Very Large Telescope (VLT) milik ESO di Chili dan W.M. Keck Observatory di Hawaii untuk pertama kalinya mendapatkan citra awan yang melingkupi hampir seluruh permukaan Titan, salah satu satelit Saturnus. Bersama itu pula didapati gerimis pagi di kaki bukit sebelah utara Xanadu, dataran luas di Titan. Tapi, jangan salah, gerimisnya adalah gerimis metana. Pada sebagian besar citra yang ditangkap oleh Keck dan VLT, awan metana cair dan gerimis tampak di bagian pagi Titan, yakni bagian Titan yang baru saja berotasi ke arah datangnya sinar Matahari. Timbulnya hujan barangkali dari proses turunnya hujan di Bumi. Gerimis pagi hanya tampak di Xanadu dan tidak selalu pada lokasi yang sama. Gerimis ini bisa jatuh hingga ke daratan atau berubah menjadi kabut. Gerimis atau kabut tadi akan lenyap setelah lewat pagi setelah 3 hari.
Bukti adanya awan yang menyerupai awan sirus dan gerimis metana pertama kali terlihat ketika tim yang meneliti Titan menganalisa data yang diambil tanggal 28 Februari 2005 dari SINFONI, sebuah spektrograf baru di VLT. Bukti ini diperkuat oleh citra-citra dan spektra yang diambil oleh OSIRIS, spektograf di teleskop Keck II, pada tanggal 17 April 2006.
Titan merupakan satu-satunya satelit di Tata Surya yang memiliki atmosfer tebal. Atmosfernya sebagian besar berupa nitrogen dan mirip dengan atmosfer Bumi di masa lampau. Observasi-observasi sebelumnya menunjukkan seluruh permukaan satelit ini dilingkupi oleh kabut hidrokarbon hingga ketinggian 500 km. Terlihat kabut yang lebih tebal di kutub selatan satelit yang lebih besar dari Merkurius ini sedangkan tudung kabut berada di ketinggian antara 30 km hingga 50 km.
Karena temperatur permukaannya yang sangat dingin (-183 derajat celcius), metana dan etana di Titan berwujud cair atau padat. Di Bumi kedua gas ini bersifat mudah meledak. Beberapa feature di dekat kutub diduga merupakan danau hidrokarbon cair (analog dengan laut di Bumi) dan ada kemungkinan danau ini berisi presipitasi metana. Namun, hingga kini, belum pernah diamati adanya hujan di Titan secara langsung.
Awan di Titan pertama kali dilihat pada tahun 2001 oleh grup de Pater dan rekan-rekannya di Caltech dengan menggunakan teleskop Keck II. Awan metana beku ini melayang-layang pada ketinggian sekitar 30 km di dekat kutub selatan Titan. Sejak saat itu, awan etana juga diamati di kutub utara Titan oleh wahana Cassini sementara baik Cassini maupun Keck memotret awan metana yang tersebar di bagian selatan Titan. Wahana Huygen yang dilepaskan dari Cassini dan nyemplung ke dalam atmosfer Titan mengumpulkan kelembapan relatif Titan. Data ini mendukung bukti awan metana beku berada pada ketinggian antara 25 km hingga 30 km sedangkan awan metana cair – dengan kemungkinan menimbulkan gerimis – berada di ketinggian antara 15 km hingga 25 km.
Citra-citra yang baru sekarang menunjukkan lingkupan awan metana beku yang luas di ketinggian 25-30 km. Menurut Adamkovics, ketua tim, ini merupakan jenis awan yang baru – awan metana global. Hasil ini konsisten dengan hasil yang diperoleh Huygen. Citra-citra ini juga menunjukkan awan metana cair di ketinggian kurang dari 20 km. Uniknya, rintik gerimis metana berukuran sekitar 100 kali ukuran rintik gerimis yang terjadi di Bumi. Hanya saja, karena awan di Titan dan di Bumi kurang lebih mengandung cairan yang serupa, rintik gerimis di Titan lebih luas dan memiliki kerapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan di Bumi. Itulah sebabnya awan ini sulit dideteksi. Selain itu gerimis yang meliputi area yang luas dan terus menerus mungkin mekanisme utama yang mengembalikan metana dari atmosfer ke permukaan Titan dan mengakhiri siklus metana (analog dengan siklus air di Bumi).
Tulis Komentar