Tiap tanggal 1 Januari orang-orang di berbagai belahan dunia akan bersorak sorai merayakan pergantian tahun. Setelah 365 hari yang telah kita lalui, kita akan menyambut 365 hari yang baru. Harapan-harapan dilambungkan untuk menyongsong hari yang baru. Doa-doa diucapkan. Tahun baru tlah tiba!
Namun, di balik kegembiraan tahun baru, pernahkah terlintas di benak kita pertanyaan-pertanyaan seputar kalender? Misalnya, tahukah anda mengapa satu tahun lamanya 365 hari dan setelah itu datang tahun baru membawa 365 hari yang baru, atau tahukah anda sejak kapan kalender yang kita gunakan sekarang ini mulai digunakan pertama kalinya dan siapa yang menciptakannya?
Setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat) yang terbagi ke dalam 12 bulan. Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.
Pada duabelas bulan tersebut, setiap harinya istimewa. Hari-hari tertentu merupakan sebuah perayaan atau peringatan bagi sekelompok orang. Di negara kita misalnya, setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan negara kita. Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal. Pada tanggal 1 Januari, tahun baru kita rayakan. Jika digabungkan hari perayaan atau hari peringatan di seluruh dunia, kemungkinan besar setiap harinya merupakan hari perayaan atau peringatan.
Tanggal-tanggal seperti ini adalah bagian dari sistem penanggalan Gregorian atau lebih kita kenal di Indonesia sebagai sistem penanggalan masehi. Selain resmi digunakan sehari-hari di negara kita, sistem penanggalan Gregorian ini merupakan sistem penanggalan internasional.
Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari. Revolusi Bumi mengelilingi Matahari tiap tahunnya mengakibatkan Matahari terlihat dari Bumi bergerak melintasi bola langit. Padahal, sebenarnya Bumi bergerak mengitari Matahari maka kita melihat Matahari diproyeksikan pada medan bintang yang berbeda-beda. Lintasan Matahari semu selama setahun ini kemudian disebut ekliptika. Mudahnya, bayangkan saja bintang-bintang di langit. Bintang-bintang tampak terbit dan tenggelam setiap harinya. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh rotasi Bumi terhadap sumbunya, bukan karena Bumi yang diam dan dikelilingi oleh bintang-bintang, seperti yang dikira orang-orang zaman dahulu selama berabad-abad.
Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan ekliptika tempat Matahari melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret. Sistem penanggalan dengan acuan Matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau kalender syamsiah. Oleh karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam kalender Gregorian lamanya 365 hari.
Tetapi, sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya merupakan reformasi dari sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya. Kalender Gregorian pada mulanya adalah kalender yang digunakan oleh bangsa Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus Matahari (solar calendar) seperti sekarang ini. Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari duabelas bulan seperti sekarang, tetapi terdiri dari sepuluh bulan (Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, December) dengan jumlah hari sepanjang tahun adalah 304 hari.
Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma pertama kalinya atau “from the founding of the city (of Rome)”, yang diterjemahkan dari bahasa Romawi “ab urbe condita”. Selain itu awal tahun atau tahun baru dirayakan setiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari seperti sekarang.
Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi kalender yang terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulannya masih menyesuaikan dengan siklus peredaran Bulan mengitari Bumi, rata-rata adalah 29,5 hari. Raja Romawi, Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari diantara bulan Desember dan Maret. Dengan demikian didapat tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada tahun 450 SM Februari dipindahkan ke posisinya sekarang ini, di antara Januari dan Maret.
Tetapi, tahun dengan 354 hari tidak sesuai dengan periode Bumi mengelilingi Matahari yang telah diketahui waktu itu, yaitu 365,242199 hari. Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi tersebut tidak sesuai sekitar sebelas hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini menjadi sekitar sebulan. Untuk mengakali hal ini, kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan setiap dua tahun sekali. Tidak berapa lama kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Romawi kuno.
Pada 46 SM, Julius Caesar mereformasi kalender dengan memerintahkan bahwa panjang satu tahun haruslah 365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan pertimbangan dari seorang ahli astronomi dari Alexandria bernama Sosigenes. Ini mengakibatkan beberapa hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari. Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada urutan ganjil memiliki 31 hari dan bulan yang berada pada urutan genap memiliki 30 hari, dengan bulan Februarinya berjumlah 29 hari. Selain itu, pada tahun 44 SM bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk menghormati Julius Caesar.
Dengan demikian, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan siklus Bulan mengelilingi Bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari. Kalender Julian, demikian kalender ini disebut, tidak lagi bersifat lunar calendar (kalender Qamariyah) karena ketidaksesuaiannya dengan siklus Bulan.
Tetapi permasalahan tidak serta merta selesai setelah reformasi kalender Julian. Masih ada perbedaan sekitar seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang tahun sebenarnya (pergerakan semu Matahari sepanjang tahun). Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan sebesar satu hari. Dalam waktu beberapa puluh tahun, kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan dengan musim lebih besar lagi. Dengan demikian, kalender Julian tidak lagi sesuai dengan pergantian musim, padahal tujuan utama reformasi Julian adalah menyesuaikan dengan musim. Reformasi Julian jadinya hanya menunda ketidaksesuaian tersebut, seperti yang terjadi pada kalender Romawi kuno, lebih lama saja.
