan karakteristik gelombang dan durasi, meski kekuatan gempanya nyaris sama. Sumber : NASA, 1970 dan USGS, 2012.
Gambar 2.
Contoh rekaman seismogram gempa bulan (atas) dan perbandingannya dengan rekaman gempa bumi (bawah). Nampak perbedaan karakteristik gelombang dan durasi, meski kekuatan gempanya nyaris sama.
Sumber : NASA, 1970 dan USGS, 2012.

Berbeda dengan Bumi, kerak Bulan tidak memiliki sistem lempeng tektonik. Hal ini disebabkan oleh telah memadatnya lapisan selubung (mantel) Bulan sehingga tidak memungkinkan adanya sirkulasi arus konveksi. Karena itu amat jarang terjadi gempa bulan yang hiposentrumnya dangkal maupun menengah. Hampir seluruh gempa bulan bersumber pada kedalaman 800 hingga 1.000 km. Eksperimen electromagnetic sounding menggunakan magnetometer memastikan interior Bulan bersifat cair pada kedalaman 800 hingga 1.500 km. Fakta ini memastikan gempa-gempa bulan dihasilkan oleh dinamika interior Bulan yang cair yang terletak di zona transisi selubung dan inti Bulan. Dinamika tersebut dipengaruhi gaya tidal Bumi. Dengan bagian yang cair terletak amat dalam dari permukaan, Bulan secara geologis sudah mati. Tak ada lagi jejak aktivitas vulkanisme dan/atau tektonisme di kerak Bulan pada masa kini. Hal ini didukung oleh kecilnya nilai aliran panas permukaan Bulan, yang hanya sebesar (rata-rata) 21 miliwatt per meter persegi (18-24 % aliran panas permukaan Bumi). Data seismik juga tidak mengindikasikan adanya titik-titik hiposentrum yang rapat pada beragam kedalaman, yang umum dijumpai pada saluran magma di Bumi. Dengan vulkanisme dan tektonisme yang sudah mati, maka energi seismik tahunan yang dilepaskan Bulan hanyalah 1/10 juta energi seismik tahunan Bumi.

Di bawah lapisan selubung terdapat inti Bulan yang berdiameter 350 km. Pola rotasinya sama dengan pola rotasi keseluruhan bagian Bulan. Didukung lambatnya periode rotasi Bulan, maka Bulan tidak bisa membentuk medan magnet intrinsik seperti halnya Bumi, sehingga tidak ada kutub-kutub magnet di Bulan pada saat ini. Namun di masa silam Bulan pernah memiliki medan magnet, khususnya di masa muda tata surya. Sisa-sisa medan magnet Bulan ini masih terserak dalam berbagai titik yang terlokalisir dengan kekuatan amat lemah.

Atmosfer Bulan

Kita mengenal Bulan sebagai kawasan hampa udara, namun sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Misi Apollo juga mendaratkan beberapa instrumen guna menganalisis ruang di permukaan Bulan, misalnya instrumen tabung katoda dingin dan pengukur angin Matahari.

Bulan ternyata memiliki atmosfer, meski amat sangat tipis sehingga tekanan udaranya pun sangat rendah. Tiap meter persegi permukaan Bulan mengandung 2 milyar molekul udara dengan kerapatan hanya 1/100 trilyun atmosfer Bumi. Massa total atmosfer Bulan hanyalah 10 ton, sehingga tiap kali terjadi misi pendaratan manusia di Bulan menyebabkan gangguan amat signifikan. Sehingga penyelidikan atmosfer hanya bisa berlangsung efektif jauh hari setelah manusia meninggalkan permukaan Bulan. Atmosfer Bulan hanya ada pada malam hari. Di siang hari, dominasi partikel-partikel angin Matahari yang berkecepatan tinggi menyebabkan molekul-molekul udara Bulan tertendang ke antariksa.

Gambar 3.
Memasang pengukur aliran panas permukaan Bulan, misi Apollo 15.
Sumber : NASA, 1971.

Angin Matahari adalah partikel-partikel energetik yang dihembuskan Matahari ke segenap penjuru secara kontinu, dengan 95 % diantara berupa proton dan elektron. Sisanya adalah ion positif dari isotop Helium-3, Helium-4, Neon-20, Neon-21, Neon-22 dan Argon-36. Jumlah proton Matahari yang diterima Bulan amat bergantung posisi Bulan terhadap Bumi dan magnetosfer Bumi. Dari 27 hari periode revolusi Bulan, 18 hari diantaranya menempatkan Bulan berada di luar magnetosfer Bumi. Pada saat itu proton Matahari yang diterima permukaan Bulan dalam tiap meter kubiknya Bulan mencapai 100 ribu hingga 200 ribu butir yang melejit dengan kecepatan bervariasi antara 450 hingga 650 m/detik. Sementara dalam 5 hari kemudian Bulan melintas dalam magnetosfer Bumi sehingga tak satupun proton Matahari terdeteksi. Dan pada 4 hari sisanya, Bulan melintas di batas magnetosfer Bumi sehingga proton Matahari mampu menjangkau permukaan Bulan namun pada kecepatan jauh lebih rendah.

