Kebudayaan Korea tidak hanya menarik perhatian dengan K-Pop-nya, akan tetapi ternyata dalam sejarah panjang ilmu astronominya, paling tidak itu yang terungkap dari diskusi di Pusat Kebudayaan Korea, Jakarta, 22 Juli 2013 yang lalu.
Acara yang dilaksanakan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan korea tersebut diberi nama Astro Party 2013, dan pada kesempatan itu mengambil tema “Asian Astronomical Heritage”.
Mengapa tema tersebut yang diambil, menurut panitia, astronomi adalah ilmu pengetahuan tertua yang telah dikenal, diwujudkan dan dikembangkan umat manusia. Penelitian astronomi sebagai ilmu pengetahuan (science) menyangkut aktivitas yang memungkinkan seorang berpikir logis melalui jendela berdimensi universal. Hal ini menyebabkan keberadaan langit pun terintegrasi dengan lingkungan tempatnya berada dan berlaku untuk umat manusia di seluruh dunia dari sejak eksistensi manusia itu sendiri. Termasuk interpretasi terhadap langit tempatnya bernaung. Oleh karenanya, pemilihan tema dalam konteks warisan Astronomi dunia adalah sangat logis. Langkah ini diperlukan untuk pengakuan, pengamanan kekayaan budaya, dan pewarisan budaya berpola pikir Astronomis yang menjabarkan hubungan antara manusia dan langit ke generasi mendatang.
Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2013, bertempat di Pusat Kebudayaan Korea, dan dihadiri, tidak hanya siswa-siswi KIR yang menjadi binaan HAAJ, tetapi juga berbagai pihak yang mempunyai ketertarikan, tidak hanya pada kebudayaan korea, tetapi ilmu astronomi secara umum.
Apa saja yang digelar pada acara tersebut? Acara utamanya adalah dua disksui mengenai tema-tema yang berkait dengan astronomi di Asia, pemutaran film tentang monumen observatorium astronomi tertua di Asia, yang terletak di Korea, yaitu Cheomsheongdae, serta tak kalah seru adalah menampilkan pameran dari kegiatan KIR beberapa SMA seputar Jakarta-Bekasi-Bogor, yang berkait dengan astronomi.
Pada kesempatan pertama, Mas Widya Sawitar, dari Planetarium Jakarta & HAAJ, yang juga merupakan pemerhati etno-astronomi di Indonesia, menyampaikan tentang proyek Stars of Asia. Proyek Stars of Asia adalah upaya dari para ahli astronomi di Asia untuk mengumpulkan, mempelajari, mendata dan mencoba menampilkan kembali pengetahuan, dongeng, cerita, serta mitologi astronomi yang murni milik nenek moyang bangsa Asia, alih-alih hanya mengetahui dongeng astronomi modern seperti yang kita telah ketahui selama ini. Semenjak digulirkan pada tahun 2009 yang lalu, tentunya pekerjaan ini masih melalui proses yang panjang dan berliku, sebelum akhirnya bisa diterbitkan sebagai buku populer yang bisa dibaca dan dinikmati sebagai warisan astronomi dari sudut pandang lokal, bagi masyarakat di Asia.
Kemudian pada kesempatan kedua, penulis berkesempatan mejadi narasumber mengenai warisan astronomi Asia. Warisan astronomi asia tentunya merupakan sebuah lingkup dari ‘Warisan Astronomi Dunia’, sebuah inisiatif yang digagas UNESCO semenjak 2005, dan pada tahun 2009, saat Tahun Astronomi Dunia mendapatkan momentumnya. Saat ini, Warisan Astronomi Dunia adalah sebuah upaya untuk mengidentifikasi, menjaga dan memromosikan properti budaya yang terkait dengan astronomi, kerjasama UNESCO dan IAU.
Salah satu warisan budaya dunia tersebut adalah monumen observatorium Cheomsheongdae di Korea. Akan tetapi ternyata, warisan astronomi Korea tidaklah hanya satu bangunan itu, ada banyak sekali warisan astronomi Korea yang telah dicatat dicatat dan dipelajari. Beberapa warisan lain astronomi dari Korea yang telah dipelajari penulis disampaikan pada kesempatan tersebut, termasuk sejarah singkat perjalanan astronomi kuno di Korea.
