fbpx
langitselatan
Beranda » Mengungkap Wajah Polaris

Mengungkap Wajah Polaris

Para astronom berhasil mengungkap informasi baru untuk memahami Polaris si bintang utara yang juga bintang variabel Cepheid.

Tentang Polaris

Sistem bintang Polaris. Kredit: NASA/HST
Sistem bintang Polaris. Kredit: NASA/HST

Selama berabad-abad, bintang Polaris sudah menjadi alat bantu navigasi bagi para pelaut dan penjelajah karena posisinya yang relatif tetap di langit, berdekatan dengan poros kutub utara Bumi. Bintang paling terang di konstelasi Ursa Minor ini memiliki magnitudo visual sekitar 1,98 dengan jarak kurang lebih 433 tahun cahaya dari Bumi.

Polaris yang dijadikan penunjuk arah utara ini bukanlah bintang tunggal, melainkan bagian dari sistem bintang bertiga. Bintang utama, Polaris A (atau Aa), adalah bintang maharaksasa kuning. Dua bintang pendampingnya yang berukuran lebih kecil adalah Polaris B dan Polaris Ab. Polaris B merupakan bintang deret utama yang pertama kali ditemukan pada tahun 1780 oleh astronom William Herschel. Sementara Polaris Ab, yang terletak jauh lebih dekat dengan Polaris A, baru dipastikan keberadaannya pada awal 2000-an, dan mengorbit Polaris Aa dengan dengan periode 30 tahun.

Polaris Aa termasuk tipe bintang variabel Cepheid, yang berarti bintang ini berdenyut secara berkala karena ekspansi dan kontraksi di lapisan terluarnya. Denyutan ini menyebabkan kecerlangan Polaris tampak lebih terang dan kemudian redup secara periodik dalam siklus sekitar 4 hari. Dengan mengetahui periode denyutnya, astronom dapat menentukan luminositas intrinsiknya (magnitudo absolut) dan membandingkannya dengan magnitudo tampak untuk menghitung estimasi jarak ke bintang tersebut.

Inilah mengapa bintang variabel Cepheid tergolong spesial dalam astronomi. Bintang-bintang ini dapat digunakan sebagai “lilin standar” untuk menentukan jarak. Selain itu, variabilitas kecerlangan bintang ini juga dapat memberi petunjuk mengenai struktur internal dan fase evolusi bintang.

Akan tetapi, jarak pemisahan yang sangat kecil dan perbedaan kecerlangan yang sangat besar antara Polaris Aa dan Ab menyebabkan pengamatan sistem bintang ini menjadi sulit, terutama ketika keduanya berada pada jarak terdekat. Perlu resolusi teleskop yang sangat tinggi untuk dapat memetakan orbit dan melihat kedua bintang ini.

Pengamatan dengan CHARA

Untuk menjawab tantangan tersebut, tim astronom yang dipimpin oleh Nancy Evans dari Center for Astrophysics menggunakan rangkaian teleskop CHARA (Center for High Angular Resolution Astronomy) di Mount Wilson Observatory, pegunungan San Gabriel, California, untuk mengamati Polaris dari tahun 2016 sampai dengan 2021.

CHARA adalah interferometer optik / inframerah dekat yang terdiri atas enam teleskop berdiameter satu meter. Keenam teleskop ini ditempatkan pada tiga “lengan” dalam konfigurasi berbentuk huruf Y, di mana tiap “lengan” memiliki dua teleskop. Berkas cahaya dari tiap teleskop diteruskan melalui tabung-tabung vakum menuju fasilitas khusus di Beam Combining Lab dan Beam Synthesis Facility untuk kemudian digabungkan.

