Di tempat itu dulu berdiri sebuah bukit selebar 50 m. Setelah 4 Juli 2005 pukul 12:52 WIB, bukit menghilang dan digantikan lubang sumur raksasa yang semula diperkirakan memiliki garis tengah 100 m dengan kedalaman 30 m.
Tetapi pantauan terbaru memperlihatkan sumur itu sedikit lebih lebar (150 m) namun lebih dangkal dari perkiraan semula akibat longsornya segenap sisinya longsor. Mohon diperhatikan, jangan buru–buru mengira semua itu terjadi di permukaan Bumi seperti misalnya di lokasi pertambangan Grassberg dalam kawasan Pegunungan Jayawijaya (Papua) dimana bukit–bukit dikeruk tanpa henti untuk diekstrak bahan tambangnya sampai menyisakan lubang besar. Sumur raksasa itu dibuat di tempat yang pada 14 Februari 2011 lalu terletak sejauh 336 juta km dari Bumi kita, yakni pada sebuah dunia kecil nan dingin membekukan: inti komet Tempel–1.
Lubang sumur raksasa itu, atau lebih tepatnya kawah tumbukan, digali misi antariksa Deep Impact dengan memanfaatkan penumbuk yang terbuat dari tembaga dengan massa 330 kg yang dilontarkan secepat 10,73 km/detik relatif terhadap inti komet Tempel–1. Namun eksistensi sumur raksasa itu baru terungkap jelas setelah misi antariksa Stardust–NExT (New Exploration of Tempel–1) melintas hanya sejauh 178 km darinya pada 15 Februari 2011 pukul 11:39 WIB lalu. Inilah rekor baru jarak lintas terpendek ke komet, menumbangkan rekor lama yang telah bertahan lebih dari tujuh tahun saat misi antariksa yang sama namun saat itu masih bertajuk Stardust melintas sejauh 236 km dari inti komet Wild–2. Misi Stardust–NExT pun mencatat rekor baru, yang menjadikan komet Tempel–1 sebagai satu–satunya komet yang telah disinggahi 2 misi antariksa berbeda sepanjang sejarah.
Komet Tempel–1 pertama kali diidentifikasi Wilhelm Tempel dari Marseile (Perancis) pada 3 April 1867 sebagai komet redup dengan periode (saat itu) 5,68 tahun. Sempat teramati kembali pada tahun 1873 dan 1879, komet ini segera membingungkan dunia astronomi ketika mendadak lenyap saat seharusnya muncul kembali di tahun 1898 sebagaimana diprediksikan. Citra fotografis dari observasi tahun 1905 pun tidak berhasil mengidentifikasinya sehingga sebagian astronom berspekulasi komet Tempel–1 telah lenyap dari tata surya sebagaimana halnya komet Biela. Spekulasi bertahan hingga lebih dari setengah abad kemudian, tatkala Brian G. Marsden memaparkan perhitungannya yang memperlihatkan dinamika orbit komet Tempel–1 sangat dipengaruhi gravitasi planet raksasa Jupiter.
Pada tahun 1881 komet ini melintas hanya sejauh 82,5 juta km dari Jupiter, sehingga gravitasi planet raksasa ini memaksa perihelion komet Tempel–1 bergeser 50 juta km lebih jauh dari semula dan periodenya memanjang menjadi 6,5 tahun. Kombinasi penambahan perihelion dan periode komet menjadi faktor yang membuat komet Tempel–1 seolah–olah lenyap. Situasi sebaliknya terjadi pada tahun 1941 dan 1953 dimana komet melintas masing–masing hanya sejauh 61,5 juta km dan 115,5 juta km dari Jupiter, sehingga periodenya kembali diperpendek. Pasca 1953 komet Tempel–1 memiliki perihelion 1,509 SA, aphelion 4,739 SA, inklinasi orbit 10,5251° dan periode 5,52 tahun. Marsden meramalkan komet ini akan mencapai perihelionnya pada Mei 1972 dengan magnitude +11. Observasi dari berbagai penjuru secara mengejutkan berhasil mengonfirmasinya sekaligus menandai kembalinya komet Tempel–1 dalam agenda observasi astronom sedunia.
Badan ruang angkasa AS (NASA) memilih komet Tempel–1 untuk misi Deep Impact dengan tujuan mengetahui lebih detil komposisi inti komet apakah sesuai dengan model gumpalan bola es kotor yang penuh debu silikat atau tidak. Deep Impact sekaligus menguji pengaruh tumbukan obyek berkecepatan tinggi terhadap dinamika orbit komet, yang akan sangat bermanfaat dalam sistem Spaceguard yang dirancang guna mengantisipasi potensi ancaman benda–benda langit minor (komet dan asteroid) terhadap Bumi. Deep Impact mendapati inti komet Tempel–1 adalah bongkahan besar yang berbentuk ellipsoid–piramidal dengan dimensi 7,6 x 4,9 km2 dan berotasi pada sumbunya pada periode 40 jam. Sebagian besar permukaan inti komet nampak halus dengan jejak–jejak aliran material di beberapa lokasi, dihiasi 60 bundaran kawah yang terdistribusi non–uniform untuk unit–unit stratigrafi yang berbeda. Terdapat bentanglahan yang nampak bergaris–garis dan tinggian dibatasi gawir (scarp). Terdapat pula tanda–tanda pelapisan di berbagai tempat, namun berbeda dengan pola pelapisan mengulit bawang (onion–skin) pada bongkahan batuan beku di Bumi.
