Setiap saat, Bumi kita dibombardir dengan berbagai macam radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek-objek langit, mulai dari sinar radio yg berenergi rendah hingga sinar gamma yg berenergi tinggi. Akan tetapi, dengan keberadaan atmosfer Bumi, hanya sinar radio dan sinar tampak (visual) yang mencapai permukaan Bumi. Sementara, sinar-sinar yang lain hanya mampu menembus hingga ketinggian tertentu.
Hal tersebut merupakan keberuntungan bagi manusia karena atmosfer melindungi manusia dari radiasi-radiasi energi tinggi. Akan tetapi, bagi para astronom, kenyataan tersebut mungkin justru menjadi sebuah kekurangberuntungan. Dalam dunia astronomi, segala bentuk radiasi yang dipancarkan oleh objek langit (walau hanya sedikit) sangatlah berarti. Oleh karena itu, keberadaan atmosfer membuat tidak semua cahaya/radiasi dapat diamati oleh astronom dengan menggunakan teleskop yang ada di permukaan bumi (ground based telescope). Untuk menyiasati hal tersebut maka dikembangkanlah teleskop-teleskop yang ditempatkan di luar bumi (space based telescope), salah satu contohnya adalah teleskop Chandra. Sebagian besar teleskop berbasis luar angkasa dibangun berdasarkan jenis radiasi/panjang gelombang yang ingin diamati. Ambil contoh teleskop Chandra. Teleskop ini diluncurkan untuk mengamati objek langit pada panjang gelombang sinar-x. Contoh lain, teleskop IRAS yang dibangun untuk panjang gelombang inframerah.
Studi obyek langit pada rentang panjang gelombang selain radio dan sinar tampak sangat penting. Dengan mengamati obyek langit dari berbagai panjang gelombang, kini manusia mampu melihat alam semesta ini dari berbagai macam dunia: dunia yg tampak oleh mata kita, dunia yg tampak oleh mata ular, ataupun dunia yg tampak oleh mata lumba-lumba. Di dalam tiap2 dunia tersebut, informasi yang diperoleh pun bisa berbeda-beda yang pada akhirnya saling menyempurnakan satu sama lain.
Teleskop Sinar-X
Sejarah mengenai teleskop sinar-x dimulai sekitar awal tahun 1960-an. Saat itu para ilmuwan menggunakan roket untuk membawa peralatan canggih ke atas atmosfer bumi. Usaha ini membuahkan hasil pada tahun 1962 ketika roket yang diluncurkan oleh sebuah group di American Science and Engineering (AS&E)Â untuk pertama kalinya mendeteksi sebuah objek pemancar sinar-x pada rasi bintang Scorpius yang kemudian diberi nama Scorpius X-1. Setelah bereksperimen menggunakan roket, wahana teleskop sinar-x pertama yang mengorbit Bumi baru diluncurkan pada tahun 1970-an (Uhuru, SAS 3, Ariel 5). Lalu, pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an mulai diluncurkan wahana yang lebih besar (HEAD-1, Einstein, EXOSAT, dan Ginga). Jika wahana-wahana sebelum tahun 1990 hanya mampu mendeteksi keberadaan sumber sinar-x, maka wahana-wahana yang dibangun pada tahun 1990-an juga mampu mengambil spektrum mereka (ASCA), dan mempelajari parameter waktunya (RXTE). Kini telah diluncurkan wahana dengan resolusi lebih tinggi, yaitu Chandra & XMM Newton (1999) serta Suzaku/Astro E-2 (2005). Keberadaan wahana-wahana tersebut memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan dunia astronomi. Salah satunya adalah kita bisa mengetahui bahwa hampir semua objek langit memancarkan sinar-X, mulai dari komet yang dekat hingga quasar yang sangat jauh. Tentu hal ini memberikan pandangan baru dan menarik dalam mengeksplorasi dunia astronomi pada umumnya dan astrofisika energi tinggi pada khususnya.