Enam teleskop CHARA pada tiga “lengan” (kiri atas dan bawah, kanan tengah). Kredit: CHARA, Georgia State University
Enam teleskop CHARA pada tiga “lengan” (kiri atas dan bawah, kanan tengah). Kredit: CHARA, Georgia State University
Kiri: tabung vakum dan kubah salah satu teleskop CHARA. Kanan: tampak dalam kubah teleskop. Kredit: CHARA, Georgia State University
Kiri: tabung vakum dan kubah salah satu teleskop CHARA. Kanan: tampak dalam kubah teleskop. Kredit: CHARA, Georgia State University

Berkas-berkas cahaya dari keenam teleskop digabungkan untuk menghasilkan pola-pola interferensi. CHARA menggunakan optical delay line untuk menyelaraskan berkas-berkas cahaya ini dengan akurasi di bawah satu mikron. Penyelarasan ini bertujuan untuk memaksimalkan interferensi dan memungkinkan CHARA berfungsi seperti teleskop koheren tunggal dengan diameter efektif 330 meter dan resolusi sudut yang sangat tinggi. Dengan menganalisa pola interferensi, para astronom dapat mengungkap berbagai informasi rinci mengenai objek yang diamati.

Tampak dalam ruang laboratorium. Optical delay lines tampak di kiri atas foto. Kredit: CHARA, Georgia State University
Tampak dalam ruang laboratorium. Optical delay lines tampak di kiri atas foto. Kredit: CHARA, Georgia State University

Penemuan Baru

Pengamatan ini telah berhasil mengungkap lebih jelas beberapa aspek mengenai Polaris. Salah satu fitur yang paling menonjol adalah keberadaan bintik-bintik terang dan gelap yang berubah seiring waktu di permukaan Polaris, mirip dengan bintik di Matahari kita.

Keberadaan bintik ini bisa saja menjelaskan berbagai karakteristik lain dari Polaris. Beberapa diantaranya adalah deteksi polarisasi yang terkait medan magnet bintik, emisi sinar-X, serta amplitudo denyutan yang sangat rendah dibandingkan bintang Cepheid yang lain. Ini mungkin saja berarti bahwa atmosfer Polaris mirip dengan bintang raksasa non-variabel yang memiliki indikator aktivitas permukaan yang serupa. Selain itu, identifikasi bintik ini juga dapat memberikan petunjuk kepada para astronom mengenai variabilitas periode rotasi Polaris. Beberapa pengamatan sebelumnya menghasilkan estimasi angka 40 – 120 hari.

Rekonstruksi citra warna semu Polaris dari data pengamatan, menggunakan dua algoritma yang berbeda untuk perbandingan. Kredit: CHARA, Georgia State University
Rekonstruksi citra warna semu Polaris dari data pengamatan, menggunakan dua algoritma yang berbeda untuk perbandingan. Kredit: CHARA, Georgia State University

Pengamatan ini juga menghasilkan estimasi untuk diameter Polaris (sekitar 46 kali diameter Matahari) serta massanya (sekitar lima kali massa Matahari). Angka massa ini lebih besar dari perhitungan sebelumnya, sekitar 3,5 kali. Hal ini signifikan karena tidak banyak bintang Cepheid yang telah diidentifikasi massanya. 

Penemuan ini juga memunculkan berbagai pertanyaan baru untuk dicari jawabannya. Hal ini tak lepas dari kombinasi perhitungan massa dengan jarak memperlihatkan luminositas Polaris yang lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya untuk bintang pada jalur evolusi dengan massa tersebut.

Ini merupakan kali pertama kita melihat seperti apa permukaan sebuah bintang Cepheid. Di masa depan, astronom akan terus menggali lebih dalam mengenai Polaris: karakteristik orbit, mekanisme yang berperan dalam menghasilkan bintik-bintik di permukaan, serta penentuan massa.

Avatar photo

Manoressy Tobias

Saat ini aktif bekerja di bidang data analytics untuk tech industry. Sebelumnya menempuh pendidikan S1 Teknik Fisika di ITB dan S2 Astronomy & Instrumentation di Universiteit Leiden. Penelitian yang pernah dikerjakan mencakup eksoplanet dan polarimetri.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini