Jam dinding menunjukkan pukul 03.30 saat saya terbangun. Udara dingin yang dihembuskan AC kamar membuat tubuh menggigil kedinginan. Saya tidak merapatkan selimut ke tubuh saya. Justru sebaliknya, saya bergegas bangun dan mencuci muka. Saya sudah terlambat.
Hari ini bertepatan dengan hari Minggu. Bertepatan juga dengan hari libur. Saya punya rencana bersama keluarga. Berkunjung ke Bonjol, titik nol ekuator di Sumatra Barat. Tempat ini berada di kabupaten Pasaman. Ini kali pertamanya saya ke sana.
Tidak hanya istri dan kedua anak saya yang saya ajak untuk pergi ke Bonjol. Saya membawa serta juga kawan jalan-jalan dari UIN Imam Bonjol. Saya menyebutnya Bang Wien dan istrinya, Kak Liesma. Bang Wien sangat hapal jalan-jalan di Sumatra Barat. Saya memerlukan keahliannya untuk memandu saya selama perjalanan.
Kami ke sana bukan tanpa sebab. Sebuah pesan WA masuk ke ponsel saya beberapa hari sebelumnya. Isinya sungguh membuat penasaran. “Mas.. Besok ada tim saya mendarat dan akan ke Pasaman. Mas Dino mau ikutan ke Pasaman? Lihat2-lihatPlanetarium?” Undangan ini sangat sayang untuk ditolak. Namun, beberapa tugas sekolah dan tugas domestik masih belum selesai. Kira-kira itu yang berkecamuk di pikiran saya. Pergi atau tidak.
Sebuah bangunan planetarium telah dibangun di titik nol ekuator. Bangunannya telah rampung dan ujicoba planetarium akan segera dilakukan. Saya menyebut ujicoba pertama ini dengan sebutan first light. Dalam astronomi, istilah “first light” merujuk pada penggunaan pertama sebuah teleskop untuk mengambil citra astronomi.
Analogi dengan hal tersebut, saya memaknai first light dalam planetarium sebagai proyeksi cahaya pertama proyektor yang menghantam dinding kubah planetarium hingga menghasilkan citra astronomi di kubah langit artifisial.
Saya memutuskan untuk tidak ikut mengantar tim ke Pasaman. Namun, saya akan tetap ke Bonjol, Pasaman tiga hari setelahnya. Saya berangkat hari Minggu. Dari rencana awal berangkat pukul 04.00, kami terlambat 30 menit. Perjalanan kami dimulai tepat pukul 05.30. Sengaja memilih pagi hari agar kami tidak terjebak macet di jalan lintas Sumatra ini. Jika dilihat melalui aplikasi google map, membutuhkan waktu 3 jam 35 menit untuk sampai di Monumen Ekuator di Bonjol, Pasaman dengan titik start perjalanan dari kota Padang.
Perjalanan saya ke Bonjol tidak mengalami kendala yang berarti. Saya cukup beruntung. Cuaca seminggu sebelumnya di Sumatra Barat yang selalu hujan kini cenderung cerah berawan. Sesekali gerimis tipis turun namun selebihnya hanya mendung saja. Minibus hitam saya pacu mengikuti kelak-kelok jalan. Terkadang menyusuri kota, terkadang menyusuri hutan dengan pemandangan air terjun Lembah Anai di sisi kiri jalan. Kota-kota yang kami lalui antara lain Sicincin, Padang Panjang, Bukitinggi, hingga mulai masuk ke Bonjol di Pasaman. Mendengar kata Bonjol tentu ingatan kita tertuju pada sosok pahlawan Sumatra Barat, Tuanku Imam Bonjol.
Menjelang pukul 10.00, kami tiba di Monumen Ekuator. Sebuah bola bumi raksasa menyambut kami di sebelah kiri jalan. Dan di dalam bola bumi raksasa tersebut ada sesuatu yang kami cari-cari. Apa lagi kalau bukan Planetarium.
