fbpx
langitselatan
Beranda » Foto Sagittarius A*, Monster Lubang Hitam di Pusat Bimasakti

Foto Sagittarius A*, Monster Lubang Hitam di Pusat Bimasakti

Untuk pertama kalinya, citra dari pusat Bima Sakti. Foto monster lubang hitam Sagittarius A* yang massanya 4,3 juta massa Matahari!

Citra lubang hitam Sagittarius A* (Sgr A*) di pusat Bimasakti. Kredit: Kolaborasi EHT

Berada 27.000 tahun cahaya dari Bumi, ketika diamati, lubang hitam Sagittarius A* a.k.a Sgr A* ini tampak seukuran donat yang diletakkan di Bulan jika kita lihat dari Bumi.

Kita tidak bisa melihat langsung lubang hitam. Akan tetapi, kita bisa melihat cincin cahaya yang melingkari wilayah gelap. Cincin ini terbentuk dari pembelokkan cahaya oleh gravitasi lubang hitam yang luar biasa besar. Wilayah gelap inilah yang kita kenal sebagai bayangan lubang hitam.

Foto pertama lubang hitam yang diumumkan pada tahun 2019 berasal dari lubang hitam di pusat galaksi elips M87 yang jaraknya 55 juta tahun cahaya di gugus Virgo. Pada tahun 2022, foto serupa kembali dihasilkan, dan kali ini dari lubang hitam supermasif di pusat galaksi kita sendiri. 

Sagittarius A* di pusat Bimasakti. 

Tentang Sagittarius A*

Lokasi lubang hitam Sagittarius A* yang dilihat oleh ALMA di Chile. Kredit:
ESO/José Francisco Salgado, Kolaborasi EHT

Di pusat Bimasakti ada lubang hitam yang dikenal sebagai Sagittarius A* atau Sgr A* dengan diameter 26 juta km. Ukuran ini masih sangat kecil dibanding diameter Bimasakti yakni 100.000 tahun cahaya.

Keberadaan lubang hitam Sgr A* yang massanya jutaan kali massa Matahari di pusat Bimasakti juga sangat berpengaruh pada evolusi galaksi kita. Semakin besar massa sebuah benda maka gravitasinya juga makin besar. Nah, massa Sgr A* itu 4,3 juta massa Matahari. Itu artinya gravitasinya juga luar biasa kuat, bahkan bisa mencabik-cabik bintang!

Area pusat galaksi Bimasakti memang penuh kekacauan.

Gravitasi lubang hitam yang luar biasa besar menarik materi berupa gas dan debu yang ada di dekatnya. Akibatnya, aliran materi bergerak ke arah pusat galaksi dan mengitari Sgr A* dalam sebuah piringan yang kita sebut piringan akresi. Piringan akresi ini merentang antara 5 sampai 30 tahun cahaya dan materi di dalam piringan inilah yang jadi bahan makanan lubang hitam Sgr A*. Ketika gas dan debu yang ditarik masuk ke dalam lubang hitam melewati horison peristiwa, itu artinya, mereka tak akan pernah kembali. 

Kekacauan di Area Pusat Galaksi

Gas dan debu yang masih ada dalam piringan melewati fase hidup yang keras. Gravitasi yang kuat membuat materi di dalam piringan bergerak dalam kecepatan tinggi dan saling bertabrakan. Artinya ada energi yang besar dilepaskan di sini. Tak pelak piringan akresi ini  suhunya luar biasa panas sampai 10 juta ºC!

Untuk memahami apa yang terjadi pusat Bimasakti tentu tidak mudah. Kita tidak bisa melihat sendiri keberadaan lubang hitam supermasif di pusat galaksi. Yang bisa kita lakukan adalah melihat pengaruh gravitasi si lubang hitam pada perilaku benda-benda di sekitarnya, seperti perilaku bintang S2. Bintang ini mengorbit Sgr A* setiap 16 tahun, pada jarak 18 miliar km dengan kecepatan 27,5 juta kilometer per jam. 

Cara lain adalah mengamati cahaya yang dipancarkan oleh materi di sekelilingnya. Hasil interaksi itu menghasilkan bayangan lubang hitam dan untuk memotret bayangan tersebut, pengamatan dilakukan pada panjang gelombang radio.

Teleskop Sebesar Bumi

Montase teleskop radio dalam jaringan kolaborasi Event Horizon Telescope (EHT) saat memotret Sgr A*. Teleskop dalam jaringan EHT adalah: ALMA, APEX, teleskop 30 meter IRAM, JCMT, LMT, SMA, SMT, dan SPT.  Teleskop transparan pada foto ini merupakan teleskop radio yang bergabung setelah 2018 yakni Teleskop Greenland, NOEMA, dan teleskop 12 meter UArizona ARO. Kredit: ESO/M. Kornmesser, INAOE Archives, N. Patel, EAO-W. Montgomerie, D. Harvey, N. Billot, S. R. Schimpf, IRAM, Wikipedia.

Tidak mudah memang untuk memotret lubang hitam supermasif (supermassive black hole/SMBH) di pusat galaksi Bimasakti. Tapi bukan tidak mungkin. Foto lubang hitam merupakan hasil kolaborasi Teleskop Event Horizon yang melibatkan 300 peneliti dari 80 institusi di seluruh dunia. 

Kolaborasi EHT bertujuan untuk membangun teleskop raksasa virtual sebesar Bumi berhasil mewujudkan impiannya. Teleskop radio virtual ini merupakan penggabungan teleskop radio di seluruh Bumi yang bekerja dengan teknik interferometri. Tujuannya untuk mengumpulkan pancaran sinar radio dari objek astronomi. Teleskop-teleskop radio tersebut diselaraskan dan difungsikan sebagai satu teleskop raksasa seukuran Bumi.