Lalu ,seperti apakah teleskop sinar-x yang kini sedang mengorbit bumi kita? Tidak seperti cermin untuk teleskop optik yang dibuat berbentuk seperti piring, cermin teleskop sinar-X dibuat lebih seperti tabung-tabung kaca. Hal ini disebabkan foton sinar-X yang memiliki energi tinggi bersifat seperti peluru. Jika peluru ditembakkan tegak lurus terhadap dinding, maka peluru tersebut langsung menembus dinding. Sedangkan, jika peluru ditembakkan hampir sejajar dengan dinding, maka peluru tersebut akan dipantulkan. Hal yang demikian juga berlaku pada foton sinar-X. Oleh karena itu cermin teleskop sinar-X harus diposisikan hampir sejajar dengan foton sinar-X yang datang dan permukaannya dibuat sangat halus. Sedemikian halusnya, sehingga jika permukaan pulau Jawa diperhalus, maka Gunung Semeru hanya setinggi kurang lebih 2 cm (untuk kasus cermin Chandra).
Fisikawan asal Jerman, Hans Wolter, mendeskripsikan tiga tipe konfigurasi yang berbeda untuk teleskop sinar-X seperti yang terlihat pada gambar 1. Setiap tipe membutuhkan 2 jenis cermin yang ditempatkan berbeda-beda. Pada tipe I, kedua cermin yang digunakan adalah cermin hiperboloid dan paraboloid, dengan kedua cermin ditempatkan bersampingan dengan cermin hiperboloid, yang berada di bagian luar. Sedangkan tipe II juga menggunakan dua jenis cermin yang sama dengan tipe I, tetapi posisi cermin paraboloid ditempatkan agak di depan cermin hiperboloid. Dengan posisi yang hampir sama (namun posisi cermin paraboloid lebih ke arah luar), tipe III membutuhkan cermin ellipsoid untuk menggantikan posisi cermin hiperboloid. Dari ketiga tipe tersebut, konfigurasi tipe I merupakan konfigurasi mekanik yang paling sederhana sehingga sering digunakan. Selain itu, tipe I juga memiliki keuntungan untuk memungkinkan membangun beberapa teleskop di dalam teleskop yang lebih besar. Dengan begitu, area refleksi menjadi meningkat. Karena sebagian besar sumber sinar-X sangat lemah, maka menambah area refleksi akan memaksimalkan kekuatan sistem cermin dalam mengumpulkan foton.
Info apa yg bisa kita dapat dari foton-foton sinar-x tersebut? Dari citra sinar-x, kita bisa mengetahui apa yang terjadi pada obyek yang kita pelajari selain yang kita peroleh dari citra tampak. Bisa saja dari keduanya menampakkan hasil yang berbeda. Misalkan, dari citra sinar tampak pada suatu daerah hanya sedikit bintang yang terlihat, namun saat kita mengambil citra daerah tersebut dalam sinar-x, ternyata tampak lebih banyak bintang. Sedangkan dari spektrumnya, salah satu contohnya, kita bisa mencocokkan spektrum obyek yg kita pelajari dengan sebuah model. Dengan begitu, kita bisa mengetahui seperti apakah obyek tersebut, apakah ia bintang neutron atau Lubang Hitam? Selain dari citra dan spektrum kita juga bisa mendapatkan informasi dari parameter waktu, yaitu kapan foton tersebut tertangkap oleh detektor. Dari parameter waktu tsb, salah satu yg bisa kita peroleh adalah periode orbital obyek yang kita amati bila obyek tersebut mengelilingi sesuatu. Dan masih banyak lagi informasi yg bisa kita dapatkan dari pengamatan sinar-x.
Dari pembahasan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa pengamatan dalam sinar-x masih berumur sangat muda (~47) tahun bila kita bandingakan dengan pengamatan dalam sinar tampak (~400 tahun). Oleh karena itu masih banyak hal yang bisa dieksploritasi dari bidang ini. Kemungkinan suatu model bertambah atau berubah sangat terbuka. Siapa tahu, Andalah salah seorang yang mendapat kesempatan tersebut!!!
Sumber: HEASARC
Tulis Komentar