Lantas, siapa yang mengirim WA yang mengundang saya untuk melihat planetarium? Sosok ini tak asing di dunia entrepreneur astronomi, beliau adalah Mas Hendro Setyanto, pemilik Imah Noong di Lembang, Jawa Barat. Bersama istri Mas Hendro, kami disambut dengan hangat. Bangunan yang terletak di Bonjol ini bernama Equatorium. Lengkapnya, Equatorium Bonjol, yaitu planetarium di garis ekuator.
Mas Hendro lalu memandu saya dan keluarga masuk ke dalam kubah bangunan planetarium. Sebelum masuk ke dalam bangunan, saya menyangka bangunan yang terlihat dari luar itu adalah kubah langitnya. Ternyata bukan. Di dalam bangunan kubah terdapat kubah yang lebih kecil yang terbuat dari kain anti terbakar. Itulah kubah utama yang menjadi langit artifisal pertunjukkan fenomena langit nantinya. Diameter kubah utama planetarium sekitar 8 meter. Di dalamnya mampu menampung 30-40 pengunjung.
Proyektor planetarium tampak teronggok di bawah. Dudukannya belum dipasang. Rencananya, proyektor ini akan diarahkan ke atas menghadap ke langit-langit kubah. Di bagian pusat lingkaran di bagian lantai yang berlapis karpet karet tebal, 4 buah speaker telah terpasang dengan posisi saling berlawanan arah. Posisi ini tentunya diatur agar suara pertunjukkan nanti dapat terdengar seragam di semua tempat pengunjung duduk.
Di bagian luar kubah planetarium, terdapat dua layar komputer yang sedang dioperasikan oleh operator. Inilah workstation yang mengatur jalannya pertunjukkan. Semuanya serba digital dan terkesan ringkas.
Namun sayang, harapan kami untuk melihat first light-nya planetarium tidak berjalan seperti yang direncanakan. Hal teknis ini sebenarnya bukanlah hal besar, namun sangat mempengaruhi. “Ada baut ukuran M8 yang tidak terbawa dari Lembang. Sudah dicari di Lubuk Sikaping ternyata hari Minggu toko baut tutup karena hari libur. Baut itu digunakan untuk memasang proyektor pada dudukannya.” Demikian mas Hendro menjelaskan.
Potensi Besar Daya Tarik Wisata Edukasi
Setelah berlelah-lelah mencoba eksperimen Coriolis yang hanya bisa dilakukan di titik nol ekuator, mas Hendro mengajak kami untuk melepas lelah di kantin yang tak jauh dari bangunan planetarium. Kami dijamu makan siang ditemani istri beliau yang ramah.
Keberadaan Equatorium yang berada di bawah Dinas Pariwisata bernilai sangat strategis. Betapa tidak, Equatorium adalah planetarium pertama dan satu-satunya yang berada di Pulau Sumatra. Posisi Bonjol cukup strategis. Sekitar 1 jam dari Bukittinggi, sebuah kota tempat kelahiran Proklamator Republik Indonesia, Bapak Mohammad Hatta. Selain itu, Bonjol cukup dekat dari provinsi Sumatra Utara. Harapannya, para pelajar dari berbagai sekolah dapat memanfaatkan keberadaan equtorium sebagai pusat pembelajaran ilmu langit astronomi. Keberadaan Equatorium semakin melengkapi Kawasan Bonjol sebagai tempat wisata edukasi bernilai sains dan sejarah. Sains di sisi planetarium dan Sejarah di Museum Tuanku Imam Bonjol.
Menjelang Zuhur, kami memutuskan untuk pamit kembali ke kota Padang. Kami berjanji akan kembali ke Bonjol saat peresmiannya oleh Dinas terkait dalam waktu dekat. Kami tiba di Padang sekitar pukul 22.30 malam. Esoknya melalui aplikasi WA, mas Hendro mengirimkan hasil proyeksi planetarium di kubah artifisial. Walaupun tidak berhasil melihat langsung, saya sangat senang planetrium dapat berfungsi dengan baik. Sebuah pesan tak lupa Mas Hendro titipkan kepada saya yang berdomisili di Padang Sumatra Barat, “Kita Kembangkan Bonjol agar wisata Astro dari Padang bisa sering-sering outing ke sini.”
Tulis Komentar