Robot penjelajah Yutu bakal menghabiskan detik-detik tahun baru 2014 dalam senyap setelah mulai berhibernasi sejak 26 Desember 2013.
Hibernasi terjadi seiring malam yang merembang di Bulan dan berlangsung sampai 14,5 hari berikutnya, sehingga Yutu tidak mendapat pasokan energi Matahari yang cukup untuk menghidupi instrumen-instrumennya dan hanya bisa tertidur dengan energi minimum dari batereinya.Namun heboh yang dipicu pendaratannya Bulan pada Sabtu 14 Desember 2013 pukul 20:11:18 WIB silam masih tetap meraja di Bumi hingga jelang detik-detik akhir 2013. Beragam reaksi muncul seiring kesukesan Cina menempatkan Yutu di Bulan, hingga menjadikannya negara ketiga yang mampu melakukannya setelah AS dan (eks) Uni Soviet. Ada yang memujinya sebagai pendaratan wahana antariksa termulus Bulan sepanjang sejarah. Decak kagum pun terlontar akan keberhasilan Cina meski negara itu baru pertama kalinya mengirim robot penjelajah ke Bulan. Namun tak jarang pula yang mencacinya sebagai bagian upaya pencitraan negeri tirai bambu itu dalam orkestrasi yang mirip dengan kisah konspirasi pendaratan manusia di Bulan.
Terlepas apapun reaksi dunia, sukses Cina menempatkan Yutu kian mengukuhkan ambisi sang naga dalam menguasai angkasa khususnya sepanjang satu dasawarsa terakhir. Catatan sukses Cina berderet semenjak Shenzou 5 mengangkasa pada 2003 silam dengan mengangkut taikonot (istilah Cina untuk antariksawan/antariksawati) pertama, sebagai rintisan dari penerbangan 9 taikonot berikutnya. Lalu Bulan pun mulai dieksplorasi lewat program Chang’e yang mewujud lewat peluncuran Chang’e 1 (2007) dan Chang’e 2 (2010). Stasiun antariksa juga menjadi bahan garapan seiring beroperasinya Tiangong-1 sejak 2011, sebagai prototipe stasiun modular yang dikembangkan Cina di bawah program Tiangong. Sukses itu bakal kian lengkap andaikata satelit Yinghuo-1 berhasil mengorbit Mars pada 2012. Sayangnya Yinghuo-1 terpaksa turut terkatung-katung selama 3 bulan lamanya di orbit Bumi bersama Phobos-Grunt yang menjadi penggendongnya, sebelum akhirnya jatuh tercebur dalam bara api di Samudera Pasifik pada 15 Januari 2012. Perkembangan pesat ini sungguh tak terbayangkan bagi negara yang pada 40 tahun silam nyaris terperosok ke dalam negara gagal akibat salah urus dan kelaparan besar-besaran, yang membuatnya sempat menyandang julukan ‘planet mati.’
Spesifikasi
Cina melalui badan antariksa nasionalnya memang tidak memublikasikan detail teknis wahana pendarat (lander) Chang’e 3 maupun robot penjelajah Bulan (lunar rover) bernama Yutu secara lengkap. Hanya disebutkan bahwa wahana Chang’e 3 memiliki bobot 3.800 kg saat diluncurkan dari Bumi dan 1.200 kg saat mendarat di Bulan. Selain sebagai kendaraan pengangkut robot penjelajah Yutu, wahana Chang’e 3 juga berfungsi sebagai observatorium pengamat langit lewat teleskop Ritchey-Chretien 150 mm guna pengamatan galaksi, inti galaksi aktif, bintang variabel, bintang ganda, nova, kuasar dan blazar pada spektrum ultraviolet dalam rentang panjang gelombang 2.450 hingga 3.400 Angstrom. Teleskop ini berkemampuan mengamati benda langit yang cukup redup hingga batas hingga magnitudo semu +13. Selain itu wahana Chang’e 32 juga dilengkapi dengan kamera ultraviolet khusus yang bekerja pada panjang gelombang 3.040 Angstrom guna mengobservasi atmosfer plasma Bumi.
Sedangkan Yutu merupakan robot penjelajah beroda 6 dengan bogie mirip robot Curiosity (Mars Science Laboratory) yang dioperasikan NASA di Mars semenjak 2012. Kemiripan lainnya juga bisa dijumpai pada struktur tiang kamera (mast) dengan kamera panoramik di pucuknya. Tetapi Yutu jauh lebih kecil dan lebih sederhana dibanding Curiosity, mengingat beratnya hanya 140 kg dan panjang 1,5 meter. Yutu mengangkut 20 kg instrumen ilmiah dalam rupa 2 kamera panoramik, 2 kamera navigasi dan 2 kamera penghindar bahaya serta spektrometer APXS, inframerah dan radar GPR. Kamera panoramik memungkinkan Yutu untuk mengambil foto stereoskopik (3-dimensi) dengan sudut pandang layaknya mata manusia. Sementara kamera penghindar bahaya dan kamera navigasi membuat Yutu bisa mendeteksi ukuran dan jarak suatu benda pengganggu (misalnya bongkahan batu) lewat teknik triangulasi.
Spektrometer APXS (Alpha Proton X-ray Spectrometer) merupakan instrumen spektrometer yang berguna untuk ‘mengendus’ kelimpahan unsur dan senyawa pada sampel batuan dan tanah Bulan yang dikenai bombardemen sinar radiokatif partikel alfa dengan jalan menganalisis spektrum energi partikel alfa terhambur, proton dan juga sinar-X lemah. Spektrometer inframerah juga menyandang tugas serupa, namun terfokus pada spektrum energi inframerah yang dipancarkan sampel batuan dan tanah Bulan setelah tersinari Matahari. Dan radar GPR (Ground Penetrating Radar) berfungsi untuk menganalisis lapisan-lapisan tanah Bulan hingga kedalaman 30 m dan struktur kerak Bulan hingga kedalaman ratusan meter.
Guna menghidupi instrumen-instrumen ini Yutu menggunakan energi Matahari yang diubah menjadi energi listrik lewat sepasang sayap panel suryanya. Ketergantungan terhadap Matahari membuat Yutu praktis hanya bisa beroperasi penuh di siang hari Bulan. Sementara di malam hari Bulan ia berhibernasi. Agar tidak mati beku, Yutu dilengkapi dengan sejumlah tablet pemanas radioaktif yang dilekatkan khususnya pada sistem komputernya. Sebaliknya untuk menjaganya tidak terpanggang kepanasan di kala siang, Yutu dilengkapi dengan sistem pendingin cair dua fase layanknya yang diterapkan pada pakaian antariksa. Dengan segala perlengkapan tersebut, Yutu dirancang untuk bekerja selama 3 bulan dengan mengeksplorasi area seluas 3 kilometer persegi dan mampu berjalan hingga 10 km jauhnya dari titik pendaratan.
Resolusi Tinggi
Seperti halnya detail teknisnya, Cina pun tak mempublikasikan bakal lokasi pendaratan Chang’e 3 dan Yutu secara lengkap. Hanya disebutkan keduanya akan didaratkan di Teluk Pelangi atau Sinus Iridum, yakni bagian Mare Imbrium (laut hujan) yang menjorok membentuk separuh lingkaran layaknya teluk. Kawasan Sinus Iridum dibatasi oleh dua pegunungan yang menjorok ke Mare Imbrium seperti semenanjung (promontorium), masing-masing Promontorium Laplace di sisi timur dan Promontorium Heraclides di sisi barat. Sebagian sempat berspekulasi Cina bakal mendaratkan Chang’e 3 dan Yutu di dekat kawah Laplace A, struktur produk tumbukan komet/asteroid purba dengan fitur geologis yang menakjubkan dalamnya. Sebelum Chang’e 3 diluncurkan, Cina diketahui telah memetakan sebagian besar kawasan Sinus Iridum hingga Mare Imbrium pada resolusi tinggi (hingga 1,5 meter/pixel) melalui Chang’e 2.
Namun hingga sehari jelang pendaratan, bakal lokasi pendaratan tetap tidak dipublikasikan. Di sisi lain NASA melalui Phil Stooke di Goddard Spaceflight Center mencoba untuk mengestimasi zona pendaratannya dengan menggunakan pengetahuan aktivitas Chang’e 2 di masa silam dan profil orbit Chang’e 3 saat mulai mengedari Bulan. Didapatkan bahwa zona pendaratan itu berbentuk persegi sepanjang sekitar 350 km dengan lebar 50 km yang mencakup sebagian besar area Sinus Iridum dan bagian kecil Mare Imbrium. Pusat zona pendaratan berdekatan dengan kawah Laplace A yang spektakuler, namun Chang’e 3 sejatinya dapat mendarat di titik manapun sepanjang berada dalam zona pendaratan.
Untungnya Cina tidak pelit berbagi informasi pada saat detik-detik pendaratan. Siaran langsung pun dipancarkan oleh stasiun televisi negara CCTV (China Central Television). Estimasi zona pendaratan pun ditampilkan, yang ternyata mirip dengan apa yang telah dipublikasikan Phil Stooke. Detik-detik pendaratan yang diabadikan melalui kamera pembantu pendaratan di pantat Chang’e 3 memungkinkan kita menyusuri bagaimana detik-detik terakhir wahana antariksa pendarat ini melayang di atas permukaan Bulan sebelum mendarat dengan selamat. Rekonstruksi dari citra demi citra pembantu pendaratan tersebut yang dikombinasikan dengan peta global Bulan terkini beresolusi tinggi produk misi LRO (Lunar Reconaissance Orbiter) yang dioperasikan NASA semenjak 2009 membuat kita mampu melacak dimana tepatnya Chang’e 3 dan Yutu mendarat dengan tingkat presisi yang cukup tinggi.