Hantaman penumbuk yang terjadi pada koordinat ~30° LS ~10° BT dengan sudut 36° terhadap bidang horizontal melepaskan energi kinetik 19 GJ, setara ledakan 4,5 ton dinamit. Mayoritas energi tumbukan (~95 %) disalurkan untuk menggali kawah dan menghamburkan ~10.000 ton (~ 25.000 m3) debu sehalus bedak talkum pada kecepatan awal ~5 km/detik dan ~4.000 ton (~4 juta liter) air pada kecepatan awal beberapa ratus meter/detik ke angkasa, yang membuat kecerlangan komet meningkat hingga beberapa magnitudo. Melimpah ruahnya air membuat kawah ini ibarat sumur air dangkal. Sementara ~5 % energi tumbukan digunakan untuk mengubah orbit komet sehingga menjauh 100 m dari semula.
Fenomena ini menyingkap rahasia inti komet Tempel–1 sebagai bongkahan batuan dengan massa 20 milyar ton yang tersusun dari butir–butir sangat halus yang saling berikatan sangat lemah. Bongkahan ini memiliki densitas lebih ringan dari air (yakni 0,4 gram/cm3), percepatan gravitasi 0,05 % g dan kecepatan lepas 1,3 meter/detik. Air dan karbondioksida terkandung dalam kerak komet masing–masing hingga kedalaman 10 cm dan 100 cm. Tumbukan juga berhasil melepaskan senyawa karbonat, piroksen, olivin, smektit (lempung), besi–magnesium sulfida, karbon amorf dan hidrokarbon aromatik polisiklik (benzena dan turunannya).
Namun Deep Impact gagal mengobservasi kawah produk tumbukan akibat pekatnya konsentrasi debu–debu mikron yang menyelubungi sebagian permukaan inti komet Tempel–1, meski observasi dari Bumi memperlihatkan 90 % debu jatuh lagi ke permukaan inti komet dalam sejam pertama. Padahal eksistensi kawah ini penting artinya guna mengetahui karakteristik pembentukannya, apakah dikontrol gravitasi, kompresi atau kekuatan materi penyusun inti komet. Tugas ini kemudian dibebankan pada wahana antariksa Stardust, veteran yang sudah mengangkasa sejak 1999 dan telah sukses menjalankan tugasnya melakukan mengamati inti komet Wild–2 pada 2 Januari 2004 sembari menangkap debu–debunya dan mengirimkannya ke Bumi lewat kapsul khusus yang didaratkan di gurun pasir Utah (AS) dalam dua tahun berselang. Oleh karena itu sejak 3 Juli 2007 NASA meluncurkan misi Stardust–NExT dan mengarahkan ulang wahana antariksa veteran itu agar menempuh orbit baru yang akan bersinggungan dengan komet Tempel–1. Rute baru ini membuat odometer wahana antariksa Stardust akan mencatat total jarak tempuh 5,7 milyar km (lebih jauh dari jarak Bumi–Neptunus) saat menjumpai komet Tempel–1.
Selain mencitrakan kawah produk tumbukan Deep Impact, Stardust–NExT juga bertugas memonitor kemungkinan perubahan pasca komet Tempel–1 melintasi perihelion, mengingat sebuah komet selalu lebih aktif kala mendekati Matahari. Dan Stardust–NExT dinyatakan sangat sukses dalam menjalankan misi barunya. Citra–citra yang dikirimkannya mengonfirmasi adanya kawah bergaris tengah 150 m sebagai produk hantaman penumbuk Deep Impact di permukaan inti komet Tempel–1 pada lokasi yang semula adalah bukit kecil. Kawah itu dan area disekitarnya diselubungi debu–debu halus produk tumbukan yang kemudian mengendap kembali. Stardust–NExT memastikan pembentukan kawah itu berada di bawah pengaruh gravitasi mikro yang dimiliki inti komet Tempel – 1. Ia juga mengonfirmasi adanya perubahan topografi inti komet pasca perjalanan sekali mengelilingi Matahari, yang berbentuk erosi dengan skala 20–30 meter di gawir pembatas tinggian. Analisis pendahuluan menguatkan kesimpulan bahwa inti komet Tempel–1 memang sangat rapuh dan sangat berpori, sehingga menempuh perjalanan evolusi yang sangat berbeda dibanding planet–planet maupun satelitnya sejak masa awal tata surya.
Tulis Komentar