Pengetahuan akan interior dan atmosfer Bulan merupakan sekeping dari warisan program pendaratan manusia di Bulan. data-data non fotografis yang demikian berlimpah membuat kita berlipat-lipat kali lebih memahami Bulan pasca program Apollo dibandingkan dengan era sebelumnya, bahkan sejak era peradaban manusia bermula. Dengan data yang demikian berlimpah dan hingga kini tak satupun kalangan ilmuwan terkait yang mempersoalkan kesahihannya (validitasnya) mengingat ciri-cirinya yang spesifik, maka agak menggelikan juga menyaksikan sekelompok manusia yang mencoba membantah terjadinya pendaratan manusia di Bulan dan menganggapnya sebagai konspirasi belaka, apalagi hanya ditunjang interpretasi fotografis sepihak. Di sisi lain penempatan instrumen-instrumen geofisika mengguratkan garis batas tebal yang memisahkan kisah sukses manusia dalam hal eksplorasi Bulan dan Mars. Di Mars, meski eksplorasi telah berlangsung sejak 1970-an hingga kini dan terakhir ditandai pendaratan robot penjelajah Curiosity (misi Mars Science Laboratory), namun tiadanya pendaratan manusia menyebabkan pencapaian kita di Mars tidaklah sebaik Bulan. Misalnya saja, sampai detik ini kita belum pernah berhasil mengebor tanah Mars hingga sedalam lebih dari 0,5 m. Sampai detik ini juga kita belum berhasil menempatkan seismometer guna mendeteksi gempa-gempa mars ataupun mengukur aliran panas permukaannya guna memastikan status tektonik dan vulkaniknya. Dan seperti apa persisnya interior Mars pun, hingga kini kita belum bisa memastikannya, kecuali hanya menerka-nerka lewat data-data satelit. Bahkan guna memastikan apakah tanah Mars benar-benar mengandung air ataupun tidak, sampai kini kita hanya mendeduksinya secara tak langsung.

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

7 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Dalam Dokumenter (metro tv), astronot yg pernah keluar kapsul (space walk) , menyatakan melihat cahaya yg terang seperti kilat biarpun mata terpejam dan seperti menghujam ke dalam mata, oleh ilmuwan jepang dijelaskan sebagai varian sinar kosmic.

    ilmuan jepang mengibaratkan sinar kosmik seperti panah yg menghujam, sontak sy merinding karena deskripsi ini mirip dalam Al-Quran ” Langit yg dipenuhi suluh api yg menghujam “.
    dan hampir semua astronot mengalami penebalan selaput mata katarak.

    Terima kasih

    • Efek itu disebut phosphene (fosfin), yang memang disebabkan oleh radiasi partikel berenergi tinggi sehingga menimbulkan sensasi menyerupai kilatan meteor, meskipun sebenarnya tak ada meteor terobservasi saat itu. Fosfin memang ada, namun hanya terbatas pada kawasan Atlantik selatan dimana asimetri medan magnet Bumi dan sumbu rotasi Bumi menghasilkan South Altantic Anomaly.

      Sementara sinar kosmik, itu lain hal. Sinar kosmik itu radiasi partikel berenergi sangat tinggi (jauh melebihi energi radiasi penyebab fosfin). Jangankan medan magnet maupun atmosfer, ketebalan air laut pun sulit untuk mengatasinya. Sebab sinar kosmik pun masih terdeteksi meski kita sudah menyelam 150 m di bawah muka laut. Beruntungnya, dosis radiasi akibat sinar kosmik tergolong kecil, jauh lebih kecil dibanding radiasi dari asap rokok.

      Astronot terkena katarak? Data darimana? Dengan durasi penerbangan antariksa saat ini dan masa tinggal di ISS tak sampai setahun, dosis radiasi yang diterima astronot masih dalam ambang batas normal. Katarak hanya akan terjadi jika ia menerima dosis radiasi jauh di atas normal, yang di Bumi hanya terjadi pada korban2 ledakan nuklir.