Untuk mengakali perbedaan dengan musim tersebut, dengan pertimbangan lain lagi dari Sosigenes, setiap empat tahun sekali akan ditambahkan satu hari pada bulan Februari. Tahun seperti inilah yang kemudian kita kenal sebagai tahun kabisat. Maka, pada tahun kabisat tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari sehingga jumlah hari satu tahunnya menjadi 366 hari. Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahunnya adalah 365,25 hari dan menjadi cukup dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.
Namun, Februari yang kita kenal sekarang terdiri dari 28 hari. Terdapat cerita menarik mengenai perubahan Februari dari 29 hari menjadi 28 hari, meskipun tidak diyakini kebenarannya. Tahun 8 SM bulan Sextilis diganti namanya menjadi Augustus untuk menghormati kaisar Augustus yang memerintah Romawi setelah Julius Caesar. Pada masa kekuasaannya, ia mengambil satu hari dari bulan Februari untuk ditambahkan ke bulan Agustus, sehingga bulan Agustus pun kemudian terdiri dari 31 hari, bukan 30 hari lagi seperti sebelumnya. Dengan jumlah hari yang sama antara Juli dan Agustus, walaupun namanya dijadikan nama bulan setelah bulan Juli, ia tidak lagi merasa inferior terhadap Julius Caesar.
Setelah didapat panjang tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun sebenarnya dengan solusi tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belumlah cukup sangat akurat sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama dapat tetap mengakibatkan ketidaksesuaian dengan musim. Dengan “kesalahan” yang besarnya hanya 0,007801 hari tiap tahunnya, dalam kurun waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim (panjang tahun sebenarnya) sekitar satu hari.
Pada tahun 1582 kalender Julian telah memiliki ketidaksesuaian dengan musim sebesar 10 hari. Untuk mengatasi hal ini, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah. Pertama, ia memutuskan bahwa tanggal 4 Oktober tahun 1582 akan langsung diikuti dengan tanggal 15 Oktober 1582, bukan tanggal 5 Oktober 1582. Kedua, untuk mencegah ketidaksesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga menetapkan bahwa tiga dari empat tahun abad (tahun yang berakhiran dengan 00, misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat. Dengan peraturan tahun kabisat yang dulu, setiap empat tahun sekali, tahun yang habis dibagi empat akan menjadi tahun kabisat. Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat. Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 2000, yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.
Tetapi, peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan. Memang negara-negara dengan mayoritas umat Katholik dengan segera mengubah penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah direformasi Paus Gregorius, tetapi tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan lainnya. Pada banyak negara kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai tahun 1918 masih digunakan oleh Rusia. Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan yang mana yang digunakan, yang Julian atau Gregorian. Demikianlah kisah kalender yang kita gunakan sehari-hari kini. Menarik mengetahui bahwa manusia dapat “mensiasati waktu”.
Non, mo tanya sebenarnya kapan waktui yang tepat menentukan tahun masehi, baik julian maupun gregorian, baik tahun nolnya ataupun tahun pelaksanaannya. Dan apa akibatnya misalnya kalau di Indonesia dulu pake kalender Saka trus menjadi kalender masehi . Apakah mungkin ada pemotongan tahun yang sangat besar semisal 354 tahun? Karena saya sedang meneliti kemungkinan adanya pelipatan tahun dengan besar yang nyari mencakup 3 abad (yaiotu 354 tahun tadi). Contohnya begini, kalau kita gunakan kalender refensi misalnya tahun saka jawa X1, kalender Masehi adalah X2 pada titik tahun yang sama. Karena harus mengikutisuatu aturan kalender X2-X1 ternyata selisihnya bukan 354 hari tapi 354 tahun alias 3,54 abad!!!! Mungkinkah ini terjadi pada suatu perubahan sistem kalender?
saya ada kecenderungan sama dengan pendapat bapak. bolehkah saya di beri analisa bapak perilah lipatan tahun tersebut. trmks…
setahu saya tidak akan ada perbedaan tahun kok.
Luar biasa . . . terimakasih penjelasannya.
Apakah bisa menjelaskan tingkatan langit yang 7, apakah langit diatas bumi adalah angit I, langit diatas matahari adalah langit II, dimana langit yang laian, III,IV,V,VI dan VII, trima kasih banyak bila bisa membantu,
maaf tidak ada pemahaman seperti itu di astronomi. pemahaman seperti itu sepengetahuan saya berasal dari agama.
Mba ivie kakaknya ucup ya??
Mbak Ivie kok pintel cih. Belajalnya cama mamah laurent ya.
Dik Pramesti aktif banget penelitiannya… jadi pengen tau ceita penelitiannya neh, bole ga
e iya lupa nanya, dik pramesti mau kan kirim alamat e-mailnya
Wuah, mantap bnget ilmunya… Dapat refrensinya dri mana??