Sampai beberapa abad lampau, asteroid belum dikenal. Bahkan, pada awalnya bongkahan batuan angkasa ini diduga sebagai planet!
Jangan bayangkan kecanggihan pengamatan masa kini dimana para astronom sudah memiliki sistem pemantauan asteroid maupun mengirimkan wahana antariksa untuk mempelajari benda kecil tersebut. Sebagian besar wahana antariksa itu mengirimkan data saat terbang lintas di dekat asteroid. Bahkan ada yang mendarat seperti yang dilakukan wahana Hayabusa di asteroid Itokawa dan butiran debu materi dari asteroid itu dibawa ke Bumi.
Itu yang terjadi di masa kini!
Beberapa abad lampau, kendala terbesar adalah instrumentasi. Bahkan untuk menemukan kehadiran asteroid pun tidak mudah. Tapi itu tidak lantas membuat para astronom berhenti mengamati langit dan mencari obyek-obyek baru.
Planet yang hilang
Menelusur jejak masa lalu, kisah ini dimulai ketika Johannes Kepler memperoleh pencerahan saat sedang mengajar Matematika tanggal 19 Juli 1595. Saat itu Kepler meyakini kalau dimensi dari orbit planet-planet memiliki keteraturan yang sesuai dengan 5 bangun ruang platonik yang dianggap sempurna di masa Yunani kuno, karena memiliki keseragaman.
Bagi Carl Sagan, Johannes Kepler yang menemukan Hukum Gerak Planet ini merupakan astrofisikan pertama sekaligus astrolog ilmiah terakhir. Kepler dikenal sebagai seorang relijius yang menempatkan astrologi dan penjelasan alkitabiah untuk menjelaskan kerja Bumi. Tapi di saat yang sama, Kepler juga mendasarkan seluruh pekerjaannya pada metode ilmiah yang berkembang pada masa astronomi modern yakni pengamatan, pemodelan dan uji coba. Gabungan kedua ide ini menyebabkan Kepler mencoba mencari susunan dan pola.
Saat Kepler menganalisis pengamatan Tycho Brahe dan pada akhirnya menemukan hukum gerak planet pada tahun 1619, ia menemukan suatu keanehan. Ada gap besar antara Mars dan Jupiter. Dan Kepler meyakini ada planet yang hilang di area ini. Rupanya, Kepler tidak sendiri!
Pada tahun 1772, Johann Bode mempublikasikan aturan Matematika terkait prediksi jarak planet dari Matahari. Bode bukan yang pertama. Pola keteraturan jarak planet pertama kali dikemukakan oleh David Gregory dalam publikasi The Elements of Astronomy yang diterbitkan tahun 1715.
Menurut David Gregory, seandainya jarak Bumi dari Matahari dibagi menjadi 10 bagian yang sama, maka dari jarak ini Merkurius akan berukuran 4 bagian, Venus 7 bagian, Mars 15 bagian, Jupiter 52 bagian dan Saturnus 95 bagian.
Pola ini diadaptasi oleh Christian Wolf, seorang filsuf, Johan Daniel Titius, dan Johann Elert Bode yang merupakan astronom dari Jerman. Aturan yang kemudian kita kenal sebagai Hukum Bode atau Hukum Titus Bode pada dasarnya merupakan deret matematika sederhana yang memprediksi jarak planet dari Matahari. Hasil akhirnya akan menunjukan hubungan antara jarak planet yang ada di Tata Surya. Tapi, kesesuaiannya hanya sampai pada Uranus. Itupun diketahui 9 tahun kemudian ketika planet es ini ditemukan oleh William Herschel.
Astronom Inggris tersebut menemukan Uranus yang redup dan bergerak lambat pada tahun 1781. Herschel bukan orang pertama yang mengamati planet redup ini. Akan tetapi, ia adalah orang pertama yang menduga kalau obyek redup yang dilihat bergerak di langit dengan lambat ini merupakan sebuah komet. Menariknya, komet yang satu ini tidak punya coma dan ekor. Orbitnya juga hampir lingkaran.
Hasil pengamatan berulang kali pada akhirnya mengukuhkan komet tersebut sebagai planet, dengan nama Uranus. Artinya obyek yang sama yang pernah dikatalogkan sebagai bintang sejak diamati Hipparcos pada tahun 128 SM, sudah dipastikan sebagai sebuah planet yang mengitari Matahari. Jarak Uranus yakni 19,6 AU cukup sesuai dengan prediksi Bode.
Kesesuaian dengan pola dalam aturan Titius-Bode tentunya menarik perhatian apalagi ada gap misterius antara Mars dan Jupiter. Pada akhirnya, Johann Bode mengajak para astronom untuk mencari planet yang hilang di antara Mars dan Jupiter pada jarak 2,8 AU. Panggilan ini pun direspon oleh para astronom eropa yang membentuk sebuah kelompok pengamatan pada tahun 1800. Pengamatan dilakukan pada area langit yang berbeda.