  • Neil amstrong antariksawan, manusia pertama kebulan, itulah sebait lagu yg sangat populer terutama di kalangan SANTRI, dan lagu itu pula cukup meng INSPIRASI ku pada ASTRONOMI, dan seiring waktu cukup banyak Fakta media yg kutemukan sepertinya bersebrangan atau BEDA dengan azas Ilmiah lainya, yg mungkin bisa disebut DYNAMIKA,
    1. Panorama angkasa, saya pernah memotret venus jam 19, dgn kamera hp Vga dan hasilnya cukup bagus ada gradasi warna disitu.
    2. Panorama Bulan, Coba simulasikan dgn Soft 3D skalatis hasilnya beda, horizonya terlalu dekat.
    3. Daya tahan tubuh manusia dengan semua deskripsi kondisi angkasa. astronot jepang pulang dari ISS saja ada yg kena DISORIENTASI SYNDROM.
    4. Dll.

    Terima kasih

    • 1. Masih harus dipertanyakan, gradasi warna itu memang ada sebenarnya atau hanya karena keterbatasan resolusi kamera HP anda? Setiap kamera punya setting tersendiri dan kamera terbaik yang mampu merekam obyek langit secara natural hanyalah kamera2 yang mampu diset secara manual (bukan otomatis dari pabriknya). Dan kamera HP bukan termasuk jenis itu.

      2. Situasinya sama saja ketika anda memotret horizon di Bumi dengan menggunakan kamera seperti DSLR pada medan pandang (field of view) lebar. Itu bukan anomali, masih wajar.

      3. Jangankan astronot, jika anda dimasukkan dalam kamar tertutup dengan mata tertutup dan kemudian anda diputar-putar terlebih dahulu, untuk kemudian tutup mata dibuka, juga terjadi disorientasi yang sama. Padahal masih di Bumi.

  • beberapa artikel di LS saya baca di komentari nick a maze b sepertinya beliau ini orang pintar, cuma masih perlu banyak belajar lagi, dan yang paling penting jgn pernah kaitkan dengan keagamaan,,,,, buatlah kebanggaan untuk diri sendiri kalau memang benar kitab anda anda persepsikan seperti itu,

    karena saya lihat forum ini cukup bagus sekali semua dari sisi ilmiah, apa anda ingin menyadarkan semua orang kalau kitab anda paling benar dan yang ter ter diantara yang lain? sedangkan anda jg belum tau kalau kitab2 agama lain jg membahas tentang astronomi cuma karena disini forum ilmiah marilah kita lihat dan pelajari bersama dari sisi ilmiah saja… trims buat LS go ahead

  • Terima kasih telah googling a maze b+langitselatan,
    Bila ditanya apakah saya bangga dengan kitab suci saya, jawabnya sudah pasti, dan hak yang sama juga menjadi keniscayaan bagi penganut agama lainya.
    Dan bila di teliti salah satu komentar saya di LS, ketika saya merujuk kitab suci saya memaknainya dengan kata (Al-Qur’an, Injil/Bible dan Taurot), sebab disamping memang menjadi pilar iman ke IV, “percaya pada semua Kitab TUHAN” , saya pun menyakini Tuhan bicara dan menetapkan HUKUM yang sama dan selaras sepanjang masa, jadi
    Hukum Alam, Hukum Agama semua bersumber dari Tuhan yang sama dan tak mungkin bersebrangan dan pasti SELARAS.
    Karenanya sayapun Yakin “Semua ILMU Pengetahuan baik Sain, Sosial, maupun Agama semua saling terkait Laksana RANGKAIAN OCTAGONAL bahkan TRIAGONAL yang membentuk SPHERE ILMU.
    dan saya bisa membuktikan itu semua.

    untuk ms ma’ruf data semuanya dari film dokumenter tersebut.

    Terima kasih.

  • KAMERA VGA

    Sebenarnya yg ingin saya katakan, dengan kamera resolusi sekecil itu saja bisa di dapat gambar panorama angkasa yg cukup bagus, semestinya Kamera NASA yg konon dulu saja sudah mencapai resolusi 100MP, mestinya bisa jauh lebih bagus, tidak semua FLATE BLACK.

    Sekarang sedang tayang di TV Dokumenter FROZEN PLANET, dan Wow amazing, Gugus galaxy dengan Gemerlap taburan Trilunan Bintang terekam dengan sangat Jelas dari muka Bumi di area Kutub sana.

    Coba iseng-iseng cari foto angkasa seperti ISS yg berlatar gelap flate, lakukan re filter putih, maka akan di temukan beberapa foto yg jelas ada jejak retouching seperti garis lurus patah ( pola masking cut to black).

    Kadang terpikir untuk apa dan kenapa? Pertanyaan terus muncul….. tetapi lebih dari itu semua tetap saja saya berterima kasih pada NASA, ESA, NASDA, RASA dan juga LS, sebab semua adalah sember ILMU yg sedang ku gemari.
    Terima kasih.