fbpx
langitselatan
Beranda » Menulis Kembali Hukum Efek Debu Pada Cahaya Bintang

Menulis Kembali Hukum Efek Debu Pada Cahaya Bintang

Jika cahaya bergerak di angkasa melewati ruang kosong, maka tentu akan mudah bagi para pengamat untuk bisa menentukan sifat dan karakter sebuah bintang. Semudah memotret bintang dan mengukur kecerlangannya atau yang dikenal sebagai fotometri.

Nebula Tarantula. Kredit: : NASA, N. Walborn, J. Maíz-Apellániz and R. Barbá.
Nebula Tarantula. Kredit: : NASA, N. Walborn, J. Maíz-Apellániz and R. Barbá.

Tapi sayangnya tidak semudah itu. Lingkungan antar bintang penuh dengan debu yang menyerap dan menyebarkan cahaya, sehingga obyek akan tampak kurang terang dan lebih merah – atau jadi lebih dingin – dari yang sebenarnya.

Dari setiap miliar foton yang dipancarkan sebuah bintang di pusat Bima Sakti dan yang dilihat mata manusia pada cahaya tampak, hanya satu yang bisa mencapai mata. Dan ini merupakan contoh ekstrim bagaimana debu mempengaruhi cahaya bintang. Fenomena ini terjadi di setiap kondisi meskipun dengan intensitas yang kurang.

Dalam pengamatan, pengaruh debu harus diperhitungkan sebelum menentukan karakteristik obyek. Jesús Maíz Apellániz, dari Institute of Astrophysics of Andalusia (IAA-CSIC) bersama tim internasional menunjukkan bahwa aturan yang digunakan untuk menghitung kepunahan aka hilangnya cahaya akibat pengaruh debu memiliki keterbatasan. Dan keterbatasan ini memberi pengaruh yang juga cukup serius karena akibatnya menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memperkirakan temperatur bintang. Karena itu, para astronom ini mencoba menelaah kembali aturna yang ada.

Hukum Baru Untuk Problema Lama
Metode ideal untuk memecahkan masalah ini adalah dengan memiliki sekelompok obyek yang karakternya (luminositas, tempertatur dll) sudah diketahui dari sumber tepercaya semisal dari pengukuran spektoskopi, dan kemudian dibandingkan dengan pengukuran fotometri yang sudah dikoreksi dengan aturan untuk menghitung hilangnya cahaya bintang. Perbedaan yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengetahui tingkat kesalahan dan memperbaharui aturan aka hukum tersebut.

Untuk bisa mengimplementaskan ide tersebut dibutuhkan data yang punya presisi tinggi dari sekelompok obyek. Dan untuk itu para peneliti menggunakan data survei VLT-FLAMES milik ESO yang melakukan pengamatan pada 30 Doradus atau Nebula Tarantula di dalam Awan Magelln Besar. Dan ini juga bukan pekerjaan mudah. Jesús Maíz Apellániz dan koleganya memulai pekerjaan tersebut 6 tahun lalu dengan data 1000 bintang yang kemudian dikerucutkan menjadi 83 obyek ideal.

Setelah memperoleh data bintang ideal, mereka pun melakukan berbagai percobaan untuk membuktikan deviasi kesalahan yang cukup besar pada ketentuan yang dibuat pada tahun 1989 dan mengembangkan metode baru yang bisa mengeliminasi kesalahan sampai 2/3 dari aturan lama.

Hasilnya, aturan baru yag dibuat oleh Jesús Maíz Apellániz dan rekan-rekannya memiliki presisi yang cukup tinggi dan hampir sama dengan hasil pengamatan spektroskopi. Perlu diingat pengamatan spektroskopi merupakan metode yang paling diandalkan dalam melakukan pengamatan. Dan hasilnya, aturan yang baru bisa memberikan pengukuran temperatur yang bisa diterima atau cukup presisi dengan menggunakan metode fotometri. Teknik ini juga memiliki keunggulan untuk mempelajari lebih dari satu obyek dalam satu waktu.

Hukum kepunahan terbatas yang ada sebelumnya memang tidak memungkinkan untuk memanfaatkan data kualitas tinggi yang diperoleh oleh Teleskop Hubble ataupun data survei fotometri yang akan diambil GAIA saat mengamati miliaran bintang di Bima Sakti. Tapi koreksi yang dilakukan justru akan memegang peran penting untuk pemanfaatan data tersebut.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Manager 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini