“Kayak ayam goreng…”, begitulah kata–kata yang langsung tercetus dalam benak saat menyaksikan citra demi citra hitam putih yang tersaji di layar. Bukan, ini bukan bagian dari demam Upin–Ipin si kembar penggemar ayam goreng dari tanah seberang yang sedang menyihir dunia anak–anak Indonesia. Melainkan sebentuk kekaguman yang spontan tercetus kala menyaksikan hasil bidikan wahana antariksa Deep Impact yang melintas dekat inti komet 103 P/Hartley 2 dalam misi antariksa nir–awak EPOXI (Extrasolar Planet Observation and Deep Impact Extended Investigation) pada 4 November 2010 lalu.
Citra–citra Deep Impact tak hanya mengonfirmasi dimensi dan bentuk inti komet Hartley 2 yang kecil dan sangat lonjong sebagaimana telah diungkap sebelumnya dalam observasi teleskop landas–bumi Spitzer dan teleskop radio Arecibo secara terpisah, namun juga menyingkap sejumlah fakta yang mengubah cara pandang kita akan komet.
Terbang lintas dekat Deep Impact pada inti komet Hartley 2 merupakan kulminasi misi EPOXI yang telah bergulir selama lima tahun lebih sejak 21 Juli 2005 pasca Deep Impact usai menjalankan misi utamanya mengobservasi dinamika komet 9 P/Tempel 1.
Pengendali misi di NASA Jet Propulsion Laboratoy yang dimanajeri Tom Duxbury memerintahkan Deep Impact menjalani serangkaian manuver yang memungkinkannya mendekati target baru dengan karakter orbitnya sangat berbeda. Semula Deep Impact dijadwalkan melintas dekat komet Boethin pada 5 Desember 2008. Namun komet ini demikian redup dan tak pernah teramati lagi sejak 1986 sehingga akurasi orbitnya tidak menjamin keberhasilan misi. Deep Impact lantas diarahkan ke komet Hartley 2. “Komet Hartley 2 sama menariknya dengan komet Boethin karena intinya relatif kecil namun aktif,” demikian Michael A’ Hearn, astronom University of Maryland sekaligus penyelidik utama misi EPOXI menjelaskan. Dalam kata–kata Tom Duxbury, “ketika komet Boethin tak terlacak, kami mengarahkannya ke komet Hartley 2 sebagai cadangan, yang sama menariknya namun membutuhkan waktu dua tahun lebih lama guna mencapainya.”
Puncak terbang lintas Deep Impact berlangsung pada 4 November 2010 pukul 21:00 WIB kala ia berhasil mendekati inti komet Hartley 2 pada jarak hanya 700 km sembari melaju dengan kecepatan 44.300 km/jam. Inti komet terlihat sangat lonjong dengan bentuk mirip paha ayam, atau dalam kata–kata astronom Donald Yeomans yang menjadi salah satu anggota tim peneliti, “mirip kacang.” Bentuk inti ini mirip dengan bentuk inti komet 19 P/Borrelly sebagaimana diabadikan wahana antariksa Deep Space 1 pada bulan September 2001, hanya saja inti komet Borrely empat kali lebih besar. Bentuk inti tersebut mengesankan sebagai dua gumpalan material terpisah (biner) yang kemudian bersatu kembali oleh tarikan gravitasi keduanya. Jika hal ini memang benar terjadi, maka bisa disimpulkan dinamika yang terjadi dalam kawasan sumber komet (yakni di sabuk Kuiper–Edgeworth dan awan komet Oort) menyerupai apa yang terjadi di kawasan sabuk Asteroid Utama (seperti diperlihatkan asteroid Hayabusa dan Kleopatra), meski keduanya sangat berbeda sifat.
Diameter inti Hartley 2 (dihitung pada sumbu panjangnya) adalah 2,25 km atau dua kali lipat lebih besar dibanding nilai 1,14 km yang dihasilkan dari observasi teleskop Spitzer pada bulan Agustus 2008. Dengan demikian inti komet Hartley 2 adalah inti komet terkecil yang pernah dikunjungi wahana antariksa nir–awak, memecahkan rekor sebelumnya yang dicatat wahana antariksa Stardust saat mengunjungi inti komet Wild 2 (diameter 4,0 km) pada bulan Januari 2004 silam. Komet Hartley 2 juga merupakan komet kelima yang telah dikunjungi wahana antariksa yang dirancang khusus untuk terbang lintas, setelah komet Halley, Borrelly, Wild 2 dan Tempel 1.
Meski kecil, permukaan inti komet Hartley 2 cukup aktif. Aliran–aliran jet pembawa material volatil yang menyusun coma (kepala komet) dan ekor komet diidentifikasi muncul pula dari sisi gelap (bagian inti yang membelakangi Matahari). Ini mencengangkan sebab secara teoritis aliran jet hanya akan muncul di sisi terang sebagai konsekuensi dari pemanasan sinar Matahari pada permukaan inti yang lantas membuat materi volatil tersublimasi menjadi gas. Hal lain yang mengesankan para astronom penelitinya adalah tingkat produksi gas CO2 yang di atas normal. Gas CO2 menjadi komponen utama material volatil yang dilepaskan inti komet Hartley 2, namun apa penyebabnya belum diketahui Aktivitas inti komet Hartley 2 mengesankannya sebagai komet muda yang baru saja hadir di orbitnya dengan hampir 50 % permukaan inti aktif, berbanding terbalik dengan komet Halley (dipersepsikan sebagai komet tua) yang hanya memiliki 10 % permukaan inti aktif seperti diperlihatkan wahana antariksa Giotto saat mendekatinya di tahun 1986. Dalam kata–kata Yeomans, komet Hartley 2 adalah “kecil, namun hiperaktif…”
Belum jelas apakah aktifnya inti komet Hartley 2 juga berhubungan dengan bentuk intinya. Sebagai pembanding, inti komet Borrelly yang bentuknya mirip juga cukup aktif (37 % permukaannya aktif), bertolak belakang dengan inti–inti komet lainnya yang bentuknya berbeda seperti Wild 2 (24 % permukaan aktif) dan Tempel 1 (14 % permukaan aktif). Aktivitas inti berbanding lurus dengan jumlah massa inti yang terlepas ke angkasa setiap kali komet muncul di dekat Matahari. Komet Hartley 2 diestimasikan memiliki massa 300 juta ton sehingga dengan aktivitasnya pada saat ini, komet ini diperkirakan hanya akan bertahan dalam tempo 700 tahun ke depan sebelum kemudian terpecah–belah dalam evolusinya.
Berdasarkan grafik evolusi komet dari Fernadez (2005), dalam 700 tahun ke depan komet Hartley 2 akan bertransformasi dari komet beraktivitas tinggi seperti saat ini menjadi komet beraktivitas rendah (fraksi permukaan inti aktif jauh lebih kecil dari 1 %) dan selanjutnya inaktif sebelum terpecah–belah. Pemecahbelahan inti komet akan menyebabkan komet aktif kembali, namun juga diikuti dengan tahap pemecahbelahan selanjutnya sehingga inti komet bakal hancur lebur menjadi kerikil dan debu berukuran kecil yang kelak menjadi sumber hujan meteor saat bersinggungan dengan orbit planet.
Referensi : Fernandez. 2005. Comets: Nature, Dynamics, Origin and Their Cosmogonical Relevance.
2 komentar