Sebelum 2009 memang telah tersedia peta Bulan, misalnya produk pemotretan sejumlah misi Apollo lewat Modul Komando-nya selagi Modul Bulan mendarat dan melaksanakan tugas di permukaan Bulan. Atau lewat misi antariksa pemetaan Bulan pasca Apollo menggunakan satelit Clementine (1994), Lunar Prospector (1998-1999), Selene/Kaguya (2007-2009) dan SMART-1 (2003-2006). Namun semuanya memiliki resolusi terbatas. Kehadiran satelit LRO mengubah segalanya. Pemilihan orbit rendah Bulan dan penggunaan instrumen pencitra (kamera) beresolusi sangat tinggi membuat LRO mampu memproduksi peta Bulan dengan resolusi sangat tinggi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya hingga bongkahan-bongkahan batuan di permukaan Bulan pun mampu diamati dengan baik. Begitu tajamnya kamera satelit LRO sehingga sisa-sisa wahana pendarat yang bertebaran di sekujur wajah Bulan mampu diabadikannya dengan baik. Baik itu milik AS seperti wahana-wahana pendarat dalam program Ranger, Surveyor dan Apollo maupun milik eks-Uni Soviet lewat program Luna. Kamera LRO bahkan mampu pula melacak jejak bendera di beberapa titik pendaratan Apollo, lewat tapak bayangannya, maupun alur-alur roda hasil manuver robot penjelajah Lunokhod-1 dan Lunokhod-2. Kemampuan ini sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahkan andaikata kita mengamati Bulan dengan menggunakan teleskop sekelas teleskop Hubble sekalipun.
Mare Imbrium
Jadi dimana Chang’e 3 mendarat?
Peta yang dipublikasikan dalam siaran langsung CCTV menunjukkan Chang’e 3 mendarat di sisi timur zona pendaratannya, sejauh sekitar 160 km di sebelah timur-timur laut kawah Laplace A. Badan antariksa nasional Cina menyodorkan koordinat 44,12 LU 19,51 BB sebagai lokasi pendaratan Chang’e 3.
Pelacakan dengan menggunakan peta QuickMap, yakni peta Bulan global produk pemetaan satelit LRO yang dikhususkan bagi publik, menunjukkan Chang’e 3 memang mendarat di sekitar koordinat tersebut. Perbandingan dengan citra-citra kamera pembantu pendaratan berhasil mengidentifikasi sejumlah fitur di permukaan Bulan yang terekam kamera saat Chang’e 3 sedang melayang dengan lintasan dari selatan ke utara menuju titik pendaratannya. Citra panoramik permukaan Bulan di sekeliling titik pendaratan Chang’e 3 yang dikirimkan secara bertahap begitu wahana tersebut mendarat pun cocok dengan fitur permukaan Bulan di lokasi yang diduga menjadi koordinat titik pendaratannya. Maka jelaslah bahwa Chang’e 3 mendarat di koordinat 44,1146 LU 19,5149 BB yang secara geografis terletak di sebelah timur kawah tanpa nama berdiameter sekitar 450 meter yang penuh dengan bongkahan-bongkahan batu beraneka ragam ukuran sebagai produk tumbukan komet/asteroid purba. Secara geografis titik pendaratan ini masih berada di dalam kawasan Mare Imbrium.
Lokasi Chang’e 3 dan robot Yutu akhirnya dipastikan sepenuhnya setelah satelit LRO melintas di atas lokasi pendaratan pada 25 Desember 2013 pukul 10:53 WIB pada ketinggian 150 km dari permukaan Bulan, yang memungkinkan kamera LRO memotret koordinat Chang’e 3 dengan resolusi hingga 150 meter/pixel 150 cm/pixel. Perbandingan dengan citra lokasi yang sama yang diambil satelit LRO pada 30 Juni 2013 menunjukkan kehadiran dua tonjolan baru, yang tak ada pada citra 30 Juni 2013. Tonjolan itu jelas bukan benda alamiah layaknya bongkahan batu Bulan, karena topografi lokasi tersebut nyaris datar (sehingga tak memungkinkan ada longsoran yang menggerakkan batu Bulan) dan tiada gunung berapi di Bulan pada masa kini (sehingga tak mungkin ada letusan yang mampu melontarkan bongkahan batu). Dua tonjolan itu juga bukanlah batu yang hadir dari luar Bulan sebagai meteorit, karena jatuhnya meteorit ke Bulan selalu diiringi dengan pembentukan kawah dan cipratan material produk hantaman ke sekeliling kawah. Hanya ada satu alasan terkait kehadiran dua tonjolan baru itu. Itulah Chang’e 3 dan Yutu.
Tulis Komentar