Sabuk Asteroid
Seharusnya ada planet pada jarak 2,8 AU di antara Mars dan Jupiter. Tapi bagaimana menemukannya? Apa yang diamati?
Ini abad ke-18 bukan abad ke-20 di mana berbagai instrumen canggih sudah ada. Pada masa itu fotografi belum ditemukan. Teleskop pun belum seperti sekarang. Tidak mudah tapi bisa dilakukan.
Hukum Kepler yang ketiga memperlihatkan hubungan antara jarak dan periode planet. Semakin jauh sebuah planet dari Matahari, maka periode orbitnya semakin panjang periode orbitnya atau semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengitari Matahari. Maka, para astronom harus mencari sebuah obyek yang bergerak dengan laju tertentu terhadap bintang latar belakang.
Selain sekelompok astronom eropa yang sudah berbagi kerja, ada Giuseppe Piazzi, Direktur Observatorium Palermo, Italia yang ikut melakukan pengamatan. Dengan menggunakan teleskop Palermo Circle dengan apperture 7,5 cm untuk melakukan pengamatan.
Tahun baru 1801 jadi hari yang sangat spesial. Tanggal 1 Januari 1801, Piazzi menemukan bintang magnitudo 8 di rasi Taurus. Yang menarik, dalam beberapa hari pengamatan, bintang ini bergerak dengan jarak 0,1 derajat setiap malam. Lagi-lagi…. dugaan awal Piazzi kalau bukan bintang, benda ini tentunya komet. Dan inilah pengumuman yang diberikan kepada pers. Ia menemukan komet!
Tapi, komet ini punya anomali. Obyek redup ini tidak menunjukan kehadiran ekor yang samar yang mulai muncul saat es menguap ketika mendekati Matahari. Selain itu, obyek ini juga kecepatannya tidak dipercepat jika mendekati Matahari dan orbitnya tidak lonjong.
Benda yang dilihat Piazzi memiliki gerak seragam yang lambat. Jaraknya juga berada di gap antara Mars dan Jupiter. Menurut Piazzi, tentunya obyek ini bukan komet melainkan sesuatu yang jauh lebih baik. Yup! Planet yang hilang, yang kemudian diberi nama Ceres, sang dewi Kesuburan dari Roma.
Ceres pada akhirnya jadi planet baru. Ia belum dikategorikan sebagai asteroid atau benda mirip bintang, istilah yang dikemukakan oleh Herschel saat gagal memberi nama planet Uranus yang ia temukan. Uranus adalah nama yang diberikan oleh Johann Bode. Dan Bode juga berupaya memberi nama Juno pada Ceres tapi gagal.
Ceres sempat hilang dari peredaran di langit saat ia berada di balik Matahari. Lagi-lagi ia jadi planet yang hilang. Tapi, matematikawan Carl Friedrich Gauss berhasil menghitung orbit Ceres dan memprediksi kehadirannya kembali di langit.
Para astronom dari Eropa Tengah yang membentuk kelompok pengamatan untuk mencari planet yang hilang juga rupanya berhasil menemukan obyek lain di rasi Virgo. Planet kedua di area antara Mars dan Jupiter pun ditemukan oleh Wilhelm Olbers dan diberi nama Pallas, atau julukan lain dari dewi Athena, dewi kebijaksanaan dari Yunani.
Ada dua planet kecil mengorbit pada jarak yang sama di antara Mars dan Jupiter. Apa yang terjadi? Dugaan awal, keduanya merupakan pecahan dari sebuah planet besar yang hancur karena bencana di dalam planet atau mungkin juga akibat tabrakan dengan komet.
Ternyata, bukan hanya Ceres dan Pallas. Pada area perpotongan orbit kedua benda ini, Karl L. Harding menemukan obyek ke-3 di tahun 1804. Planet ketiga ini diberi nama Juno, istri dari Jupiter. Di tahun 1807, satu lagi planet ditemukan oleh Wilhelm Olbers di antara Mars dan Jupiter. Namanya Vesta, dewi Romawi yang melindungi Bumi. Vesta jadi planet kecil terakhir yang ditemukan di awal abad ke-18. Tidak ada lagi planet yang ditemukan sampai 40 tahun kemudian.
Seiring perjalanan waktu, para astronom menemukan kalau area di antara Mars dan Jupiter merupakan area yang sangat ramai. Setidaknya, sampai 84 tahun sejak Vesta ditemukan, sudah ada 400 ‘planet kecil’ yang ternyata bukan planet yang ditemukan di area ini.
Pada tahun 1850-an, obyek yang berada di antara Mars dan Jupiter akhirnya diberi kategori khusus yakni asteroid. Diduga, obyek-obyek ini merupakan materi awal pembentukan tata surya yang gagal membentuk planet.
Gap atau celah di antara Mars dan Jupiter ini kemudian dikenal dengan nama Sabuk Utama Asteroid atau sering kita sebut Sabuk Asteroid.
1 komentar