Catatan sejarah Korea telah ditemukan semenjak abad ke-7, Kerajaan Sila menyatukan Korea dan membangun kerjasama yang kuat dengan kerajaan China. Pada masa tersebut, pengaruh Buddha sangat kuat tumbuh, demikian juga seni dan ilmu pengetahuan bertumbuhkembang, membangun peradaban Korea sampai beratus tahun kemudian. Peran ajaran Buddha sangat mempengaruhi pertumbuhan aspek astronomi dalam kehidupan masyarakatnya, seperti apresiasi pada Big Dipper, yang dirayakan sebagai upacara Chilseong-je, sebagai persembahan kepada dewa 7 bintang.
Aktivitas astronomi di Korea juga banyak mencatat fenomena-fenomena transien seperti supernovae, gerhana, komet, dan hujan meteor. Bahkan, ahli astronomi Korea telah melakukan pencatatan aktivitas Matahari berupa bintk Matahari mempergunakan pengamatan tanpa teleskop, pada sekitar abad ke-12. Walaupun model pengukurannya tidaklah seakurat astronomi saat ini, tetapi kegiatan astronomi tersebut telah melampaui jamannya!
Demikian juga, apabila astronomi di dunia mengenal Gallileo Galilei sebagai tokoh astronomi, demikian juga di Korea, ada seorang tokoh yang berperan penting pada pengembangan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan Raja Sejong (sekitar abad ke-15). Tokoh tersebut adalah Jang Yeong Sil, yang memelopori pengembangan jam astronomi, Sun-dial, clepsydra, serta peralatan-peralatan teknologi canggih bagi kemajuan Korea pada masanya.
Banyak sekali warisan astronomi Korea, sehingga waktu dua jam itu tidaklah cukup untuk mengurai satu persatu setiap warisan yang ada, dan pada kesempatan itu disampaikan beberapa warisan penting astronomi Korea, seperti menara Cheomsheongdae, yang telah diutarakan sebelumnya, juga warisan-warisan lain bukan bangunan, seperti:
- Peta Bintang Cheonsang Yeolcha Bunyajido yang ditatah pada batu, dibuat pada akhir abad ke 14 pada masa pemerintahan Raja Taejo. Saat ini, peta bintang tersebut disimpan pada Musium Istana Nasional Korea. Sebagai sebuah peta bintang, Cheonsang Yeolcha Bunyajido dapat dikatakan cukup canggih, bahkan dibandingkan dengan peta bintang masa kini, berukuran 122.5 x 211 x 12 cm. Tatahan tersebut memperlihatkan bintang-bintang dan konstelasi, lengkap dengan namanya, garis-garis ekuator dan ekliptikan, serta 365 skala putar, arah Utara yang telah ditentukan, serta bintang Polaris (Tianshu-xing/ .) ditengah peta.
- Jam air, Striking Palace Clepsydra/Jagyekgungnoo adalah hasil pengembangan Jang Yeong Sil, adalah sebuah sistem penunjuk waktu yang digerakkan oleh air. Akan tetapi, berbeda dengan penunjuk waktu yang kita pahami saat ini, yaitu mempergunakan jarum jam, atau angka digital, jam pada masa tersebut mempergunakan boneka-boneka mekanik yang akan membunyikan bel dan gong pada saat-saat tertentu. Saat-saat itu disesuaikan dengan pergerakan benda-benda langit secara akurat sepanjang saat untuk setiap tahun. Sehingga penentuan waktu pada masa itu, sangat bergantung pada pemahaman astronomi. Sebagai sebuah mesin yang memegang kunci dalam sejarah pembuatan jam, dibuat pada masa pemerintahan wangsa Joseon, berhak disebut sebagai mesin penjaga waktu pertama dalam sejarah Korea.
Masih lebih banyak lagi warisan astronomi Korea yang belum sempat diungkap dalam waktu singkat ini, seperti jam armillary , pendulum, clepsydra , atau penjaga waktu lainnya dan hal ini memberikan kesempatan kepada bagi peminat sejarah Korea dalam kaitannya dengan ilmu astronomi, serta warisan budaya. Demikian juga acara-acara seperti yang dilakukan teman-teman HAAJ memberi kesempatan kepada mereka yang punya ketertarikan, baik pada ilmu astronomi, budaya dan sejarah bisa menggali lebih banyak lagi warisan, tidak hanya yang unik di setiap negara di asia, tetapi juga warisan astronomi bangsa Asia yang bukan tak mungkin saling bertukar pengetahuan, informasi dan nilai-nilainya.
Tulis Komentar