Peta lokasi jejarin Teleskop Event Horizon yang digunakan untuk mengamati lubang hitam Sagittarius A*. Kredit: ESO/M. Kornmesser
Peta lokasi jejarin Teleskop Event Horizon yang digunakan untuk mengamati lubang hitam Sagittarius A*. Kredit: ESO/M. Kornmesser

Delapan teleskop radio dalam jejaring EHT yang melakukan pengamatan M87* maupun Sgr A* yakni, Atacama Large Millimeter/submillimeter Array (ALMA) dan Atacama Pathfinder EXperiment (APEX) di Chile, teleskop 30 meter IRAM di Spanyol, Teleskop James Clerk Maxwell (JCMT) dan Submillimeter Array (SMA) di Hawai’i, Large Millimeter Telescope Alfonso Serrano (LMT) di Meksiko, Teleskop Submillimeter (SMT) di Arizona, dan South Pole Telescope (SPT) di Antartika.

Sejak tahun 2018, ada tambahan beberapa teleskop dalam kolaborasi EHT yakni Teleskop Greenland, teleskop NOrthern Extended Millimeter Array (IRAM NOEMA) di pegunungan Alpen, Perancis, serta teleskop 12 meter University of Arizona di Kitt Peak, AZ, USA. Seluruh teleskop inilah yang digunakan untuk pengamatan Bimasakti yang dilakukan sejak tahun 2017.

Para astronom juga menggunakan superkomputer di Max Planck Institute for Radio Astronomy, Jerman, dan di Observatorium Haystack, di Massachusetts, USA, untuk mengolah 6000 TB data pengamatan Bimasakti yang dikumpulkan oleh Teleskop Event Horizon. 

Sgr A* vs M87*

Lubang hitam M87* dan Sgr A* yang dipotret oleh kolaborasi EHT. Kredit: Kolaborasi EHT.

Untuk mengamati lingkungan lubang hitam pada resolusi yang sangat tinggi sehingga bisa melihat lubang hitam di pusat galaksi dari “jarak dekat”. Yang menarik ukuran cincin cahaya yang melingkari bayangan lubang hitam memiliki ukuran seperti prediksi relativitas umum Einstein.

Jika dibandingkan dengan foto lubang hitam M87* yang dirilis tahun 2019, maka bisa dibilang Sgr A* memiliki kemiripan dengan M87*. Padahal dari sisi ukuran, M87* itu 1600 kali lebih besar dari Sgr A* dan massanya pun jauh lebih besar. Sgr A* hanya 4,3 juta massa Matahari sedangkan lubang hitam M87* masaanya 6,5 miliar massa Matahari. Tapi dari jarak, M87* 2000 kali lebih jauh dari Sgr A*. Jadi, meskipun kedua lubang hitam berbeda, cincin cahaya yang dihasilkan itu sama.

Lepas dari perbedaan kedua lubang hitam baik ukuran, massa dan juga galaksi yang menaunginya, keduanya sangat mirip. Dan ini memberi informasi penting bahwa Relativitas Umum mengatur lubang hitam dari dekat, dan perbedaan yang kita lihat merupakan perbedaan dari materi yang ada di sekeliling lubang hitam. 

Perbandingan ukuran Sgr A* dan M87*. Jarak M87* yang sangat jauhlah yang menyebabkan keduanya tampak memiliki ukuran yang sama. Kredit: Kolaborasi EHT.

Yang pasti, meskipun Sgr A* berada lebih dekat dibanding lubang hitam M87*, tapi pengamatannya jauh lebih sulit. 

Gas di sekitar lubang hitam Sgr A* maupun M87* memang bergerak dengan kecepatan yang sama, hampir setara kecepatan cahaya. Tapi, di M87*, gas butuh waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk mengorbit si lubang hitam. 

Di Bimasakti, ceritanya berbeda. Gas di sekeliling Sgr A* hanya butuh beberapa menit untuk mengelilingi si lubang hitam. Akibatnya, kecerlangan dan pola gas di sekitar Sgr A* berubah dengan cepat. Tentu saja tidak mudah untuk memperoleh hasil foto yang jelas. Mirip memotret anak anjing yang sedang sibuk mengejar ekornya sendiri. 

Keberhasilan memotret dua lubang hitam bukan hanya sebuah pencapaian. Data hasil pengamatan kedua lubang hitam tersebut merupakan informasi penting untuk memahami perilaku gas di sekitar lubang hitam supermasif. Nah, perilaku gas ini diperkirakan memegang peran penting dalam pembentukan dan evolusi galaksi. Selain itu, pengujian sifat gravitasi pada lingkungan ekstrim bisa dilakukan pada dua lubang hitam yang berbeda tersebut. 

Satu hal pasti, pencapaian ini bukan akhir melainkan awal untuk lebih memahami monster misterius di jantung galaksi. Dan tentunya jejaring Teleskop Event Horizon akan terus melakukan pengamatan untuk menyingkap cerita dari pusat galaksi. 

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Di masa depan klo teknologi teleskop dan pencitraan smakin maju pasti wujud si black hole sang tukang makan ini smakin terlihat nyata tdk sekedar gbr seberkas cahaya yg di tengahnya hitam kosong melompong. Pertanyaannya adlh apa benar klo wujud si lubang hitam tukang makan kemaruk ini sprti yg digambarkan di film interstellar?